Wednesday, October 06, 2004

Pasca Buy Out, Margin EBITDA KSO Telkom Naik 6%

Terjadi efisiensi biaya. Selain itu, Telkom dapat menawarkan semua produk secara bebas.

JAKARTA-PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menyatakan, semua Kerja Sama Operasi (KSO) yang telah diambil alih perseroan mengalami pertumbuhan EBITDA margin 5%-6%.
Menurut Kristiono, dirut Telkom, perbaikan kinerja terutama didorong oleh kenaikan penjualan di wilayah KSO terkait.
“Divre IV, misalnya, Januari akhir lalu, kita ambilalih, sampai dengan hari ini, net sales-nya sudah 135 ribu sambungan. Hasil tambahan itu, sama dengan, 25% atau hampir 30% dari total pelanggan yang cuma 500-600 ribu,” kata Kristiono, seusai Penandatangan MoU antara Telkom dengan 57 Perguruan Tinggi kemarin (5/10), di Jakarta.
Membaiknya kinerja, kata dia, juga terjadi karena adanya efisiensi biaya. Selain itu, akibat terbukanya kesempatan bagi Telkom untuk menawarkan semua produk secara bebas. Sebelum diambil alih, jelas Kristiono, ada produk-produk Telkom yang tidak bisa dijual di wilayah KSO.
Dalam pengelolaan bisnis telekomunikasi, pada tahun 1996, Telkom melakukan KSO dengan jangka waktu 15 tahun (hingga 2010). Dari tujuh divisi regional (divre) Telkom, lima diantaranya di-KSO-kan. Dari ke-5 KSO tadi, Telkom telah membeli kembali (buy out) KSO Divre I Sumatera, Divre III Jabar/Banten, Divre IV Jateng/DI Yogjakarta dan Divre VI Kalimantan. Hingga kini hanya satu KSO yang tersisa, yakni Divre VII (PT Bukaka SingTel) untuk kawasan KTI.
Sebenarnya perjanjian KSO menguntungkan kedua pihak. Dan, dari perjanjian KSO, Telkom mendapat minimum Telkom revenue (MTR) yang besarnya meningkat setiap tahun. Selain itu, Telkom mendapat distributable Telkom revenue (DTR). Untuk DTR, jumlahnya dibagi sesuai kesepakatan.

Divre IV Jateng/DI Yogjakarta
Khusus untuk Divre IV Jateng/DI Yogjakarta, Kristiono melihat terjadi efisiensi yang sangat signifikan. Skema amandemen KSO yakni pengambilalihan tanggung jawab pengelolaan, operasi, pengawasan dan pengendalian Divre IV oleh Telkom, dinilai telah menciptakan efisiensi biaya sangat besar. Dengan kebijakan itu, kini, semua hasil operasi Divre IV masuk ke Telkom.
Sebaliknya, skema MTR, dimana dulu ada DTR ke Telkom dan DTR ke PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI) sudah tidak ada lagi. Kewajiban Telkom hanya membayar US$ 5,4 juta hingga US$ 6,8 juta ke MGTI hingga 2010. “Kita hanya bayar fixed. Dan, pembayaran itu pasti dari operasional cukup, apalagi sales dan cash flow makin bagus,” katanya.
Lebih lanjut, Kristiono juga mengaku tidak mengerti apa yang diinginkan pihak yang mengatasnamakan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom Divre IV serta Federasi Serikat Pekerja BUMN Seluruh Indonesia terkait transaksi penjualan MGTI ke PT Alberta.
Menurut Kristiono, faktanya, pengambilalihan divre IV dengan skema amandemen KSO, sudah memberikan manfaat yang sangat besar bagi Telkom. “Saya nggak tahu, apa maunya dia, tapi faktanya, ada benefit luar biasa ke Telkom,” katanya.
Kristiono juga memaparkan skema amandemen KSO yang dilakukan di divre IV dinilai cukup menguntungkan, karena perseroan tidak perlu mengakuisisi MGTI. Dia menggambarkan, langkah perseroan dalam melakukan pembelian saham PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitra KSO-VI Kalimantan), PT Pramindo Ikat Nusantara (Mitra KSO-I Sumatera), dan PT AriaWest Internasional (Mitra KSO-III Jabar/Banten) dinilai menyisakan masalah. Karena, ketiga perusahaan tersebut kini menjadi perusahaan yang tidak memiliki fungsi apapun (paper company), namun Telkom tidak bisa mencoret keberadaan ketiga perusahaan tadi.
“Perusahaannya sendiri nggak bisa dibuang, karena kalau dibuang/ dilikuidasi, itu impact-nya macam-macam, seperti terkait pajak,” katanya.
Tentang pajak, sumber Investor Daily, di lingkungan Divre III Jabar/Banten menyebutkan, Aria West Internasional sengaja dipertahankan guna menuntaskan soal pajak sekitar Rp 1,7 triliun. “Kita menggaji direksi yang juga orang Telkom di Aria West. Karena jika Aria West ditutup maka fasilitas tax forward loss akan raib,” katanya, beberapa waktu lalu.
Kristiono mengakui, keberadaan tiga perusahaan bekas mitra KSO cukup menganggu. Sebab, Telkom tetap harus menempatkan direksi, komisaris dan karyawan di sana. Tentu saja, hal itu tidak menguntungkan perseroan, yang akhirnya harus membayar gaji mereka.

KSO VII
Di lain pihak, Telkom mengaku belum berniat untuk mengambilalih divre VII dari tangan mitra KSO-PT Bukaka Singtel. Sebab, pengambilalihan operasi dari wilayah ini dinilai tidak mendesak (urgent). “Nafas kita, sudah mau habis, dan masalahnya juga di Indonesia Timur tidak urgent,” katanya.
Dibandingkan, dengan kondisi KSO I, III dan VI sebelum diambilalih, kegiatan operasional KSO VII dinilai masih dapat berjalan, meskipun tidak optimal. Sebaliknya, pengambilalihan ketiga KSO lain, terjadi karena mereka tidak bisa investasi lagi. “Dengan 3-4 tahun tidak investasi, akhirnya tidak ada supply , operasi kacau, kualitas pelayanan menurun, segera kita ada urgensi untuk ambil alih Kalau, di Indonesia Timur, khan masih jalan, kalau optimum sih enggak, tapi masih jalan,” papar Kristiono. (tri/ed)


0 Comments:

Post a Comment

<< Home