Saturday, October 05, 2002

Mendulang Uang dari Sunset Industry

Menanti Kenaikan Cukai Rokok (Bagian 2)

PERNYATAAN industri rokok sebagai sunset industry tidak main-main. Di sisi lain, pemerintah masih berharap banyak pemasukan dari linting melinting tembakau. Agar tidak terpeleset melulu sekedar mendulang uang dari industri rokok, pemerintah sebenarnya punya pilihan netral. Merawat industri tetap hidup dengan pungutan tidak terlalu memberatkan, di sisi lain terus mendorong kampanye hidup sehat tanpa asap rokok.
Pangkal stempel sunset industry tidak lain adalah terus bergulirnya pemahaman masyarakat bahwa merokok itu merusak kesehatan.
Di tanah air Presiden BJ Habibie melalui Keputusan Presiden No.81 tahun 1999 tentang Pengamanan Bahaya Merokok Bagi Kesehatan jelas-jelas menggiring industri rokok semakin ketat untuk menjaga konsumennya agar tidak kabur. Selain lewat aturan ketentuan kandungan tar harus 1 miligram dan nikotin 20 miligram, membuat konsumen rokok di tanah air -- sebagian besar pecinta kretek, mesti kehilangan aroma khas rokok kretek. Pemasangan iklan di media elektronik, khususnya siaran televisi hanya bisa di atas pukul 21.30. Belum lagi ketentuan kawasan bebas asap rokok. Hanya saja aturan yang ini hingga sekarang belum memiliki petunjuk pelaksana, kawasan mana saja yang haram ada asap rokok. Ketentuan itu semua direvisi semasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, lewat Keputusan Presiden No.38 tahun 2000. ada toleransi waktu bagi industri Sigaret Kretek Mesin (SKM) untuk mengimplementasikan ketentuan kadar tar dan nikotin selama tujuh tahun setelah Keppres dikeluarkan, dan sepuluh tahun bagi produsen Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Dalam Keppres ini juga diisyaratkan berdirinya Lembaga Pengkajian Rokok (LPR) sebagai lembaga kontrol atas implementasi kedua keppres di atas.
Konsekuensi segala aturan itu apalagi kalau bukan merosotnya jumlah konsumen rokok. Dengan catatan tingkat pemahaman publik atas bahaya kandungan rokok semakin tinggi.

* * *

Belum lagi kedua keppres tadi menancapkan taringnya terlalu dalam di industri rokok. Tidak lama lagi akan muncul konvensi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Jika tidak ada perubahan, konvensi ini akan ditandatangani Mei 2003 oleh sedikitnya 180 organisasi di dunia yang tergabung dalam Framework Convention Alliance (FCA). Tidak tanggung-tanggung, aktifitas utama FCA adalah menyusun pola penanggulangan rokok di berbagai belahan dunia serta menjamin FCTC. Konvensi ini “mutlak” diratifikasi oleh setiap pemerintahan yang ada di jagat ini. Tidak terkecuali, Indonesia.
Setidaknya ada 10 isu utama dari FCTC ini. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) bahkan telah menyurati menteri kesehatan. Menurut PDPI ke-10 isu tadi antara lain; pertama, soal iklan. Iklan rokok dalam segala bentuknya harus dilarang. Atau , setidaknya benar-benar dibatasi keberadaanya agar tidak menyesatkan masyarakat. Kedua, penyelundupan. Penyelundupan harus dicegah dengan menggunakan sistem pencatatan yang baik. Ada sekitar 10.000 agen utama dari rokok-rokok putih kelas dunia, dan seluruhnya harus dilisensi serta petugas bea cukai harus mampu mendeteksi arus rokok dari agen utama di dunia ini dengan menggunakan yang disebut dengan scanning pack markings, yang biayanya sekitar kurang dari US$0.02 per bungkus rokok.
Kemudian ketiga, Peringatan di Bungkus rokok. Setidaknya ada 7 syarat yang harus dipenuhi untuk membuat peringatan di bungkus rokok itu bermanfaat optimal, yaitu; Peringatan bahaya kesehatan harus setidaknya 50% dari bidang bungkus rokok dan dicetak dengan bagus serta diganti-ganti dari waktu ke waktu; Gunakan gambar-ganbar, setidaknya yang menghubungkannya dengan salah satu / beberapa penyakit tertentu akibat rokok; Ada informasi tentang bahan yang terkandung dalam asap rokok sepanjang informasi ini bermanfaat bagi calon pembeli. Informasi tentang kadar tar dan nikotin seringkali menyesatkan; Harus ditulis bahwa rokok tersebut “For sale only in [market]” , untuk mencegah penyelundupun rokok ke pasar gelap; Pencantuman label bahwa rokok hanya oleh untuk yang berusia di atas 18 tahun tidaklah bijaksana, karena hal itu justru membuat rokok terkesan “dewasa“ dan akan makin membuat anak-anak makin merasa tertantang untuk mecobanya; Perlu ada tanda khusus untuk dapat melacak dari mana asal rokok itu, guna mencegah penyelundupan; Kalau mungkin dibuat kemasan polos, tidak ada gambar atau tulisan apapun juga, kecuali peringatan-peringatan di atas; Harus ditetapkan ukuran standar minimum dari besarnya label peringatan ini, letaknya, gambar yang harus ada dan aturan tentang label yang secara teratur diganti-ganti.
Keempat, Kesehatan versus Perdagangan. Harus sepenuhnya disadarai bahwa kita harus senantiasa memprioritaskan kesehatan manusia diatas kepentingan dagang semata. Untuk rokok ini, jelas mengganggu kesehatan, dan harusnya tidak jadi bahan kajian dalam perjanjian WTO. Kelima, Hilangkan pendapat salah. Harus dihilangkan cara penjualan menyesatkan dengan mengatakan rokok produksinya sebagai ‘light’, ‘mild’, ‘ultra low’ atau yang sejenisnya. Ini karena perubahan konsentrasi bahan berahaya dalam asap rokok tidak punya hubungan nyata dengan tidak adanya ganguan kesehatan, dan informasi seperti itu akan menyesatkan konsumen yang cenderung menganggapnya sebagai rokok yang aman, padahal tidak demikian halnya.
Sedangkan yang keenam, Perbaiki metodologi ISO. Sistem pengukuran kadar tar dan nikotin sekarang ini tidaklah memberi informasi yang memadai dalam hal dampak buruk rokok bagi kesehatan. Karena itu, metodologi ISO harus mencari bentuk lain untuk membandingkan satu rokok dengan lainnya. Ketujuh, Tinggikan cukai rokok. Cukai rokok merupakan cara efektif untuk menurunkan konsumsi rokok dan tetap menjaga pendapatan negara. Diharapkan cukai rokok dapat dinaikkan sejalan dengan growth of incomes – kalau bisa diatas nilai inflasi. Sebagian dana pemasukan cukai ini harus digunakan untuk program penanggulangan masalah merokok dan program berhenti merokok.
Kedelapan, Larang penjualan rokok di toko duty free. Toko duty free merupakan salah satu daya tarik orang membeli rokok, dan bahkan dapat jadi salah satu jalan menuju penyelundupan rokok. Kesembilan, Hak menghisap udara bersih bebas asap rokok. Hak ini harus ditegakkan untuk semua orang, bukan hanya untuk anak-anak atau kelompok tertentu. Semua orang berhak untuk udara bebas besar asap rokok, dan harus ada aturan untuk menjamin hal ini terlaksana.
Terakhir, Hentikan segala jenis subsidi bagi produksi rokok. Tidak ada dasar yang memadai untuk mensubsidi produksi rokok. Kalau toh sekiranya ada keinginan untuk subsidi, maka hal itu harus diarahkan ke mencari dan membuat diversifikasi tanaman tembakau, , pembangunan infrastruktur / bantuan bagi mantan petani tembakau dan atau pekerja industri rokok serta berbagai aktifitas lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Sebagian isu tadi terelaborasi dalam Keppres 81/1999 dan Keppres 38/2000. Pertanyaannya, sejauhmana efektif aturan itu nanti?
Tidak heran jika ada produsen rokok raksasa negara maju yang coba menghalangi agar isu-isu tadi tidak masuk dalam konvensi yang akan ditandangani Mei 2003 nanti itu. “Bahkan kalau bisa tidak diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” tutur sumber pemain industri rokok yang minta jati dirinya tidak usah dibeberkan.
Kalau sudah demikian ketatnya aturan yang ada, rasanya sebutan sunset industry bagi industri rokok mendekati kenyataan. Waktu akan menjawabnya. (edo rusyanto)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home