Siasat Industri Rokok Pasok Tembakau (1)
Ramai-ramai Tanam Tembakau di Lombok
Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata Manado dan Lombok? Wisata laut! Indahnya pemandangan bawah laut atau berselancar. Manado punya taman bawah laut Bunaken. Lombok punya pantai Senggigi maupun pulau-pulau kecil tempat berselancar dengan pantai berpasir putih.
Tunggu dulu! Manado yang terletak di Sulawesi Tengah itu populer sebagai penghasil cengkeh, bahan baku rokok kretek. Sedangkan Lombok, pulau kedua terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB), terbukti sebagai produsen tembakau Virginia bagi produsen rokok raksasa dunia.
Tembakau yang termasuk famili Solanaceae daunnya digunakan untuk membuat rokok dan cerutu. Saat ini menjadi alternatif pendapatan petani Lombok, selain padi, cabai dan bawang putih. Menurut Kepala Dinas Pertanian NTB, Soerono, saat ini dari potensi 59.000 hektar terdapat 16.000 hektar tanaman tembakau seantero Lombok dengan produksi diperkirakan mencapai 31.000 ton. Di pasaran Lombok, harga terendah Rp 1.000 per kilogram dan harga tertinggi Rp 15.000 per kilogram. Sekitar 12.000 petani terlibat dalam penanaman tembakau.
Besarnya potensi tembakau, menurut Gubernur NTB, Harun Al Rasyid (sebelum diganti awal September 2003), petani tembakau menjadi pasar potensial bagi penyaluran kredit, selain para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok. Menurut Harun, penghasilan petani tembakau cukup besar dan menguntungkan jika dibandingkan petani padi. Ia menyebutkan, hampir 90 persen petani yang berangkat naik haji berpenghasilan dari bertanam tembakau. Keuntungan menanam tembakau (dalam lima bulan) rata-rata Rp 10 hingga Rp 20 juta/hektare. Sedangkan menanam padi, sekitar Rp 2 juta.
* * *
Saat ini sedikitnya delapan perusahaan beramai-ramai menanam tembakau di Lombok. Umumnya mereka menggunakan pola kemitraan dengan menggandeng petani setempat. Perusahaan tidak memiliki lahan sendiri. Para petanilah yang memiliki lahan atau menyewa lahan dari penduduk setempat. PT British American Tobacco Indonesia Tbk (BATI) yang beroperasi di Lombok sejak tahun 1972 mencatat, tahun 2003 ini produksi tembakau Lombok akan mencapai 30.396 ton. Selain BATI yang memiliki 3.853 hektar dengan estimasi produksi tembakau 8.091 ton, perusahaan lainnya adalah; PT Phillip Moris Indonesia, produsen rokok Marlboro, seluas 3.150 hektar dengan produksi 6.143 ton, Sadhana Arif Nusa (2.750 ha, 5.775 ton), PT Djarum (1.000 ha, 2.000 ton), PT Gudang Garam Tbk (GGRM) lewat Tunggal Kayun (1.412 ha, 2.683 ton), PT Gelora Djaja (240 ha, 480 ton), Trisno Adi (920 ha, 1.748 ton), dan Nyoto Permadi (225 ha, 416 ton). Sedangkan petani independen, tidak ikut program kemitraan, memiliki lahan 1.700 hektar dengan perkiraan produksi 3.060 ton tembakau.
“Dari total 17 hektar lahan tanaman tembakau di Lombok, sekitar 15.000 hektar merupakan petani dengan program kemitraan. Dan saat ini ada sekitar 12 ribu petani tembakau di Lombok,” jelas Soerono.
Pola kemitraan memberikan peluang bagi petani untuk memenuhi kebutuhan dana, pengetahuan teknologi, bibit hingga pemasaran. “Kemitraan sangat penting karena memberi kepastian bagi petani untuk memasarkan produknya,” tutur Soerono lagi.
Benarkah demikian? Dharmawan (39) petani di Terara, Lombok Timur mengaku, mengantongi untung bersih Rp 5 – Rp 6 juta per hektar dari pola kemitraan yang ditekuninya. “Saya memiliki 10 hektar yang disewa sendiri dan 20 hektar bekerjasama dengan petani lain. Saya mendapat bantuan dana, bibit dan pengarahan dari BAT Indonesia,” terang Dharmawan.
Ia mengaku mendapat dana sekitar Rp 17 juta dari produsen rokok putih asal Inggris itu. Setelah melalui proses tanam, biasanya menuai panen pada Juli hingga Oktober.
Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, saat melakukan panen tembakau di Lombok akhir Agustus 2003 mengatakan, pola kemitraan seperti yang dilakukan BATI sejalan dengan paradigma baru yang dilakukan instansi yang dipimpinnya. “Bayangkan jika pemerintah yang melakukan hal ini. Berapa besar dana yang harus dikeluarkan pemerintah. Paradigma baru departemen pertanian memberdayakan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha. Dengan pola kemitraan pemerintah tidak perlu mengeluarkan se-sen pun,” ungkap Bungaran.
Menteri tidak memaksa petani Lombok menanam tembakau. “Jika memang tidak menguntungkan, tinggalkan tanaman tembakau. Silakan beralih pada produk agrobisnis yang menguntungkan. Mungkin saja kita fasilitasi menanam vanili atau lainnya,” kata Bungaran.
* * *
Pola kemitraan bagi perusahaan bersangkutan membantu kepastian pasokan tembakau dengan kualitas yang diharapkan. Bagaimanakah pola kemitraan tersebut? “Di awal musim tanam (biasanya di awal tahun) kami bicara dengan petani apakah mau bermitra dengan kami. Selain memberikan bimbingan teknis, kami juga bantu pendanaan. Jika mau kami akan melakukan bimbingan teknis dulu,” tutur Bagus Juniarta Purnama, Leaf Production Manager BATI untuk kawasan Lombok.
Untuk kawasan Lombok, BATI memiliki mitra petani sebanyak 656 petani (setahun lalu baru 500 petani) dari mulai kawasan Lombok Tengah hingga Lombok Timur. Luas lahan para petani mencapai 3.853 hektar dengan estimasi produksi 8.091 ton tembakau.
Bagus Juniarta mengatakan, selanjutnya BATI menyalurkan pendanaan untuk penyewaan lahan tanah, pengadaan pupuk, minyak tanah dan sebagainya. Sewa tanah sendiri berkisar Rp 2 hingga Rp 5 juta per hektar.
“Soal penentuan harga, kami bahas bersama petani. Di awal musim kita tentukan harga dasar. Saat ini harga terendah Rp 1.000 per kilogram dan harga tertinggi Rp 15.000 per kilogram. Namun, jika ternyata harga di pasar melebihi harga dasar yang telah ditentukan, kita bicarakan lagi dengan petani,” tambah Bagus.
Point penting yang dibicarakan petani dan perusahaan saat harga dasar lebih rendah dibandingkan harga pasar adalah bagaimana melihat perpekstif margin keuntungan. “Kami katakan kepada petani bahwa program kemitraan kita harus saling menguntungkan. Keadilan menjadi hal penting. Jika perusahaan maju, maka petani juga diuntungkan,” tambah Alan Scott Watson, Leaf Director BATI.
Manager Wilayah Lombok PT Djarum, Iskandar melihat program kemitraan menjadi penting. “Trust menjadi kunci utama. Yakni kepercayaan diantara petani dan perusahaan,” katanya.
Djarum yang saat ini memiliki 400 petani mitra di Lombok dengan luas lahan sekitar 1.500 hektar itu menilai ada tiga hal utama kemitraan. Aspek utama adalah pasar. Bagaimana perusahaan menjamin produksi petani diserap pasar. Kemudian teknologi, yakni agar kualitas tembakau sesuai kebutuhan pasar. Terakhir adalah permodalan. “Petani boleh mendapatkan modal dari mana saja. Apakah itu swadaya, dari bank, pemerintah atau dari perusahaan. Tapi, kami harapkan adanya dukungan dari bank. Untuk itu perlu kebijakan pemerintah setempat untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit ke petani,” tukas Iskandar.
Ia mengakui ada hal yang kerap terlupakan adalah bagaimana membimbing petani agar memiliki jiwa kewirausahaan. Karenanya, perusahaan yang melakukan program kemitraan memberikan wawasan kewirausahaan pada petani. (edo rusyanto)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home