Lisensi 3G CAC dan NTS Tak Perlu Dicabut
Jakarta-Anggota Komisi V DPR Marwan Ja’far meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan A Djalil tidak menender ulang lisensi frekuensi seluler generasi ketiga (third generation/3G). Saat ini, operator yang telah menerima lisensi adalah PT Cyber Access Communications (CAC) sebesar 15 Megahertz (MHz) dan PT Natrindo Telepon Seluler/NTS (Lippo Telecom) sebesar 10 MHz.
“Apa alasannya menender ulang lisensi yang sudah keduanya peroleh? Kita khawatir justru akan menimbulkan gugatan-gugatan,” tutur Marwan, di sela Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi V DPR dengan Menkominfo, di Jakarta, Kamis (9/6).
Hal senada sebelumnya dituturkan pengamat telekomunikasi Roy Suryo menegaskan, ”Tender ulang berisiko tinggi. Bisa disomasi, dan kemungkinan besar pemerintah kalah. Jadi lebih baik ditunggu hingga selesai batas izin, baru dinilai,” kata dia.
Lisensi 3G kepada CAC melalui proses tender dalam Keputusan Dirjen Postel No. 253/ Dirjen/ 2003 tanggal 8 Oktober 2003. Sedangkan lisensi 3G Lippo Telecom diberikan pemerintah pada pada September 2004.
Selain kedua perusahaan itu, lisensi 3G juga telah diberikan kepada Primasel dan Wireless Indonesia (5 MHz) yang disebut-sebut ingin membangun jaringan CDMA 2000 1x di pita frekuensi 1.900 MHz. Pita frekuensi yang sama digunakan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) lewat produk Telkom Flexi dan PT Indosat Tbk dengan layanan Star One.
Menurut Marwan, gugatan tersebut dikhawatirkan memperburuk citra Indonesia di mata investor asing. Sebagaimana diberitakan CAC menggandeng Hutchison Telecommunications International Ltd (HTIL) Hong Kong untuk membeli 60% sahamnya senilai US$ 120 juta. Sedangkan Lippo Telecom menggandeng operator seluler terbesar Malaysia Maxis Communications Berhad (Maxis) dengan menjual 51% kepemilikan sahamnya senilai US$ 100 juta. “Jangan sampai investor takut investasi di Indonesia karena tidak ada kepastian hukum,” katanya.
Padahal, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang gencar menarik investor asing untuk masuk ke Indonesia.
Marwan juga meminta agar lisensi yang telah diberikan kepada CAC dan Lippo Telecom tidak dikurangi. “Saya usulkan agar keduanya diberi kesempatan membangun. Pemegang izin harus diminta kontribusinya kepada negara. Jika pada kurun waktu tertentu tidak memenuhi kewajibannya, barulah dipertimbangkan keputusan berikutnya,” tutur Marwan.
Saat ini CAC telah mengeluarkan sekitar US$ 50 hingga US$ 60 juta untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. Menurut Executive Chairman Office PT CAC Laurens Bulters, operasional perusahaan dapat direalisasikan mulai kuartal pertama 2006. Sedangkan investasi di Tanah Air hingga tahun 2010 tidak kurang dari US$1miliar. Sementara itu, Maxis Malaysia telah menandatangani kesepakatan kerjasama pengembangan 3G dengan vendor Ericsson.
Marwan mengatakan, jika ditata dengan baik masih ada alokasi untuk operator lain yang belum memperoleh lisensi.
Sementara itu, praktisi hukum Hinca Panjaitan menegaskan, tidak perlu ada pembatalan lisensi yang telah dikeluarkan pemerintah. Namun, sangat perlu diminta pertanggungjawaban penerima lisensi untuk memenuhi janji-janji yang telah dikemukakan saat menerima lisensi. “Pemerintah harus tanya bagaimana progress si operator,” ujarnya, kemarin.
Alternatif Alokasi Frekuensi
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan A Djalil mengungkapkan, ada dua cara yang kemungkinan akan ditempuh pemerintah dalam mengalokasikan frekuensi 3G. Pertama, bila jumlah frekuensi tidak mencukupi maka dilakukan proses tender secara fair. Operator yang berani membeli dengan harga paling mahal akan mendapatkan frekuensi. Kedua, bila jumlah frekuensi mencukupi, pemerintah akan menetapkan harga estimasi frekuensi per Megahertz (Mhz).
Ia mengungkapkan, pemerintah juga sedang menunggu laporan dari tim audit 3G yang akan melaporkan beberapa hal seperti permasalahan alokasi frekuensi, kepastian hukum, dan kemungkinan pengenaan up front fee (pembayaran fee di muka).
Berkaitan dengan penataan frekuensi, pemerintah sedang menunggu laporan dari tim audit yang melakukan audit operasional terhadap operator yang telah mendapatkan alokasi frekuensi. Bila dari hasil audit itu ditemukan fakta operator tidak menggunakan frekuensi sesuai dengan komitmen dalam lisensi modern, maka pemerintah akan mencabut lisensi tersebut. Sehingga, frekuensi yang tidak dimanfaatkan secara optimal itu dapat diambil kembali oleh pemerintah.
Sofyan juga menuturkan, permasalahan utama di pita frekuensi 1900 Mhz adalah terjadinya pemanfaatan frekuensi yang tidak harmonis antara PCS 1900 (code division multi access/CDMA) dan IMT-2000 core band (3G). Penggunaan dua jenis teknologi yang tidak compatible tersebut menyebabkan terjadinya interferensi. Bilamana, pita tersebut tidak ditata ulang maka akan terjadi pemborosan sumber daya frekuensi dalam bentuk guard band yang tidak bisa dipakai.
Namun, terhadap kemungkinan pemindahan alokasi frekuensi PCS 1900, untuk Telkom Flexi, dia mengatakan hal itu tidak mungkin dilakukan, mengingat pelanggan produk PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) ini sudah mencapai tiga juta pelanggan. Sedangkan, terhadap kemungkinan pemindahan frekuensi Star One milik PT Indosat Tbk, pemerintah sedang berupaya mencari cara terbaik. Demikian, juga untuk frekuensi yang lain, pemerintah sedang menunggu rekomendasi yang sesuai.Pemerintah berkomitmen untuk mengatur pita frekuensi 1900 MHz secara baik. Selama ini, pengaturan frekuensi dinilai kurang optimal dan tidak memberikan manfaat yang maksimal. Untuk itu, pemerintah memikirkan mekanime pengalokasian frekuensi yang memberikan kepastian hukum, dengan mekanisme yang transparan, fair, dan equal level playing field. (tri/ed)
Investor Daily, 9 Juni 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home