Wednesday, January 24, 2007

Perlu Keseriusan Menawarkan Proyek Infrastruktur

KESERIUSAN pemerintah menawarkan proyek infrastruktur sedang diuji. Tuntutan dari investor agar investasi mereka aman, bukan perkara mudah untuk memenuhinya.
Perangkat aturan yang mendorong kemudahan investasi, kepastian hukum hingga jaminan keuntungan berinvestasi, menjadi topik utama. Maklum, dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur hingga 2010, tidak tanggung-tanggung, Rp 1.303 triliun. Kemampuan pemerintah tidak lebih dari Rp 252 triliun. Kocek investor dalam negeri pun nyaris tak mampu memenuhi sisanya. Lagi-lagi, gantungan harapan masih berada pada investor asing. Dan, bicara soal investor asing, mau tidak mau pemerintah berhadapan dengan tuntutan seperti diuraikan di atas.
Salah satu ajang menggaet investor asing adalah Indonesia Infrastructure Summit. Pada Januari 2005, pemerintah menggelar forum itu dengan menawarkan 91 proyek senilai US$ 22,5 miliar (setara Rp 202,5 triliun). Hasilnya? Bisa dibilang gagal. Pemerintah mengaku, kegagalan itu akibat regulasi yang ada belum sepenuhnya menjamin proses tender berjalan transparan, bertanggung jawab, adil dan kompetitif.
Setahun berselang, menjelang penghujung 2005, pemerintah mengumandangkan niat menggelar event sejenis di Februari 2006 dengan menawarkan proyek senilai US$ 57,5 miliar (setara Rp 517,5 triliun). Dan, pada penutupan tahun 2005, pemerintah mengisyaratkan pemunduran jadwal event yang kini dilabeli Indonesia Infrastructure Summit & Exhibition (IISE) II, hingga pertengahan 2006. Ada apa gerangan?
Meski telah mengeluarkan aturan pendukung investasi, seperti Peraturan Presiden (Perpres) No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi PelaksanaanPembangunan untuk Kepentingan Umum dan Perpres No 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, arus modal untuk infrastruktur belum terlalu deras. Pemerintah masih harus menuntaskan sejumlah aturan di sektor infrastruktur. Seperti perundangan di bidang pelabuhan (Revisi UU No 21/1992 tentang Pelayaran), rancangan undang undang kereta api hingga perundangan mengenai bandara (revisi UU No 15/1992 tentang Penerbangan).
Kesempatan swasta membangun atau mengelola infrastruktur transportasi semakin terbuka. Misalnya saja untuk sektor perkeretaapian. Pada RUU yang sedang dibahas, investor swasta dapat mengoperasikan bisnis perkeretaapian. Khususnya untuk pengelolaan jasa angkutnya.
Revisi terhadap perundangan yang ada kini masih berada di parlemen. Rentang waktu untuk menuntaskan perundangan itulah tampaknya yang menjadi salah satu faktor penting kenapa ajang infrastructure summit diundur.
Pada sektor jalan tol, pemerintah juga meliberalisasi peraturan yang ada. Selain terkait pembebasan lahan, dimana pemerintah memberi kelonggaran yang amat luas. Pemerintah juga merevisi dokumen perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT). Proses revisi aturan itu masih berlangsung. Hal krusial yang direvisi adalah soal pembagian risiko dalam investasi jalan tol, antara pemerintah dan calon investor. Investor dipikat dengan kepastian penerapan tarif tol di awal dan penyesuaiannya, pengelolaan risiko dan dukungan pemerintah, obligasi penjaminan (performance bond), dan unsolicited project. Selain itu, pemerintah berupaya mengalokasikan dana pengadaan tanah melalui APBN dan juga mengupayakan pembentukan dana tanah yang sifatnya bergulir (revolving fund) untuk mengurangi risiko investor. Upaya merevisi PPJT merupakan pilihan paling moderat. Maklum, pada tender pertengahan 2005, dari enam ruas yang ditawarkan, hanya empat yang diminati calon investor. Bahkan, dari 13 ruas tol pada prakualifikasi tender akhir 2005, hanya empat ruas tol yang diminati lebih dari tiga konsorsium. Untuk pelaksanaan tender sedikitnya harus ada tiga peminat pada setiap ruas. Di sektor jalan tol, untuk investasi sepanjang 1.786 kilometer (km) dibutuhkan sekitar RP 100 triliun lebih.Tanpa perundangan yang kondusif bagi penanaman modal para investor, boleh jadi arus modal bakal tersendat. Ini dilematis bagi pemerintah. Di satu sisi harus meliberalisasi perundangan dengan konsekuensi ada modal yang masuk. Dan, di sisi lain, melonggarkan peluang hegemoni asing di sektor infrastruktur dalam negeri. Pemerintah tentu harus pandai-pandai menutup ‘kerugian’ akibat penguasaan asing terhadap infrastruktur di Tanah Air. (edo rusyanto)
Investor Daily, 4 Januari 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home