Tahap Rekonstruksi Fastel Telkom di NAD Tuntas Akhir 2005
Direktur Bisnis Jasa PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Suryatin Setiawan:
Bencana alam yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan sebagian wilayah Sumatera Utara (Sumut) pada 26 Desember 2004, meluluhlantakan fasilitas telekomunikasi di NAD. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) harus bekerja keras memperbaiki kerusakan yang menimpa sekitar 90 ribuan satuan sambungan telepon dan 20 sentral telepon otomat (STO).
Direktur Bisnis Jasa Telkom Suryatin Setiawan kepada wartawan Investor Daily Edo Rusyanto, baru-baru ini, menuturkan bahwa proses tanggap darurat bagi fastel di NAD telah rampung Maret ini. Kapasitas prasarana telekomunikasi Telkom di NAD meningkat 33,5% dari semula sebelum bencana 98.984 satuan sambungan telepon(SST) menjadi 131.237 SST. Peningkatan tersebut terjadi setelah Telkom membangun 18 base transceiver station (BTS) baru dengan kapasitas 44.100 (SST).
Selanjutnya, Telkom memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang diperkirakan tuntas akhir 2005.
Petikannya.
Kendala tersulit apa yang dihadapi Telkom guna memulihkan infrastruktur telekomunikasi di NAD dan Sumut?
Sebetulnya pada saat bencana terjadi, tidak semua lokasi alat dan gedung PT Telkom rusak total. Kerusakan parah terjadi di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan pantai. Tapi akibat gempa, sama sekali tidak ada pasokan listrik. Ada sistem back up dan batteray, tapi itu tidak bisa bertahan lama. Padahal akibat terisolirnya dan terganggunya transportasi ke Aceh pada awal-awal bencana, sulit sekali mendapatkan bahan bakar. Jadi, sumber pasokan listrik inilah yang menjadi kuncinya. Pada saat kejadian, sistem telekomunikasi kami yang menggunakan CDMA, Telkom Flexi masih bisa beroperasi. Tapi dengan batteray terbatas. Pada saat yang bersamaan, permintaan hubungan ke Aceh melonjak tinggi sekali. Traffic meningkat luar biasa. Semua orang ingin berbicara ke Aceh, tapi tidak bisa terhubung ke sana. Jadi, seakan-akan telekomunikasi ke sana mati total. Namun sebetulnya, tidak semua perangkat rusak. Hanya tidak bisa dioperasikan karena tidak ada catu daya listrik. Tapi banyak juga perangkat kami yang rusak total, terutama yang berdekatan dengan pantai. Karyawan kami dan keluarganya, juga banyak yang menjadi korban.
Bagaimana manajemen perusahaan menyikapi kendala-kendala itu?
Di situlah pentingnya koordinasi dan komunikasi. Saya belajar banyak soal itu. Contohnya begini. Kami akan mengirimkan satu genset untuk dikirimkan ke Meulaboh dari Medan. Tapi tidak bisa langsung ke Meulaboh. Penerbangan saat itu tidak mungkin. Akhirnya diputuskan untuk dikirimkan dulu via Banda Aceh. Untuk mendapatkan tempat di penerbangan, baik pesawat bantuan sipil atau militer juga sulit. Akhirnya, biar tidak kelamaan dikirimkan saja ke Aceh via darat karena transportasi darat ternyata memungkinkan. Tapi, begitu genset sudah di Aceh, sulit juga untuk mengirimkannya ke Meulaboh. Pesawat ke Meulaboh saat itu banyak terutama menggunakan helikopter. Tapi, prioritas saat itu adalah pasokan logistik, tenaga dan bantuan medis, dan lainnya. Kami menyadari itu. Tentu saja kami terus mencari informasi, alternatif terbaik untuk ke Meulaboh sampai akhirnya diperoleh informasi jalur Medan-Meulaboh via Tapaktuan sudah bisa dilalui karena jalur yang putus di Bakungan sudah bisa dipulihkan. Akhirnya, genset itu dikirim lagi via Medan untuk seterusnya ke Meulaboh. Jadi, koordinasi dan informasi itu penting sekali.
Berapa total biaya yang dikeluarkan PT Telkom untuk memulihkan infratstruktur telekomunikasi di NAD dan Sumut?
Prinsipnya, kami ingin memulihkan sesegera mungkin telekomunikasi di daerah bencana. Karena itu, semua upaya terbaik dan yang memungkinkan, telah dan akan kami lakukan. Kalau soal angkanya, saya kurang tahu persis. Tapi itu nanti pasti ada datanya dan akan diaudit. Jelas tinggi, dan mahal sekali. Kami juga sampai menghabiskan ratusan jam terbang menggunakan pesawat carter untuk mengirimkan perangkat dan tenaga ke lokasi. Belum lagi, opportunity lost dari billing yang tidak ditagihkan. Kalau dihitung-hitung, mungkin sekitar Rp 200 miliar. Sangat besar.
Pascabencana, jaringan telepon tetap kabel (fixed wireline) Telkom di NAD diubah seluruhnya ke jaringan tetap tanpa kabel (fixed wireless) Telkom Flexy?
Seluruh daerah yang terkena bencana di Aceh seluruhnya diubah dengan menggunakan Flexy. Sekarang, penambahannya 18 base transceiver station (BTS) dulu.
Logikanya jelas, kalau terjadi gempa lagi dan tetap menggunakan wireline, bebannya berat. Sekarang harus wireless yang tidak ada urusan dengan tanah yang retak karena melalui udara.
Aceh memang harus wireless. Terutama pantai barat yang rawan gempa.
Bagaimana langkah Telkom selanjutnya?
Sekarang, masuk tahap rehabilitasi yang kita harapkan selesai Mei 2005. Setelah itu, tahap rekonstruksi yang kita plot sampai akhir tahun.
Dalam tahap rekonstruksi, Telkom berpikir bagaimana network (jaringan telepon) dan fasilitas Telkom didesain ulang. Hal penting yang harus dilakukan adalah menerapkan wireless dulu.
Tidak hanya itu. Tidak mungkin lagi kantor Telkom dibangun di dekat pantai. Kalau terjadi seperti di Meulaboh, finish. Jadi kita cari kantor jauh dari pantai.
Kemudian menaruh perangkat di lantai atas, gedungnya mesti tahan gempa skala 7 richter. Terus network operation-nya mesti ditaruh di suatu tempat yang terpusat. Kita sedang berpikir, apakah ditaruh di Lhokseumawe atau di Banda Aceh. Kalau di Banda Aceh tataruangnya diulang semua dan yang dekat pantai dijadikan area bakau, mungkin Banda Aceh masih menjadi pilihan. Kalau tidak, kita cari tempat di pantai timur Aceh.
Dari pengalaman di Aceh ini nantinya kami akan menyusun semacam Standard Operating Proceedures (SOP), untuk melakukan recovery disaster semacam itu. Bagaimana kita bisa melakukan mobilisasi secara cepat dan efektif. Coba lihat pengalaman di Aceh itu, bagaimana informasi bisa dilakukan secara berantai dan efektif melalui Posko yang dibentuk darurat di Medan, juga bisa langsung ke saya. Posko itu bisa langsung berdiri. Bagaimana nanti kita mengorganisir SDM, alat, menjaga perangkat agar tetap hidup, me-manage informasi yang simpang siur. Ah, terlalu banyak pelajaran yang dipetik dari bencana di Aceh ini. Bukan hanya pengalaman pahit saja, tapi ada pengalaman berharga di balik bencana ini.
Bagaimana prosesnya para pelanggan di NAD menukar wireline dengan wireless?
Nomor telepon pelanggan telepon tetap kabel (wireline) yang tidak bisa dihidupkan lagi akan kami tukar dengan wireless TelkomFlexy.
Caranya, cukup dengan menunjukkan identitas dan cocok dengan data pelanggan yang kita. Memang persoalannya bagaimana konsumen masih memiliki data-data. Kami akan lihat data di Telkom. Jangan mempersulit konsumen.
Bagaimana persaingan bisnis sepanjang 2005?
Persaingan di tahun 2005 makin ketat karena pelanggan tidak melihat seluler atau CDMA (code division multi access), bagi pelanggan lihatnya wireless saja. Di sisi lain, masuknya tiga pemain baru – Maxis ke Lippo Telecom, Telecom Malaysia ke XL dan Hutchison ke Cyber Access Communication, belum efektif. Kehadiran mereka akan terasa pada 2006. itupun, jika mereka memang betul-betul investasi dan ada dananya. Tahun 2006 akan terjadi persaingan yang lebih ketat lagi.
Masih terjadi perang tarif?
Tarif wireless sangat ketat. Ini persaingan bebas, program akan disambut program. Namun, sesungguhnya belum perang tarif, tapi perang-perangan tarif. Perang tarif itu teknik yang dipakai oleh pendatang baru. Pendatang baru jika mau melawan dengan coverage (jangkauan) tentu susah maka tarif dulu yang dimainkan. Tapi dia (pendatang baru) tentu ada keterbatasan ‘nafas’. Tapi kita lihat saja, sekarang dah mulai reda. *
0 Comments:
Post a Comment
<< Home