Komisi V DPR Pertanyakan Kebijakan Kode akses
JAKARTA-Anggota Komisi V DPR mempertanyakan keputusan penerapan perubahan kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) yang diumumkan pemerintah pekan lalu. Keputusan tersebut dinilai melangkahi kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Padahal, kesepakatan sudah masuk ke dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) No. 32 Tahun 2004.
“Sesuai kesepakatan sebelumnya, mestinya perubahan kode akses ditunda, tapi dalam pengumuman Menkominfo, pemerintah justru tetap menerapkan meskipun bertahap. Itu menyalahi undang-undang,” kata Anggota Komisi V DPR Joseph Umarhadi
kepada Investor Daily, Minggu (3/4).
Menurut catatan Investor Daily, Komisi IV DPR (dulu membawahi bidang telekomunikasi,red) dan Panitia Anggaran Periode 1999-2004, menyepakati penundaan penerapan kode akses pada tahun 2005. Karena dikhawatirkan mempengaruhi kinerja Telkom, dan bermuara pada jumlah dividen yang disetorkan ke pemerintah. Bila ingin tetap mengubah kode akses, pemerintah harus menunggu hingga Juni 2005 untuk merevisi.
Joseph Umarhadi mengatakan, dalam waktu dekat, pihaknya akan meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menjelaskan permasalahan kode akses kepada Komisi V DPR yang membawahi bidang telekomunikasi.
Mulai 1 April 2005, pemerintah memberlakukan penerapan kode akses SLJJ 017 untuk Telkom dan 011 bagi Indosat. Meskipun, penggunaan prefiks “0” seperti saat ini masih tetap dimungkinkan untuk semua operator.
Pemerintah juga menetapkan pembukaan kode akses SLJJ 011 untuk PT Indosat di wilayah-wilayah dengan kode area 021 (Jakarta) ,031 (Surabaya) ,0361 (Denpasar),0778 (Batam), dan 061 (Medan).
Sementara itu, Pelaksana Operasional Harian Manajer Eksternal Relations Telkom Johny Haumahu menjelaskan, pelanggan Telkom masih bias menggunakan “0” untuk melakukan SLJJ. Misalkan untuk ke Jakarta tetap menggunakan “021”, ke Bandung “022”, ke Surabaya “031”, ke Medan “061”, ke Palembang “0751”, ke Makasar “0411” dan seterusnya sesuai dengan kode area yang ada.
“Tidak perlu harus mengganti kartu nama, kertas surat atau bentuk administrasi apapun karena memang tidak ada yang berubah bagi pelanggan Telkom. Penggunaan kode akses baru tersebut hanya diperlukan bila pelanggan Telkom akan menghubungi pelanggan Indosat,” katanya, Minggu.
Progressive License-Fee
Terpisah, Asmiati Rashid, pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus) berharap pemerintah memainkan perannya sebagai regulator untuk mengontrol operator telekomunikasi dalam membangun industri tersebut. Sehingga, tujuan pemerintah membuka kompetisi untuk menaikkan penetrasi telepon, dapat tercapai.
Salah satu kebijakan yang harus segera diambil pemerintah untuk meningkatkan penetrasi secara signifikan, adalah kebijakan progressive license-fee.
Kebijakan itu dapat memacu pemain baru telekomunikasi membangun jaringan telepon. License-fee selama ini berupa pembayaran hak penggunaan frekuensi (BHP) sebesar 1% dari pendapatan operator, dinilai tidak relevan.
“Kebijakan pembayaran BHP dapat digunakan untuk menarik dana pembangunan infrastruktur telekomunikasi,” kata Asmiati
Sebagai alat kontrol, lanjut dia, penerapan lisence fee harus dibedakan. Perusahaan yang benar-benar membangun infrastruktur harus mendapatkan insentif. Sebaliknya, kebijakan ini akan memiliki konsekuensi berat bagi perusahaan telekomunikasi yang memiliki izin membangun infrastruktur, tapi tidak mau membangun.
Kebijakan lisence fee juga harus diterapkan secara tepat kepada perusahaan yang tidak perlu membangun infrastruktur.
“Perusahaan yang bergerak di bidang layanan VoIP (Voice over Internet Protocol) harus membayar BHP lebih tinggi, ketimbang perusahaan yang membangun jaringan,” kata Asmiati.Progressive license-fee juga perlu diterapkan berdasarkan wilayah pembangunan. Asmiati melihat ada operator yang cenderung memilih membangun di wilayah ‘gemuk’ saja. Berdasarkan studi di India -- negara yang memiliki banyak kemiripan dengan Indonesia, penerapan progressive licence-fee diberlakukan pada empat tingkatan wilayah. Pertama, wilayah kota besar (metropolitan) lisence fee mencapai 12% dari pendapatan. Kemudian, kota besar 10%, kota sedang 8%, dan daerah yang kurang menguntungkan 4%. (tri/ed)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home