BKPM Kini di Bawah Menteri Perdagangan
JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi tugas tambahan kepada Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu untuk mengoordinasikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Saya diberi tugas tambahan untuk mengurusi investasi,” kata Mari kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (4/3) malam. Mari mengaku kaget atas tugas tambahan itu yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 11/2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND). Apalagi, sejak BKPM dibentuk, baru kali inilah berada di bawah koordinasi Departemen Perdagangan (Depdag).
Ditanya apakah fungsi dan tugas BKPM nantinya akan berubah, Mari menjelaskan, ia sendiri tengah mempelajari perpres tersebut. “Saya kan bukan berlatar belakang birokrat sehingga harus belajar dulu dan tahu secara persis apa yang dimaksud koordinasi di sini,” kata dia.
Menurut staf Departemen Perdagangan, Budi Darmadi, Perpres No 11/2005 menyebutkan, dalam menjalankan tugasnya masing-masing LPND dikoordinasikan oleh menteri. “Dalam pasal 2 perpres disebutkan bahwa koordinasi meliputi perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi lain serta penyelesaian permasalahan yang timbul dalam kebijakan,” kata dia.
Perpres itu juga menyebutkan pertimbangan mengapa BKPM kini dikoordinasikan oleh Mendag. Yang jelas, kata dia, Depdag menjadi pusat indentifikasi permasalahan dan perumusan investasi. Sebab, kepala BKPM bukan setingkat menteri sehingga jika ada permasalahan dengan departemen teknis, yang mengoordinasikan adalah mendag.
Di tempat terpisah, Deputi Kepala BKPM Yus’an mengatakan, pengalihan koordinasi BKPM ke Depdag lebih bersifat administratif, bukan pengalihan tanggung jawab sepenuhnya. Sebab, kepala BKPM hingga saat ini tetap bertanggung jawab kepada menko Perekonomian atau langsung kepada presiden.
“Sebenarnya hal yang paling penting dan mendesak bukan ke mana dan kepada siapa BKPM bertanggung jawab dan berkoordinasi, tapi bagaimana caranya merealisasikan sistem pemberian izin satu atap (one roof service) sehingga pelaku bisnis tidak perlu bolak-balik berurusan dengan instansi lain kala mengurus izin investasi,” ungkapnya kepada Investor Daily, Sabtu (4/3).
Ia mengingatkan, selama status BKPM sebagai penyelenggara perizinan belum jelas, akan sulit memangkas birokrasi perizinan sebagaimana dikeluhkan pelaku bisnis.
Menurut Yus’an, lamanya pengurusan izin investasi sebenarnya terletak pada departemen teknis. Pengurusan izin di departemen teknis, kata dia, umumnya berbelit-belit, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Jadi, masalahnya bukan di BKPM. “Bayangkan, pengurusan izin investasi di departemen teknis bisa berbulan-bulan. Tak heran bila ada pengusaha menjadi frustrasi dan membatalkan niat berbisnis di Indonesia,” tegasnya.
Paling Lama
Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, proses perizinan usaha di Indonesia membutuhkan waktu 156 hari, paling lama di Asia Pasifik. Sementara itu, rata-rata perizinan usaha di kawasan ini butuh waktu 50 hari.
Ditanya tentang status BKPM yang kini berada di bawah koordinasi mendag, Yus’an mengatakan, kalau ditinjau dari segi pemberian insentif kepada pengusaha, BKPM lebih tepat berada di bawah koordinasi Departemen Keuangan (Depkeu). Sebab, Depkeu lebih berwenang dalam memberikan insentif pajak, pengurangan bea masuk, dan sebagainya.
Namun, kata dia, jika pertimbangannya untuk lebih menggenjot ekspor dan arus investasi masuk dari luar negeri, pengalihan BKPM ke Depdag sudah tepat. “Itu sudah benar dan tepat sekali. Karena Depdag mengurusi multisektor seperti perikanan dan pertanian, bukan seperti Depperin yang mengurusi satu industri,” katanya.
Untuk mendorong investasi masuk, kata Yus’an, pemerintah harus mempercepat penyelesaian rancangan undang-undang (RUU) Investasi. Ia mengatakan, RUU tersebut telah disiapkan lebih dari sembilan tahun oleh BKPM, namun hingga kini nasibnya terkatung-katung.
Salah satu usulan BKPM pada RUU itu adalah pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan sampai 50% dari yang berlaku saat ini (30%), untuk jangka tertentu dan wilayah tertentu. Usulan lainnya adalah pemberian perlakuan sama (equal treatment) antara pengusaha nasional dan asing. “Itu berarti kalau pengusaha nasional dapat insentif pajak, investor asing juga harus mendapatkannya,” tuturnya.
Kantor Promosi
Asisten Menko Perekonomian Muhammad Ikhsan mengatakan, pemerintah menilai BKPM lebih tepat di bawah koordinasi Depdag dibanding Departemen Perindustrian (Depperin) karena ruang lingkup Depdag lebih luas. “Depperin hanya mengurusi sektor industri,” kata dia di Jakarta, Sabtu.
Ia mengakui, kedua instansi tersebut mempunyai kantor promosi di luar negeri sehingga masing-masing kantor bisa dioptimalkan. “Jadi nantinya, Depdag dan BKPM ikut membantu instansi lain untuk mempromosikan komoditas dan iklim investasi di luar negeri, termasuk menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia. Pokoknya ruang lingkup kerja BKPM dan Depdag akan diperluas,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, Depdag kini memiliki lima ITPC (International Trade Promotion Center) di Osaka, Dubai, Johannesburg, dan Sao Paolo. Total anggaran kelima ITPC itu mencapai Rp 14,53 miliar tahun 2003. Sedangkan Kantor Promosi Investasi yang dimiliki oleh BKPM tersebar di London, Amsterdam, Los Angeles, Nagoya, Taipei, dan Melbourne. Jumlah anggaran promosi untuk meningkatkan investasi mencapai Rp 46 miliar tahun 2005.
Menurut M Ikhsan, pengalihan BKPM ke Depdag akan memungkinkan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) saling berinterkasi dan bekerjasama lebih erat dengan BKPM, baik dalam meningkatkan ekspor dan menarik arus investasi asing di luar negeri. Selama ini, ketiga instansi ini dianggap kurang berkoordinasi. “Pengalihan koordinasi ini bukan berarti BKPM akan dilebur dengan Depdag,” kata dia.
Sementara itu, ekonom CSIS Pande Radja Silalahi menilai, pengalihan BKPM ke bawah Depdag merupakan perubahan fungsi BKPM yang nantinya akan lebih difokuskan sebagai lembaga promosi investasi dan perdagangan. “BKPM tampaknya akan dijadikan sebagai fasilitator atau lembaga promosi, tidak mengeluarkan perizinan,” kata dia.
Ia menilai, pengalihan itu merupakan upaya pemerintah untuk memangkas birokrasi dalam pengeluaran izin investasi. “Kalau semua dikoordinasi oleh mendag, saya kira lebih praktis,” kata dia.
Rangkap Jabatan
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Djimanto menyambut baik BKPM berkoordinasi dengan Depdag. Sebab, setiap kegiatan investasi ujung-ujungnya adalah menjual barang. “Mari Pengestu sebagai Menteri Perdagangan harus mampu meyakinkan investor asing bahwa produk yang diproduksi Indonesia bisa dipasarkan di dalam negeri dan pasar global. Sedangkan Departemen Perindustrian itu hanya sebagai lembaga pendukung. Jadi pengalihan itu sudah pas,” ujarnya.
Djimanto menilai, cakupan kerja BKPM di masa mendatang tidak akan banyak. “Ke depan, peran BKPMD (daerah) lebih besar sehingga BKPM hanya memonitor dan mencatat investasi yang masuk,” kata dia.
Ia mengusulkan, mendag sekaligus merangkap jabatan sebagai kepala BKPM karena secara teknis tidak banyak lagi pekerjaan di BKPM. Untuk menjual potensi Indonesia ke luar negeri, kata dia, dapat dikerjakan ITPC. “Jabatan rangkap akan lebih efisien. Kalau bisa dikerjakan satu orang, kenapa harus ada pejabat lain,” kata dia.
Meskipun mendag merangkap kepala BKPM, tegasnya, Indonesia jangan terlalu berharap investor asing segera masuk khususnya kelompok pengusaha yang tergabung dalam China Overseas (Cina Perantauan). Kini, kata Djimanto, tidak ada lagi pertimbangan rasial yang mendorong pengusaha untuk berinvestasi di suatu negara, kecuali pertimbangan keuntungan.
Sementara itu, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Muhammad Lutfie menilai, pengalihan koordinasi tersebut tidak masalah sepanjang menimbulkan sinergi yang baik. “Bagi pengusaha, yang terpenting adalah langkah untuk memangkas birokrasi perizinan,” kata bos Grup Mahaka itu.
Ia menegaskan, pengusaha tidak mempermasalahkan BKPM di bawah siapa, tetapi bagaimanan menggerakkan BKPM agar dapat menarik investor asing menanamkan modal di Indonesia. (dun/ton/ys/ls/ed)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home