Thursday, March 17, 2005

Karyawan Sampoerna Resah

Peta Industri Rokok Takkan Berubah
JAKARTA –Sebagian dari 30.000 karyawan PT HM Sampoerna dilanda keresahan menyusul akuisisi 40% saham perseroan milik keluarga Sampoerna oleh Philip Morris International. Mereka tetap dihantui adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau perubahan kebijakan yang merugikan karyawan.
Sejumlah karyawan pabrik rokok Sampoerna di Rungkut Surabaya yang dihubungi Investor Daily, Selasa (15/3), tidak hanya terkejut atas penjualan saham, tapi juga takut adanya ancaman PHK. “PHK karena kenaikan harga BBM memang sudah ada, tapi yang langsung akibat akuisisi belum ada. Tapi nggak tahu nanti, sebab semuanya bisa berubah setiap saat,” kata Nurahman, salah satu karyawan.Menurut dia, para karyawan khawatir adanya perlakuan yang tidak sama terhadap karyawan sebelum dan sesudah PMI masuk. “Tapi kita lihat nantilah,” ungkapnya, yang dibenarkan beberapa karyawan lainnya.Ketakutan PHK juga menghantui karyawan Sampoerna lainnya, Tini. “Yang paling dicemaskan karyawan adalah ancaman PHK, kalau perusahaan ini mayoritas dimiliki orang lain di luar keluarga Sampoerna,” ujar Tini.
Manajemen Sampoerna sadar bahwa akuisisi PMI terhadap Sampoerna bisa memicu keresahan karyawan. Itulah sebabnya, manajemen memandang perlu dilakukannya sosialisasi tentang akuisisi kepada karyawan. Menurut Head of Corporate Communications Sampoerna Niken Rachmad, sejak Senin (14/3) hingga akhir pekan ini, manajemen Sampoerna akan menyosialisasikan soal akuisisi kepada 30 ribu karyawan Sampoerna. "Respons karyawan cukup baik. Namun, umumnya mempertanyakan apakah setelah akuisisi akan terjadi perubahan di Sampoerna. Apakah akan ada perubahan direksi? Kita gak tahu soal perubahan direksi, kita lihat saja langkah pemegang saham baru nanti, " tutur Niken kepada Investor Daily, tadi malam (15/3).
Para karyawan khawatir karena masuknya asing cenderung diikuti langkah-langkah efisiensi, termasuk pemangkasan karyawan. Apalagi, manajemen Sampoerna mengaku bahwa industri rokok semakin menghadapi tekanan berat. “Antara lain akibat tingginya beban gaji karyawan, lonjakan biaya operasional karena harga BBM naik, tekanan kenaikan cukai, lemahnya daya beli konsumen, serta peraturan yang ketat di industri rokok,” ujar seorang manajemen yang enggan disebut namanya.
Itulah yang diduga sebagai pemicu keluarga Sampoerna menjual 40% saham dan mulai melirik bisnis lain, seperti bisnis penerbangan, apartmen, hotel, infrastruktur, dan ritel.

Peta Tak Berubah
Sementara itu, sejumlah kalangan dan analis menyebut bahwa pascaakuisisi PMI terhadap Sampoerna, peta kekuatan industri rokok tidak akan mengalami perubahan secara signifikan.

Ketua Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengatakan, akuisisi itu tidak berpengaruh signifikan terhadap pangsa pasar rokok keretek dalam jangka pendek bila PMI tidak mengganti PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas (Panamas) selaku distributornya.
“Soalnya, PMI tentu perlu beradaptasi agar familiar dengan pasar rokok keretek di dalam negeri,” ujar Ismanu kepada Investor Daily, Selasa malam (15/3).
PT Panamas adalah perusahaan distribusi rokok yang 90% sahamnya dimiliki HM Sampoerna. Pada 10 Januari 2005, PT PMI menunjuk Panamas untuk menjual produk-produknya (Marlboro dan Longbeach Mild).
Menurut Ismanu Soemiran, arah strategi pasar yang bakal diterapkan PT PMI sejauh ini belum bisa ditebak. “Strategi pasar PMI dalam menggarap pasar rokok keretek baru kelihatan dalam tiga hingga lima tahun mendatang,” tuturnya.
Dari sudut investasi, kata dia, akuisisi saham HM Sampoerna oleh PT PMI punya nilai positif karena hal itu menunjukkan tumbuhnya kepercayaan investor global terhadap industri keretek di Indonesia.
Yang harus dicermati, menurut Ismanu, strategi dan orientasi pasar PT PMI jangan sampai mengorbankan pangsa keretek di dalam negeri. “Justru harus sebaliknya, mampu meningkatkan ekspor keretek, sebab tidak mudah bagi PT PMI mengubah karakteristik konsumen di dalam negeri,” paparnya.
Dia berharap pemerintah tetap membantu dan menjaga kelangsungan sigaret keretek tangan (SKT) Sampoerna yang pengerjaannya membutuhkan keahlian tersendiri, bersifat tradisional, dan padat karya. “Ini termasuk pagar sosial. Jangan sampai kecolongan,” tandasnya.

Senada dengan Ismanu, Head of Research BNP Paribas Peregrine Ferry Wong mengatakan, akuisisi Philip Morris akan membuat kompetisi pemasaran rokok di perkotaan makin ketat yang harus dihadapi Gudang Garam dan Djarum Kudus.

Ferry Wong memprediksi, Gudang Garam, Sampoerna dan Djarum akan tetap menguasai 70% pangsa pasar rokok nasional. “Selain itu, Sampoerna akan menguasai sekitar 23-24% pangsa pasar, dari level 19,4% saat ini. Dengan menguasai 23-24% pangsa pasar, Philip Morris akan menjadi pemain kedua terbesar setelah Gudang Garam,” ujar Ferry kepada Investor Daily.

Ferry menambahkan, Gudang Garam dan Djarum memiliki segmen pasar yang berbeda dengan Sampoerna dan Philip Morris. Gudang Garam dan Djarum akan tetap menguasai daerah perdesaaan, sedangkan Philip Morris yang akan mengakuisisi Sampoerna bermain di perkotaan.

Gudang Garam saat ini fokus di rokok produksi mesin. Rokok mesin mencapai 84% dari total penjualan Gudang Garam. Sedangkan Sampoerna memproduksi rokok lentingan, yang mencapai 60-70%, dengan produk unggulan Dji Sam Soe.

Dengan target pasar yang berbeda, kata Ferry, tidak banyak perubahan peta industri rokok nasional. Hanya saja kompetisi di industri akan makin ketat seiring dengan agresivitas dari perusahaan-perusahaan rokok untuk menguasai pasar.
Menurut Ferry, melakukan akusisi terhadap Sampoerna merupakan strategi Philip Morris untuk mendapatkan jaringan distribusi Sampoerna yang cukup kuat. Selain itu, Philip Morris juga akan memanfaatkan produk-produk iklan dari Sampoerna untuk mempromosikan produk Philip Morris, Malboro.
Sedangkan Niken Rachmad menyatakan bahwa Sampoerna setelah diakuisisi Philip Morris International (PMI) tetap akan menempatkan bisnis rokok sebagai bisnis utama. "Perseroan tetap menjalankan bisnis industri rokok. Apalagi produksi rokok sedang bagus-bagusnya," tutur dia.
Tidak Delisting
Secara terpisah, Dirut PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) Erry Firmansyah menegaskan bahwa transaksi akuisisi Philip Morris terhadap Sampoerna sudah memenuhi aturan. “Sejauh ini kami tidak melihat sesuatu yang mencurigakan dari transaksi tersebut," katanya.
Tentang kemungkinan HM Sampoerna Tbk (berkode saham HMSP) delisting dari bursa atau go private setelah sahamnya dikuasai PMI, Erry menyatakan bahwa manajemen PMI tidak akan melakukan hal itu. "Saya sudah bertemu dengan manajemen Philip Morris Indonesia. Mereka berkomitmen agar Sampoerna tetap menjadi perusahaan terbuka yang tercatat di bursa," kata Erry.Menurut Erry, akusisi yang dilakukan PMI memberikan dampak positif yang sangat besar ke pasar saham. Head of Research PT BNI Securities Adrian Rusmano berpendapat, Sampoerna lebih baik jika tetap menjadi perusahaan terbuka. Sebab, dengan begitu, perseroan lebih mudah memperoleh pinjaman dana. “Bila Sampoerna go private justru akan rugi," katanya.
Sedangkan Head of Research PT Rifan Financindo Haryajid Ramelan menilai, saat ini harga saham HMSP sudah terlampau mahal. Dari sisi valuasi, pada harga Rp 10.150, price to earning ratio HMSP sudah mecapai 20 kali dengan price to book value 7,9 kali. “Ini sudah mahal dibanding saham rokok lain seperti Gudang Garam," tandasnya.
Sementara itu, mengenai kemungkinan keluarga Sampoerna masih memiliki 30% saham PT HMSP hal itu bisa saja terjadi. Ia menjelaskan, bila melihat likuiditas transaksi saham HMSP setelah berita akuisisi ini merebak, terlihat jumlah order beli dan jual sangat terbatas. Ini menandakan, peredaran saham HMSP sudah menipis. "Ini berarti sudah ada pihak yang telah mengumpulkan saham ini sejak lama," katanya.
Misteri
Hingga kini, motif penjualan 40% saham keluarga Sampoerna tetap misteri dan memunculkan spekulasi. Sejumlah kalangan dekat keluarga Sampoerna menilai, Presdir HMSP Michael Joseph Sampoerna paling berperan dalam perubahan drastis di bisnis keluarga Sampoerna, termasuk penjualan saham itu.
“Menilik pendidikan dan wawasan bisnisnya, Michael Sampoerna memang dimungkinkan lebih memilih ekspansi ke bisnis lain di luar rokok seperti properti di luar negeri terutama di Singapura. Putera Sampoerna sendiri selama ini sangat jarang di Indonesia dan lebih banyak di Singapura mengurusi bisnisnya,” ungkap sumber Investor Daily. Sumber lain yang dekat dengan keluarga Sampoerna pun baru tahu tentang rencana penjualan saham dalam dua hari terakhir. Dia juga tidak tahu persis motivasi keluarga Sampoerna menjual sahamnya ke PMI. “Hanya keluarga Sampoerna saja yang tahu. Para direktur pun tidak tahu alasan penjualan itu,” katanya.Niken Rachmad juga mengaku tidak mengetahui strategi bisnis apa yang akan dilakukan keluarga Putera Sampoerna pascapenjualan sahamnya di Sampoerna. "Saya banyak mendapat pertanyaan dari rekan-rekan wartawan tentang bagaimana bisnis keluarga Sampoerna selanjutnya. Saya tidak tahu, saya kan bukan sekretaris keluarga Putera Sampoerna," katanya. (ed/alf/az/ros)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home