Monday, October 11, 2004

Divestasi Permata Tidak Transparan

Stanchart tidak akan melakukan rasionalisasi karyawan, tapi akan menempatkan wakilnya di direksi dan komisaris Permata.

JAKARTA – Proses divestasi 51% saham pemerintah di Bank Permata tidak transparan. Saat mengumumkan konsorsium Standard Chartered International-Astra International sebagai penawar yang diutamakan (preferred bidder), pemerintah tak menjelaskan perjanjian jual-beli (sales and purchase agreement, SPA) kepada publik.
“Pemerintah harus terbuka kalau ada kompensasi yang masih diterima Stanchart-Astra. Jangan-jangan, harganya kelihatan tinggi, tapi pembayarannya justru dicicil atau akan diperhitungkan dengan ini-itu,” kata ekonom senior Indef, Dradjad H Wibowo kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (10/10).

Dradjajd juga menilai, harga penawaran konsorsium sebesar 3,18 kali nilai buku belum bisa disebut sebagai harga tertinggi, karena mengacu pada laporan keuangan Desember 2003. Artinya, jika mengacu pada nilai buku neraca September 2004, harga tawaran Stanchart-Astra jauh lebih rendah.

Bahkan jika mengacu pada harga saham Permata di BEJ, Jumat pekan lalu, harga yang diterima pemerintah jauh lebih rendah. Dalam divestasi ini pemerintah hanya menerima Rp 2,77 triliun. Sedangkan jika mengacu pada harga pasar (Rp 1.075/saham), mestinya pemerintah bisa mengantongi Rp 4,2 triliun.

Dradjad mengimbau pemerintah agar membuat kontrak pembelian lebih rinci dan tegas agar Stanchart-Astra tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Seperti diketahui, Stanchart sempat mengambil alih eks PT Bank Bali Tbk, namun kemudian dibatalkan akibat bank asing itu diskriminatif dan tidak adil. Manajemen Bank Bali di bawah Stanchart menaikkan gaji para petinggi yang berasal dari Stanchart, sementara gaji manajemen lama tak dinaikkan. Peraturan ketenagakerjaan yang dibuat juga diskriminatif.

Menanggapi soal tidak transparannya divestasi, Wakil Dirut PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Raden Pardede mengungkapkan, konsorsium Stanchart-Astra memang unggul dalam berbagai segi, baik harga maupun rencana bisnis. “Soal risk management, Stancahart paling menguasai. Semua tahu bahwa standar risk management bank ini telah diakui oleh perbankan di seluruh dunia,” katanya semalam.

Selain itu, konsorsium ini tetap mengutamakan karyawan dan manajemen lokal. Pemerintah juga meminta Stanchart melakukan training kepada tenaga lokal.

Dalam hal perjanjian jual beli (SPA), menurut Pardede, daftar permintaan Stanchart paling sedikit. Ini berbeda dengan konsorsium lain, yang meminta daftar permintaan lebih banyak. “Misalnya kasus cessie eks Bank Bali, Stanchart tidak mempersoalkan. Demikian pula masalah hukum apapun mengenai kasus-kasus yang melibatkan Bank permata,” tuturnya.


Sementara itu CEO Stanchart Indonesia Stewart D Hall menegaskan, pihaknya belum akan melakukan rasionalisasi karyawan dalam waktu dekat. Namun, terbuka kemungkinan konsorsium menempatkan wakil-wakilnya dalam jajaran direksi dan komisaris Permata. “Kita akan mengusulkan untuk menempatkan masing-masing 4 wakil di jajaran direksi dan komisaris Bank Permata,” kata Hall kemarin.

Menurut Hall, penempatan wakil-wakil konsorsium Stanchart-Astra bukan karena ketidakberhasilan direksi Bank Permata saat ini, namun karena ingin menggunakan hak sebagai pemegang saham. Hall bahkan menilai kinerja direksi Permata saat ini cukup baik.

Satu hal yang pasti, kata Hall, pihaknya tidak akan menggabungkan Bank Permata dengan Stanchart. “Permata merupakan bank sudah tumbuh dengan baik. Jadi akan tetap mempertahankan Permata sebagai institusi independen yang fokus ke ritel," kata Hall.

Hall juga mengatakan, konsorsium tidak memikirkan jika ada aksi hukum yang dilakukan pihak-pihak tertentu dalam proses divestasi ini. Ini karena, semua telah berjalan sesuai peraturan dan dilaksanakan secara transparan pula.

Hasil divestasi ini juga menuai protes sejumlah karyawan Bank Permata. Mereka yang menamakan diri Serikat Pekerja Bank Permata (SPBP) telah mengirim surat kepada Susilo Bambang Yudhoyono agar meneliti proses divestasi Permata. Menurut mereka, banyak kejanggalan dalam proses divestasi tersebut serta ada perjanjian khusus di balik itu.
Menanggapi isu itu, Corporate Secretary Permata Eko Putranto mengatakan, saat ini banyak lembaga ataupun personel yang mengatasnamakan SPBP, padahal mereka orang luar. “Saya merasakan saat ini ada gejolak setelah diumumkan konsorsium Stanchart-Astra sebagai preferred bidder. Padahal SPBP yang asli menyatakan menerima hasil divestasi,” kata dia.
Menurut Eko, manajemen dan SPBP terus melakukan pertemuan. “Mereka menyatakan tidak masalah dan menilai proses divestasi Bank Permata dilakukan secara fair,” tegas Eko. Dia menambahkan, bagi karyawan yang terpenting adalah kelangsungan dan kenyamanan dalam bekerja.

Sedangkan Corporate Secretary PT Astra International Aminuddin menegaskan, pihaknya tidak ada masalah dengan dana untuk pembelian Permata. Dana itu akan diambil dari internal Astra, termasuk laba ditahan. Astra paling tidak harus menyetor Rp 1,385 triliun. Laba bersih Astra tahun 2003 mencapai Rp 4,4 triliun, sedangkan periode Januari-Juni 2004 Rp 2,6 triliun.

Dalam waktu dekat pihaknya akan melapor ke BEJ dan pihak terkait menyangkut akuisisi Permata. “Ya, memang waktu RUPS bulan Mei belum ada agenda untuk membahas rencana pembelian saham Bank Permata,” tegasnya. Yang jelas, katanya, Astra tidak perlu meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk ikut divestasi ini.

Menurut Aminuddin, otoritas pasar modal mensyaratkan, setiap aksi korporasi yang material, antara lain pengeluaran 10% dari pendapatan perseroan, emiten harus melapor ke BEJ. Mengingat pendapatan Astra sebesar Rp 30 triliun, berarti dana untuk membeli Permata tidak masuk kategori material. Meski demikian, Astra akan mengirim surat ke otoritas bursa Senin (11/10) ini.

Ia menyangkal Astra pernah gagal mengelola bisnis perbankan, yakni saat memiliki Bank Universal, yang kemudian dilebur ke Permata. “Dulu Astra sedang kesulitan keuangan untuk bayar utang yang mencapai US$ 1 miliar. Maka alternatif yang dipilih adalah melepas kepemilikan saham,” kata Aminuddin. (jad/rul/mc/ed)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home