Friday, October 04, 2002

Ganti Aturan Tarif Atau Naikkan HJE

Menanti Kenaikan Cukai Rokok (Bagian 1)

INDUSTRI rokok masih menjadi primadona penggelembungan kocek pemerintah. Coba tengok data sepanjang empat tahun terakhir. Tiap tahun pemerintah menggenjot penerimaan cukai. Jika tahun 1999 masih sekitar R 10,3 triliun, maka setahun kemudian melonjak menjadi Rp 13,4 triliun dan terus melompat menjadi Rp 16,3 triliun pada tahun 2001. Tahun ini targetnya Rp 22,3 triliun, sedangkan tahun 2003 dipatok Rp 27,6 triliun. Rata-rata kontribusi cukai hasil tembakau (rokok) mencapai 95 persen dari penerimaan cukai tersebut. Dahsyat!
Berapa besarpun target cukai yang dibebankan ke industri rokok, boleh jadi kalangan produsen rokok masih bisa anteng-anteng saja. Pasalnya, produsen mengalihkan beban tersebut kepada konsumen. “Pada akhirnya memang konsumen yang dibebani kenaikan tarif cukai,” tegas Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Beban riil yang ditanggung konsumen harga per bungkus rokok membumbung terus. Dengan sistem ad volorem yang berlaku saat ini bagi tarif cukai hasil tembakau (cukai rokok) instrumen paling ampuh memang lewat menaikan harga jual eceran (HJE) rokok. Pemerintah memiliki wewenang mengintervensi HJE minimum.
Menurut catatan penulis, pada tahun 1998 permerintah menaikkan HJE lebih dari 100 persen lewat dua kali kenaikkan. Kondisi serupa terjadi tiap tahun. Tanggal 1 April 2001 HJE naik antara Rp 15 - Rp 30 per batang dikarenakan kenaikan cukai guna mengejar target pemasukan APBN. Tahun lalu menjadi pesta kenaikan HJE karena selanjutnya keluar Keputusan Menkeu No. 383/KMK.04/2001 tanggal 29 Juni 2001, dimana pemerintah menaikkan HJE minimum untuk semua jenis rokok, yang mulai ditetapkan 1 Juli 2001. HJE minimum rokok tersebut mengalami kenaikan Rp20 per batang untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM), Rp25 untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) serta Rp12,5 per batang untuk Sigaret Putih Mesin (SPM). Kenaikan harga jual eceran rokok antara 10% sampai 30% ini berlaku efektif September 2001. Kemudian pada Desember 2001 pemerintah kembali menaikkan HJE.
“Terasa beratnya pada tahun 2002 ini,” jelas YW Junardi, presiden direktur PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA).
Risiko bahwa volume produsen rokok terus merosot masih diimbangi nilai penjualan. Tidak heran, meski disebut sebagai sunset industry, para produsen rokok masih mampu melinting ratusan miliar batang per tahun. Sepanjang kurun waktu empat tahun terakhir produksi rokok nyaris stabil di angka 200-an miliar batang per tahun. Bahkan dari tahun 1999 ke tahun 2000 sempat terjadi peningkatan 2 persen, dari 225,982 miliar batang menjadi 230,591 miliar batang. Tahun 2001 sempat menurun tipis sekitar 1,6 persen menjadi 227,071 miliar batang.

* * *
Tahun ini produksi rokok diperkirakan tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. “Dua ratusan miliar batang,” kata Muhaimin.
Sedangkan untuk cukai rokok diperkirakan 95 persen dari total penerimaan cukai Rp 27,6 triliun.
Seiring target tersebut pemerintah kemungkinan besar akan mengeluarkan beberapa kebijakan. Seperti perubahan strata industri rokok dari tiga strata menjadi dua strata yakni industri kecil dan non kecil. Serta perubahan tarif ad valorem menjadi tarif semi spesifik. Pemerintah juga mengaku akan terus melakukan pemberantasan peredaran rokok tanpa pita cukai.
Meski Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Eddy Abdurrahman mengaku belum memastikan kebijakan apa yang akan dikeluarkan pemerintah. Namun koleganya, Menperindag Rini MS Soewandi secara lugas meminta, jika sekiranya pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, pilihannya adalah tarif cukai rokok Sigaret Putih Mesin (SPM).
“Kami sangat mengharapkan di tahun 2003 tidak ada kenaikan cukai rokok, terutama untuk cukai rokok kretek. Karena ini sangat mengkhawatirkan bila ini terjadi maka akan terjadi penurunan penjualan yang pada gilirannya akan ada pengurangan tenaga kerja yang cukup besar di industri rokok kretek,” ujarnya, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI, di Jakarta, Rabu (18/9).
Sebenarnya saat ini dari segi cukai hasil tembakau, antara SPM dengan kretek tidak dibedakan. Bagi produsen besar SPM dan kretek cukainya 40 persen, kemudian produsen menengah 36 persen dan produsen kecil 26 persen. Sedangkan untuk SKT berturut-turut yang besar 20 persen, menengah 12 persen, dan produsen kecil 8 persen.
Perbedaan terjadi pada Harga Jual Eceran (HJE) minimum. Berdasarkan SK Menkeu Boediono, No.597/KMK.04/2001 tanggal 23 November 2001, untuk SPM besar HJE minimum per batang Rp 252,5 sedangkan SKM besar Rp 400, maka HJE SPM 63,1 persen dari SKM. Kemudian untuk SPM menengah 59 persen dari SKM. Sementara untuk SPM kecil Rp 150 dan SKM kecil Rp 270. Di sini HJE minimum SPM 55,6 persen dari SKM.
Tapi tampaknya rencana kenaikan tarif cukai akan terus berlanjut. Kabarnya besaran kenaikkan sekitar 24 persen. Reaksi para produsenpun beragam.
Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Kretek Indonesia (Gappri), seperti dituturkan ketuanya Ismanu Sumiran, mengaku ada beberapa alternatif untuk pencapaian target penerimaan cukai. Ia menyebut salah satunya adalah menerapkan kebijakan yang sama terhadap produsen SPM yang sementara ini dia harganya lebih murah sekitar 40 persen dari rokok kretek SKM. “Harusnya disamakan. Otomatis ini tidak adil. Satu bungkus 20 batang SPM bisa lebih murah dibanding 20 batang SKM. Kita minta disamakan. Kalau disamakan kita bisa safety Rp 1 triliun. SPM harga eceran per batang sama dengan SKM,” tuturnya.
Di sisi lain Gapprindo yang menaungi 12 perusahaan SPM mengaku tidak keberatan pemerintah menaikan HJE minimum rokok. Namun dengan catatan masih di bawah inflasi. Dan relatifitas harga dipertahankan. Pola HJE SK Menkeu 597 tetap digunakan. “Kami menilai harga per bungkus tidak jauh beda. Jadi kalau HJE naik 10 persen kita tidak masalah asal semuanya naik. Namun jika HJE minimum per batang SPM dengan kretek disamakan, efeknya sangat besar bagi 12 anggota Gaprindo. Industri rokok putih akan mati. Jangankan disamakan, naik menjadi 70 persen dari HJE minimum per batang kretek saja, industri rokok putih akan menghadapi masalah berat,” kata Muhaimin.
Lima tahun terakhir volume produksi SPM terus merosot. Pada tahun 1998 volumenya masih 32,521 miliar batang, tapi setahun kemudian turun menjadi 30,328 miliar batang. Dan terus menurun menjadi 25,785 miliar batang pada tahun 2000. Tahun lalu turun lagi menjadi 24,675 miliar batang. (edo rusyanto)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home