Friday, August 13, 2004

‘Heroisme di Pertamina’

PT Pertamina (Persero) memiliki sejarah panjang. Nuansa heroik terasa kental sejak penjajahan Belanda, pendudukan Jepang hingga agresi militer Belanda. Kehadiran militer (tentara) dalam pengelolaan perusahaan minyak menjadi akrab. Jika kita buka catatan sejarah, heroisme tentara dan karyawan perminyakan bisa terlihat antara lain pada pengelolaan sumber minyak di Cepu, Jawa Tengah. Bulletin Warta Pertamina, edisi No. 12/THN XXXVIII/DESEMBER 2003 menyebutkan,
akibat pemberontakan PKI tahun 1948, kilang Cepu memerlukan pembenahan dan perbaikan peralatan. Tetapi Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) Cepu pada waktu itu kesulitan keuangan. Akhirnya kilang Cepu dibumihanguskan. Karyawan perminyakan dan tentara RI bergabung mempertahankan daerah perminyakan Ledok, Nglobo, dan Semanggi sehingga Belanda tidak berhasil merebut daerah ini.
Keberadaan PTMN Cepu cukup berarti. PTMN Cepu adalah salah satu perusahaan yang dapat membantu Pemerintah dalam hal BBM yang banyak sekali manfaatnya bagi Angkatan Perang. Manfaat PTMN ini diakui delegasi Pemerintah RI pada perundingan dengan Belanda di Kaliurang, Yogyakarta.
Kemudian, semenjak PTMN dinonaktifan 25 Agustus 1949 dan berlaku surut 19 Desember 1948, Cepu Barat dikuasai Komando Daerah Militer Blora sampai dengan 1951 dan lalu dikuasai oleh Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI).
Peranan militer dalam pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) terasa guna mengamankan pasokan, menghadapi serangan militer asing saat penjajahan Belanda maupun Jepang. Paling menonjol adalah saat urusan perusahaan tambang minyak Sumatera Utara (TMSU) diserahkan kepada KASAD. Di zaman PM Ir. H. Juanda, 22 Juli 1957, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Ir. Inkiriwang menyerahkan kekuasaan mengenai TMSU kepada KASAD Jenderal AH. Nasution. Setelah TMSU diserahkan kepada KASAD Jenderal AH. Nasution, maka berdirilah PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU).
Cerita ini diawali ketika 15 Oktober 1957 Menteri Perindustrian menetapkan dan menyempurnakan penyerahan kekuasaan kepada Angkatan Darat, dengan memberi kuasa untuk membentuk perusahaan terbatas (PT ETMSU) pada 22 Juli 1957. Jenderal Nasution menunjuk Kolonel. dr. Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utamanya.
Tapi tidak lama setelah berdiri, PT ETMSU harus diubah namanya. Jenderal AH Nasution memerintahkan supaya nama PT ETMSU diubah. Maksud Pak Nas, lapangan minyak bumi itu aset nasional dan bukan milik dan urusan provinsi saja. Kesan nasional itu yang harus muncul. Maka pada 10 Desember 1957 nama PT ETMSU diubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina). Itulah cikal bakal Pertamina dan setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari kelahiran Pertamina.
Sejak 5 Juni 1961, PT Permina berubah status menjadi PN Permina. Di lain sisi Indonesia memiliki PN Pertamin (PN Pertambangan Minyak Indonesia). Pada 20 Agustus 1968 Pemerintah Republik Indonesia menggabungkan PN Permina dan PN Pertamin. Berdasarkan PP Republik Indonesia No. 27/Tahun 1968 telah dibentuk PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN Pertamina) yang menampung segala kegiatan pengurusan dan pengusahaan minyak dan gas bumi dari PN Permina dan PN Pertamina.
Maksud dan tujuan penyatuan ini agar benar-benar dapat meningkatkan produktivitas dan efektivitas serta efisiensi di bidang perminyakan nasional di dalam wadah suatu integrated oil company dengan satu manajemen yang sempurna.
Perkembangan dan kemajuan pesat yang dicapai PN Pertamina menyebabkan adanya kebutuhan memberikan landasan kerja baru guna meningkatkan kemampuan dan menjamin usaha selanjutnya.
Berhubungan dengan itu pada 15 September 1971 telah diundangkan UU No. 8 Tahun 1971 mengenai Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Terjadi perubahan, jika semula PN Pertamina sebagai Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional, menjadi Pertamina sebagai Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Setelah terbit UU No. 22 Tahun 2001 Pertamina berubah status menjadi PT Pertamina (Persero) sejak 17 September 2003. Kamis, 18 September 2003, Ariffi Nawawi dilantik menjadi direktur utama Pertamina menggantikan Baihaki Hakim. Dalam ulang tahunnya ke 46, Pertamina mengusung tema Kini Kami Berubah (We’ve changed). Dan, memang sejak saat itu Pertamina berubah menjadi perseroan yang berorientasi profit.
Ariffi menegaskan bahwa Pertamina akan fokus pada core business yakni pertambangan minyak dan gas. Era kepemimpinan Ariffi berlangsung singkat. Di tengah menyeruaknya kabar Pertamina yang mengalami defisit keuangan dan memiliki utang sekitar Rp 17 triliun kepada Pemerintah, Ariffi digantikan oleh Widya Purnama.
Kemarin (11/8), Widya Purnama, anak tentara kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 26 Juli 1954 ini resmi dilantik oleh Deputi Menneg BUMN Bidang Pertambangan, energi, telekomunikasi dan industri strategis, Roes Aria Wijaya selaku salah satu komisaris PT Pertamina. Roes juga yang melantik Ariffi menggantikan Baihaki.
Tampilnya Widya Purnama yang disebut-sebut sukses mengawal divestasi 41,94% (434,25 juta saham) Pemerintah di PT Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat) kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT), sontak menepis rumor yang berkembang sebelumnya bahwa pengganti dirut Pertamina akan berasal dari orang dalam.
Widya Purnama yang sebelum dilantik sebagai dirut Pertamina adalah dirut Indosat, mengaku akan membawa Pertamina menjadi perusahaan yang mampu mengalahkan Petronas Malaysia.
Bahkan, menurut dia, guna menghadapi para penyelundup BBM, jika diperlukan maka akan ditembak mati.
Segudang pekerjaan rumah (PR) sudah di depan mata Widya Purnama. Termasuk bagaimana menuntaskan tunggakan Pertamina kepada Pemerintah. Untuk hal ini, Panja DPR pada 22 Juni lalu memutuskan, penyelesaian kewajiban itu akan dilakukan dengan pola penjadwalan kembali pembayaran utang dan installment atau memberikan kesempatan bagi Pertamina menjual beberapa aset yang dimilikinya.
Kondisi bisnis Pertamina tidak terlalu buruk. Hingga semester I tahun 2004, Pertamina berhasil meraih 22 kontrak jual beli gas senilai US$ 300 juta per tahun yang diperoleh dari mitra domestik di sektor industri, perusahaan gas maupun perusahaan listrik. Penandatangan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) tersebut telah dilaksanakan awal Juni lalu dan diharapkan kedepan kesepakatan lainnya siap ditandatangani. Dari sektor hulu, hingga semester pertama tahun 2004, Pertamina mencatat laba sebelum pajak Rp 4,4 triliun, meningkat 21% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp 3,6 triliun. Hingga akhir tahun 2004, target yang ingin diraih Ariffi, mengantongi laba sebelum pajak Rp 11 triliun. (edo rusyanto, dari berbagai sumber)






0 Comments:

Post a Comment

<< Home