Monday, June 20, 2005

Menanti Percepatan Teledensitas Telekomunikasi
Tingkat perbandingan jumlah telepon dengan penduduk (teledensitas) Indonesia, khususnya telepon kabel, masih rendah. Teledensitas telekomunikasi per 1.000 populasi selama lima tahun (1996-2000), jika dibandingkan negara-negara Asean lainnya jauh tertinggal. Pada kurun waktu tersebut, teledensitas untuk telepon kabel (fixed line) hanya 27. Jauh tertinggal dibandingkan Malaysia (195) dan Filipina (33). (lihat tabel1)
Namun, teledensitas telepon seluler, jauh lebih tinggi. Jika saat ini teledensitas telepon kabel sekitar 4% maka untuk telepon seluler sekitar 13%. Jumlah telepon tetap yang sudah dibangun para operator telepon tidak lebih dari 13 juta satuan sambungan telepon (SST), itupun terdiri atas fixed wireline dan telepon tetap bermobilitas terbatas (fixed wireless access/FWA). Sedangkan telepon seluler yang baru hadir sekitar 10 tahun, sudah menjaring lebih dari 37 jutaan pengguna. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang pada saat ini diperkirakan sekitar 213 juta jiwa.
Operator seluler memanjakan masyarakat dengan memberikan kemudahan mendapatkan nomor telepon. Selain itu, menjual kartu perdana dengan harga di bawah Rp 50 ribu. Di sisi lain, industri perangkat teleponnya (handphone), juga sangat mendukung dengan harga terendah Rp 200 per unit (bekas) dan Rp 600 ribu per unit (baru). Kemudahan lainnya adalah, pengguna dapat mobile hingga ke pelosok-pelosok daerah yang mungkin belum terjangkau telepon kabel. Kelemahan telepon seluler adalah masih tingginya tarif yang dibebankan kepada konsumen. Hanya saja, ironisnya konsumen di Tanah Air belum ngeh pada kondisi itu.
Masih sedikitnya pembangunan telepon tetap kabel di Tanah Air, tidak terlepas dari kemampuan pendanaan. Khususnya pendanaan pemerintah. Lihat saja pembangunan telepon lewat program Universal Service Obligation (USO) sepanjang tiga tahun terakhir. Pada 2003, data Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) menyebutkan bahwa pemerintah melalui APBN hanya membangun 3.010 SST dengan pembiayaan Rp 45 miliar. Sedangkan pada 2004, hanya membangun 2.620 SST di 2.341 desa yang menghabiskan dana Rp 45 miliar.
Bagaimana dengan tahun ini? Menkominfo Sofyan A Djalil menuturkan, pembangunan USO diharapkan mendapat suntikan dana dari para operator telepon. Namun, hal itu masih mengganjal, mengingat Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengutip 0,75% dari pendapatan kotor operator telepon, hingga kini belum juga rampung. Praktis, pembangunan USO 2005, terancam nihil. Saat ini sudah menjelang tengah tahun, belum lagi memutuskan mekanisme pemungutan dana dari operator telepon. Sedangkan untuk mengandalkan APBN terlalu riskan, mengingat kabarnya hanya tersedia dana Rp 5 miliar. Dana sebesar itu hanya cukup untuk biaya perawatan USO yang kini terbengkalai, sehingga manfaatnya tidak maksimal.
Sedangkan kontribusi operator telepon diharapkan cukup membantu penyebaran fasilitas telepon bagi penduduk. Sesuai data Bappenas, untuk tahun 2005, dari tiga operator telepon, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Indosat Tbk dan PT Bakrie Telecom, diharapkan dapat terbangun sedikitnya 2,47 juta SST. Terdiri dari telepon kabel dan FWA.(lihat tabel 2)
Indosat diberitakan menggangarkan belanja modal sekitar US$ 900 juta, namun sebagian besar (sekitar 75%) untuk pengembangan bisnis seluler perseroan. Sedangkan Bakrie Telecom mengalokasikan sekitar Rp 1 triliun dimana hingga Juni telah terealisasi sekitar Rp 750 miliar.
Telkom selaku BUMN menjadi tumpuan harapan pembangunan telepon hingga ke pelosok Nusantara. Maklum, operator tertua di Tanah Air itu, telah memiliki infrastruktur hingga perdesaan. Dan, Telkom mengalokasikan belanja modal tidak kurang dari Rp 6 triliun.
Rata-rata per tahun Telkom membangun sekitar 400 ribu SST. Pada 2000 baru tercatat 7,668 juta dan setahun kemudian menjadi 8,041 juta SST. Terus bertambah menjadi 8,400 juta pada 2002. Namun, pada 2003 hanya meningkat menjadi 9,558 juta. Ternyata, Telkom mengalokasikan pembangunan FWA Telkom Flexi sebagai alternatif telepon kabel, hingga kini telah mencapai tiga juta pelanggan. Sehingga total telah mencapai sekitar 12,5 juta SST. “Tahun 2005, kita rencana membangun sekitar 500 ribu SST,” tutur Dirut Telkom Kristiono, beberapa waktu lalu.
Telkom yang meraih laba bersih Rp 6,08 triliun pada 2004 – meningkat tipis dari Rp 6,12 triliun pada 2003, kita harapkan serius membangun fasilitas telepon bagi masyarakat di pelosok. Meski, hal itu juga diharapkan dari operator telepon lainnya. Maklum, dengan makin meluasnya pembangunan telepon, diharapkan percepatan pembangunan roda perekonomian juga makin cepat. (edo rusyanto)

Tabel 1
Teledensitas per 1.000 Populasi 1996-2000

No Negara Fixed Line Mobile Line GDP per kapita
(US$)
1 India 23 2 430
2 China 73 27 762
3 Indonesia 27 8 822
4 Malaysia 195 123 3.997
5 Filipina 33 36 1.050
6 Thailand 84 38 2.310
7 Pakistan 21 2 469
8 Srilanka 27 11 815

Sumber: World Development Indicators, 2002 The World Bnk

0 Comments:

Post a Comment

<< Home