Friday, September 10, 2004

Perry Tristianto, pemilik The Big Price Cut

‘Buat Sesuatu Yang Baru Agar Kebagian Kue’

“Factory outlet (FO) telah menjadi sebuah gejala di beberapa kota besar di Indonesia. Bandung, khususnya, telah memantapkan diri sebagai Kota FO. Namun, FO bukan saja merupakan gejala di bidang bisnis maupun fashion. Lebih dari itu, FO telah menjadi fenomena budaya.”


Penggalan pernyataan Hianly Muljadi, dalam tulisannya di situs Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (www.fib.ui.ac.id) di atas terasa masih aktual.
Siang itu, di gerai FO The Big Price Cut (TBPC) di Jalan Siliwangi, Bandung, berlalu lalang pembeli dari berbagai kalangan. Menilik mobil yang diparkir di halaman FO milik Perry Tristianto (44 tahun), para pengunjung tadi bukan dari kelas ekonomi bawah. Selain sedan mewah keluaran Eropa, terlihat juga mobil mengkilap keluaran Jepang.
Sesekali pembeli bertanya pada penjaga toko untuk dicarikan barang yang ingin dibelinya.
Situasi sejenis terlihat pula di FO lainnya seperti The Heritage, Rich & Famous, dan The Summit.
“Pemaknaan FO sedianya adalah tempat belanja bagi kelas menengah ke bawah yang ingin mendapatkan barang-barang bermerk, berupa barang-barang sisa ekspor, sehingga dianggap layak masuk ke kelas sosial yang lebih tinggi, sebagaimana ungkapan we are what we consume. Namun, ternyata ketika sampai di tengah masyarakat, makna tersebut bergeser sehingga FO malahan menjadi tempat berbelanja bagi kelas menengah ke atas,” tulis Hianly Muljadi.
Bandung dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa -- jumlah ini meningkat pesat dibandingkan 15 tahun sebelumnya yang baru sekitar 2,1 juta jiwa, semakin padat dengan kehadiran pembeli dari kota-kota lain, khususnya pembeli dari Jakarta.
FO yang bertebaran di seantero Bandung memang terasa menjadi ajang rekreasi yang mengasyikan.
“Tapi sepanjang satu tahun setengah terakhir, FO mendapat saingan dari tempat belanja lain seperti masuknya Carrefour dan Giant,” tutur Perry Tristianto, perintis FO sekaligus pemilik FO TBPC, saat ditemui di kantornya yang merangkap gudang di Jalan Siliwangi.
Menurut dia, secara perekonomian Bandung mengalami peningkatan pada periode tersebut. Terlebih dengan menyerbu masuknya investor-investor besar dari Jakarta yang memboyong bisnis rumah makan seperti Tommy Romas dan Embassy. Belum lagi investasi di bisnis hiburan malam seperti cafe dan karaoke.
“Sehingga bagi pebisnis Bandung sendiri mesti membuat suatu terobosan baru, kalau gak maka tidak kebagian kue. Kalau dulu kita kebagian kue sekitar sepuluh persen, sekarang ini tinggal sekitar empat hingga lima persen,” jelas Perry.
Pria yang mengaku hanya bekerja dari pukul 10 hingga 16.00 itu, jika tidak inovatif akan tergerus. “Saya harus terus membuat sesuatu yang baru. Karena konsumen tidak ada yang loyal. Konsumen akan mengunjungi tempat baru. Karenanya saya harus membuat konsep baru terus. Kalau rugi ya tutup aja, seperti punya saya di Surabaya,” ungkapnya.

Perintis FO
Pria penggemar golf, dan pengurus seksi dana organisasi golf terbesar di Bandung, PG Fella tahun 2004-2006, itu berkisah, setelah menekuni bisnis wisata belanja jeans sepanjang kurun waktu 1990-1995 di kawasan Cihampelas, Bandung. Dirinya melihat perlu terobosan baru untuk terus membuat calon pembeli mengunjungi tokoknya.
“Saya mendirikan FO setelah melihat kebutuhan orang untuk berbelanja sambil berekreasi,” cetus Perry.
Saat memasuki krisis ekonomi tahun 1997, makin banyak pabrik garment yang mengalami krisis. Saat itu, sisa ekspor pabrik-pabrik garment yang banyak berdiri di sekitar Bandung, menjadi pilihan sebagai sumber pasokan FO Perry.
“Sepanjang tahun 1997 hingga 2001, penjualan Saya tergolong tinggi. Margin saat ini sekitar 20 persen. Kini, saat omzet berkisar 1 miliar rupiah per bulan, margin yang saya capai sekitar 30 hingga 35 persen,” ungkap pria ayah dari Adrian (18 tahun) dan Messayu (14 tahun) itu.
Sulung dari tiga bersaudara anak dari seorang bankir itu mengaku menjalankan bisnisnya secara mengalir saja. Dari sebelas FO yang dimilikinya dilahirkan dari ide-ide spontan. Konsepnya beda satu dengan lain. Sebut saja misalnya China Imperium, yang lahir dari gagasan menghimpun maraknya produk-produk Cina di Bandung. Kemudian ada Happening yang dipadukan dengan cafe bahkan menampilkan musik dari anak-anak muda Bandung. Emmirates dengan konsep Timur Tengahnya atau yang terkini Container dengan konsep bangunan layaknya kontainer. Hanya saja, untuk yang terakhir ini, Perry membukanya di dekat stasiun pompa bensin Sentul, Bogor.
“Saat ini saya sedang menyiapkan investasi baru sekitar tiga miliar rupiah, di luar tanah dengan konsep segala hal tentang strawbery. Di lahan sekitar 8.000 meter di jalan arah ke Lembang itu semua produk bernuansa strawbery. Kemudian satu lagi dengan konsep boys and girl. Serta satu lagi di kawasan Dago, Bandung. Tahun ini investasi yang saya keluarkan sekitar 15 miliar,” cerita Perry.
Uniknya, Perry tidak mengandalkan dana dari perbankan. “Ada sedikit, sekitar 10 persen-lah dari total investasi yang saya keluarkan hingga saat ini,” kata pria yang menyelesaikan studi di jurusan marketing di Standford, Singapura pada tahun 1983 itu.
Selain itu, jurus yang dia pakai adalah senantiasa menggunakan tanah sewaan. Dari sebelas FO, hanya dua yang berdiri di atas tanah milik sendiri. Selebihnya sewa dengan jangka waktu 5 hingga 20 tahun.

Dominan Lokal
Pria yang sempat “mampir” di jurusan sosial politik Universitas Parahiyangan, Bandung itu mengaku, pasokan barang-barangnya, khususnya baju, sebagian besar dari produk lokal. “Enam puluh persen lokal dan empat puluh luar negeri,” katanya.
Barang-barang bermerk asing seperti GAP, Esprit, Versaces, Guess, dan Calvin Klein bertenggeran di seantero gerai FO nya.
“Barang-barang domestik banyak yang saya ambil dari kawasan berikat nusantara. Tapi, banyak sekali yang datang langsung ke tempat saya,” katanya, sembari menunjuk seorang ibu yang siang itu muncul menawarkan baju atasan wanita, di sela-sela perbincangan dengan Investor Daily.
Namun, untuk produk luar negeri, menurut Perry, ia meminta istrinya setiap sebulan sekali melanglang buana. Produk branded dicari ke India, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Singapura. Sedang produk dari Cina sudah sekitar empat bulan ia tinggalkan menyusul maraknya produk tersebut di tanah air. Bagaimana dengan produk Eropa dan Amerika? “Tidak. Karena harganya terlalu tinggi,” tukas Perry, menutup perbincangan. (edo rusyanto)








0 Comments:

Post a Comment

<< Home