Tuesday, January 11, 2005

2005, Tidak Ada Kenaikan Tarif Telepon

JAKARTA-Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) memastikan tidak ada kenaikan tarif telepon tetap pada tahun 2005.
“Gak ada. Tahun ini, gak ada kenaikan tarif,” kata Susilo Hartono, direktur Telekomunikasi dan Informasi Ditjen Postel kepada Investor Daily, Rabu (5/1).
Berdasarkan Undang-Undang No 36 tahun 1999, untuk menaikkan tarif, pemerintah hanya berwenang memberikan formula. Besaran tarif diserahkan ke operator telekomunikasi.
Namun, permasalahan kenaikan tarif ini merupakan masalah yang sangat sensitif, sehingga harus didiskusikan dengan DPR, dan tentu saja, akhirnya akan melibatkan pemerintah juga.
Di lain pihak, Yosep Umar Hadi, anggota Komisi V DPR RI, mengungkapkan, tahun 2005 ini terbuka kesempatan bagi operator untuk menaikkan tarif telepon tetap. Hal itu sesuai dengan paket kebijakan yang telah disepakati DPR dan pemerintah. Namun, ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi, seperti penyesuaian tarif rata-rata tertimbang (tariff rebalancing) harus transparan. Persyaratan lain, terkait dengan pemberlakuan Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi (SKTT). “Saya kira untuk menaikkan tarif lagi, seyogyanya harus menunggu diselesaikannya persoalan SKTT,” kata Yosep.

Rumit
Menurut Susilo, untuk menaikkan tarif telepon tetap di Indonesia persoalannya cukup rumit. Padahal, bagi operator seluler yang kini telah memiliki jumlah pelanggan lebih dari 25 juta, kenaikan tarif bukanlah satu persoalan yang besar. Tapi tidak demikian, bagi operator telepon tetap, meskipun pelanggan telepon ini hanya mencapai 8-9 juta, namun, bila mereka menerapkan kebijakan kenaikan tarif dipastikan hal itu akan mengundang protes besar.
Namun, fenomena itu, bisa dipahami sebab berbeda dengan seluler, pelanggan telepon tetap selain terdiri dari rumah tangga, juga perkantoran hingga pabrik. Sehingga, kenaikan tarif telepon ini dinilai akan menyentuh kehidupan masyarakat secara luas.
Di tempat terpisah, Dirut PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Kristiono saat dikonfirmasi, justru meminta agar persoalan tariff ditanyakan ke Ditjen Postel. “Masalah tariff adalah kewenangan pemerintah,” ujarnya singkat.
Sedangkan Suryatin Setiawan, direktur bisnis Telkom justru menegaskan bahwa hingga saat ini pihaknya belum berniat menaikkan tariff telepon. “Sampai saat ini belum ada rencana naikkan tariff sama sekali,” katanya.
Namun, bagi pengamat telekomunikasi Heru Sutadi, Telkom bias saja menaikkan tariff. “Mungkin bisa saja naik dengan alasan mereka masih punya jatah sisa menaikkan tarif seperti disepakati dengan DPR sebelumnya. Tergantung Telkom melobi BRTI dan DPR seperti April 2004 lalu. Jika mereka (BRTI dan DPR, red) bisa dikendalikan, kenaikan tarif akan melenggang dengan aman,” katanya.

Permintaan Tak Naik
Sementara itu Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mendorong peniadaan kenaikan tarif telepon untuk 2005. Selain, timing-nya tidak tepat karena bersamaan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kebijakan ini dinilai belum perlu dilakukan bila tujuannya untuk menaikkan penetrasi telepon.
”Kalau tujuannya meningkatkan teledensiti, jangan menaikkan tarif deh, karena sangat kecil relevansinya, saya kira lebih baik mereka (operator-Red) melakukan efisiensi,” kata Suryadi Azis, anggota BRTI.
Ia mengakui, operator memang memiliki kesempatan menaikkan tarif pada tahun ini. Namun, diharapkan kesempatan itu tidak digunakan operator. Dia juga mengingatkan tidak mudah bagi operator untuk memanfaatkan kesempatan itu. Sebab, sesuai rapat terakhir dengan antara Ditjen Postel, DPR, BRTI dan operator telah diputuskan, tarif telepon bisa naik, namun dengan syarat rebalancing tarif (penyesuaian tarif) nol.
Dengan rebalancing nol, berarti, bila operator hendak menaikkan tarif telepon lokal maka kenaikan itu harus dikuti dengan penurunan tarif sambungan jarak jauh (SLJJ) atau sambungan internasional (SLI) dengan proporsi yang sama. “Jadi, kalau, toh, mereka tetap menaikkan, saya kira mereka harus itung-itungan lagi, terutama untuk harga SLJJ dan SLI mereka,” tambah Suryadi.
Terkait tarif ini, sebelumnya memang telah terjadi kesepakatan antara pemerintah, DPR dan operator, yakni, penyesuaian tarif 45% dalam dilakukan selama 3 tahun, yakni dari tahun 2002, 2003, dan 2004. Penyesuaian tarif pertama dilakukan pada tahun 2002 sebanyak 15%, kemudian penyesuaian tarif dilakukan lagi pada April 2004 sebanyak 9%. Penyesuaian tahun 2004 tersebut, merupakan penyesuaian tarif yang tertunda selama 16 bulan, karena mestinya penyesuaian dilakukan pada tahun 2003.
Selanjutnya, setelah penyesuaian tarif yang kedua ini, operator mestinya memang masih memiliki kesempatan untuk melakukan penyesuaian tarif sekali lagi, yakni untuk sisa yang 21%. Namun, berdasarkan rapat terakhir, kenaikan tarif hanya bisa dilakukan dengan rebalancing nol persen (0%).
Menanggapi kemungkinan kenaikan tarif telepon, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui Direktur Eksekutif YLKAI Tini Hadad, meminta, operator telepon jangan menaikkan tarif untuk tahun 2005 ini. Sebab, bila tarif telepon naik, hal itu dipastikan akan semakin memberatkan beban masyarakat. “Kenaikan BBM sudah tidak dapat dihindarkan lagi, jadi saya pikir tarif telepon jangan dinaikkan dulu, dong. Kenaikan tarif telepon bisa ditunda, apalagi operator telepon selama ini, khan tidak merugi,” kata Tini.
Tini memaparkan dengan kenaikan BBM, kini, masyarakat sudah harus menanggung beban berat. Karena, kenaikan BBM diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan lain, seperti transportasi, produk konsumsi, dan bahkan kenaikan tarif listrik. Sehingga, beban masayarakat yang sudah berat ini, semestinya tidak ditambah lagi.
Di sisi lain, Pengamat Telekomunikasi Roy Suryo menolak keras adanya kenaikan tarif telepon. Kenaikan tarif telepon dinilai tidak beralasan, sebab saat ini, keuntungan operator sudah mencapai triliunan. Selain itu, dari sisi peraturan dinilai tidak ada yang mendukung kebijakan itu.
Roy menegaskan persetujuan DPR dan pemerintah tentang kenaikan tarif telepon beberapa waktu lalu, dinilai mesti dikaji ulang lagi untuk dicabut. Dia melihat dengan pergantian DPR dan Menteri Perhubungan, semestinya kesepakatan itu juga bisa dibatalkan. “Saya mendesak pencabutan persetujuan DPR itu, sehingga tidak akan ada lagi usulan kenaikan tarif telepon,” kata Roy. (tri/ed)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home