Saturday, June 26, 2004

Industri Rokok Pasca PP 38/2000: (1)

Sang Uzur Bergeser ke SKM Mild

Industri rokok sudah uzur (sunset industry) karena mengganggu kesehatan!

Sepenggal kalimat Sekretaris Utama Badan Pengawasan Obat dan Makanan (B-POM), Mawarwati Djamaluddin, pertengahan Juni lalu di Jakarta itu, sempat menyentak pelaku industri rokok.
Ismanu Soemiran, ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), bahkan buru-buru menyanggah dengan tegas kalau industri linting melinting tembakau dan cengkeh itu jauh dari sunset. Ia menyodorkan fakta-fakta sepanjang tahun lalu dimana penjualan industri tersebut mencapai Rp 89 triliun, sedangkan rokok kretek menguasai 90 persen dari nilai tersebut. Di sisi lain, tahun lalu dari sekitar Rp 17 triliun penerimaan cukai, nyaris 90 persennya disumbang industri rokok. Dari sisi ini, dahsyat memang!
Kembali pada soal kesehatan dan industri rokok. Menyusul implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 81/1999 tentang Pengamanan Merokok Bagi Kesehatan maupun PP 38/2000 yang merevisi PP 81/1999, para produsen saat ini selain memikirkan bisnisnya, juga diminta memberikan informasi kadar tar dan nikotin pada kemasan rokok yang mereka pasarkan. Tapi apa yang terjadi di lapangan? “Kami sejak tahun 2000 mencantumkan label peringatan bahaya merokok pada setiap kemasan produk kami,” ujar ujar Dhammika Premarathna, Kepala Operasi PT BAT Indonesia Tbk (BATI), kepada Investor Indonesia, belum lama ini di Cirebon, Jawa Barat.
Artinya, bahwa peringatan "Merokok dapat menyebabkan kanker serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin," baru dicantumkan setelah produsen tersebut jauh mengeruk keuntungan dari Indonesia. Maklum, produsen ini telah 85 tahun beroperasi di Indonesia.
Bagaimana dengan produsen raksasa lainnya? Tidak jauh berbeda dengan BATI, PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) dan PT Djarum. Mereka juga baru mencantumkan peringatan bahaya merokok pasca keluarnya kedua PP di atas.
Padahal, pencantuman kandungan tar dan nikotin tersebut bukan berarti setiap batang rokok yang mereka produksi harus hanya mengandung nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg. Pencantuman hanya menyebutkan berapa besar kandungan tar dan nikotin rokok mereka. Soal ketentuan kandungan nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg itu sendiri baru berlaku paling lambat 2 tahun semenjak PP tersebut dikeluarkan. Tapi itu bagi rokok putih. Bagi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek tangan (SKT) lebih lama lagi, masing-masing 7 dan 10 tahun.
Substansi PP tersebut berkorelasi erat dengan gerakan badan kesehatan dunia (WHO) atau yang dikenal Framework Convention Tobacco Control (FCTC). Diantaranya soal larangan iklan dan promosi rokok, pembahasan perdagangan internasional, desain dan pencantuman label kesehatan standard pada bungkus rokok (ditambah gambar). Lainnya adalah soal keharusan menjelaskan ramuan isi rokok dan penyeragaman cukai rokok di seluruh dunia.
Sebagaimana diketahui, kegiatan WHO itu melibatkan Tobacco Free Initiative (TFI) yang bertindak sebagai juru bicara ke seluruh dunia lewat kerja sama dengan LSM antirokok. Gerakan ini sedikitnya diikuti 191 negara, mulai dari Australia, negara-negara Eropa, Asia, Afrika dan AS. Tentunya termasuk Indonesia.
Melihat trend global seperti demikian, industri rokok sebenarnya tidak perlu sungkan mencantumkan kandungan rokok yang kita tahu memiliki sedikitnya sekitar 400 zat kimia. Apalagi, seperti dituturkan Heru Budiman, direktur GGRM, bicara soal kesehatan bukan hanya persoalan rokok. “Sekalipun aturan rendah tar dan nikotin itu diterapin apakah bisa menjamin masyarakat sehat,” ujarnya pertengahan Juni lalu kepada Investor Indonesia.
Walau demikian, ia mengakui bahwa PP di atas akan berdampak terhadap kinerja industri rokok. Menurutnya, bukan hanya GGRM yang produksinya 87 persen SKM dan 13 persen SKT, tapi juga seluruh perusahaan rokok kretek baik yang berskala besar maupun kecil merasa ketir-ketir dengan kebijakan itu. “Kami sendiri masih mencoba otak-atik dan belum memahami dengan kebijakan itu. Begini, ini bukan karena saya defensif, sehingga harus mengatakan bahwa kalau diterapin (peraturan pemerintah, red) sekarang, apakah perusahaan rokok terutama yang memproduksi rokok kretek bisa jalan,” katanya.

* * *
Kalau melihat kinerja tiga tahun terakhir 4 emiten rokok di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pernyataan itu agak sedikit terbantahkan. Mereka justru membukukan peningkatan penjualan. Lihat saja data-data ini. Tahun 1999 total penjualan bersih RMBA, HMSP, BATI dan GGRM baru sekitar Rp 21,170 triliun. Namun setahun kemudian meningkat menjadi Rp 28,067 triliun, dan terus meningkat menjadi Rp 36, 623 triliun pada tahun 2001. Maklum kini terdapat sedikitnya 42 juta perokok di tanah air.
Lewat segala aturannya, PP 81/1999 maupun PP 38/2000 sebenarnya mendorong para produsen untuk lebih cerdik lagi mengintip ceruk pasar. “Kami akan lebih fokus ke rokok kadar tar dan nikotin rendah yaitu rokok mild, tahun-tahun mendatang kalau bisa kami ingin menggeser pemain utama mild,” YW Junardi, presiden direktur RMBA.
Tidak heran kalau di pasaran kita melihat merk-merk rokok mild bertebaran. Diantaranya A-mild dan Millenium (HMSP). Wismilak dengan Wismilak Slim, Djarum dengan LA Light, dan RMBA dengan Star Mild dan Bentoel Mild. Belakangan raksasa rokok kretek, GGRM, merogoh koceknya senilai Rp 784 miliar guna membeli aset berupa tanah, bangunan dan mesin milik PT Karyadibya Mahardika, di Pandaan, Jatim untuk meluncurkan rokok mild. Rencananya bulan depan merk rokok yang diproduksi 13 miliar batang per tahun itu akan diluncurkan ke publik.

* * *
Berdasarkan riset RMBA dan Gappri, sepanjang tiga puluh tahun terakhir terjadi pergeseran siginifikan menuju rokok kadar tar dan nikotin rendah atau rokok mild. Jika pada tahun 1970 komposisi pasar rokok terdiri dari 55 persen rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) dan 45 persen SKM. Maka tahun 2000 komposisi pasar berubah menjadi 11 persen SPM, 37 persen SKT, 44 persen SKM reguler dan 8 persen SKM Mild.
Setahun kemudian SKM Mild bertambah menjadi 9 persen, sedangkan SKM Reguler justru menyusut menjadi 41 persen.
Hingga triwulan pertama tahun ini, kondisi berubah kembali. SKM Mild melesat menjadi 10 persen, SPM bangkit menjadi 13 persen, SKT turun menjadi 38 persen dan SKM reguler 39 persen.
Sekedar informasi, sejak tahun 1970 hingga 1999 pertumbuhan volume produksi rokok terus meroket, paling sedikit dalam satu dekade tumbuh 47 persen. Peningkatan paling tinggi sepanjang kurun waktu 1970-1980 yakni mencapai 159 persen, dari 33 miliar batang menjadi 84 miliar batang. Kemudian merosot angka pertumbuhannya hanya menjadi 67 persen pada dekade 1980-1990 menjadi 141 miliar batang. Selama 1990-1999 kenaikannya mengecil hanya 47 persen menjadi 208 miliar batang. Tahun ini diperkirakan mencapai 220-an miliar batang akan diproduksi oleh sekitar 700-an produsen rokok di tanah air.
Seiring trend global dan kesadaran publik untuk menekan risiko ancaman kesehatan akibat merokok, pilihan kepada rokok mild dengan kadar nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg tentu saja menguntungkan para produsen.
Tapi tunggu dulu. Sejauhmana tingkat keamanan merokok mild bagi kesehatan? Akhir November tahun lalu Institut Kanker Nasional Amerika Serikat, menyatakan kebiasaan menghisap rokok dengan nikotin dan tar yang lebih ringan ini hanyalah sebuah ilusi yang tidak menyelesaikan masalah tingginya risiko dan angka kematian akibat merokok.
David Burns dari Universitas California di San Diego dan Dr Neal Benowitz dari Universitas California di San Francisco, bahkan menyebutkan penggunaan produk mild secara luas tetap tidak bisa mencegah laju peningkatan kasus dan risiko kanker paru-paru di antara para perokok.
Menilik PP 81/1999, pemantauan mengenai kandungan tar dan nikotin terhadap rokok yang beredar di Indonesia, mau tidak mau mesti lewat sebuah lembaga yang disebut Lembaga Pengkajian Rokok (LPR). Tugasnya memang bukan hanya itu. LPR sesuai PP tersebut juga memantau bagaimana para produsen mengiklankan dan memasarkan produknya. (edorusyanto)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home