Thursday, January 13, 2005

Investasi Proyek Infrastruktur 2005

Masih ‘Tergantung’ Pada Investor Asing

INDONESIA butuh dana besar untuk pembangunan infrastruktur. Sepanjang 2005-2009, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 700 – 1.303 triliun. Dahsyat!
Angka tersebut bisa jadi bertambah, mengingat bencana alam yang meluluhlantakan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada Ahad (26/12). Wakil presiden Jusuf Kalla memperkirakan, guna memulihkan sarana dan prasarana di bumi Serambi Mekah itu memerlukan sekitar Rp 8-10 triliun selama lima tahun ke depan.
Ironisnya, kocek pemerintah tak mampu menutupi seluruh kebutuhan investasi di sektor infrastruktur. Paling banter, pemerintah hanya mampu mendanai 30% dari total kebutuhan. Bagaimana jalan keluarnya?
Salah satu strategi dalam menggalang pendanaan pembangunan infrastruktur menurut Ketua Tim Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur (TPPI) Raden Pardede lewat pembentukan Infratructure Fund.
Infrastructure Fund tersebut, menurut draft TPPI, dapat berupa Infrastructure Fund International yang fokus bagi Indonesia atau Infrastructure Fund International independen yang tidak hanya khusus untuk Indonesia. Selain itu, Infrastructure Fund Domestic yang sumber pendanaannya dapat dari dana asuransi jiwa dan dana pensiun. Selain itu dapat berasal dari dana perusahaan domestik yang cash rich, dana dari tambahan pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar.
Menko Perekonomian Aburizal Bakrie sadar betul perlunya menggandeng swasta domestik dan asing. Ia mengatakan, pembentukan Infrastructure Fund ditangani swasta yakni Emerging Market Partnership dan PT Danareksa. Pemerintah, kata dia, mengajak beberapa sumber pendanaan internasional dari Jepang, Brunei, Timur Tengah dan Islamic Development Bank, untuk menyediakan modal awal pembentukan lembaga tersebut.
Raden Pardede melihat perlunya pemerintah mereformasi sektor keuangan untuk mendukung pembiayaan infrastruktur. “Jadi, saat mereka menaruh uang di sektor infrastruktur, mereka sudah punya kesamaan pendapat antara regulator maupun bank dan dana pensiun atau para peserta di capital market,” kata dia.
Untuk strategi jangka pendek, kata dia, TPPI mengusulkan supaya rasio antara pinjaman dan investasi sektor infrastruktur ditingkatkan. Selain itu, TPPI menganjurkan agar Bank Indonesia (BI) bersama perbankan dalam mengevaluasi risiko menggunakan project finance approach (pendekatan proyek) bukan landing approach (pendekatan besarnya pinjaman) seperti yang dilakukan selama ini.
“Deregulasi perlu dilakukan sehingga antara investor atau sponsor dan proyek bisa difasilitasi,” kata Raden. Ia mencontohkan, dana pensiun dan asuransi jiwa yang menjadi sumber tabungan dalam negeri dan tenornya jangka panjang perlu dideregulasi agar tertarik membiayai infrastruktur.
Guna merealisasi rencana pembentukan Infrastructure Fund pada 17-18 Januari 2005 pemerintah akan menggelar Infrastructure Summit 2005 di Jakarta. Pada forum tersebut, pemerintah juga akan menawarkan sejumlah proyek kepada investor asing yang hadir.

Proyek 2005
Minat calon investor domestik dan asing diperkirakan masih cukup tinggi untuk masuk ke sector infrastruktur. Terlebih untuk sektor jalan tol. Data TPPI menyebutkan, kebutuhan pendanaan untuk sektor jalan tol diperkirakan menelan sekitar Rp 85,2 triliun untuk lima tahun kedepan (2005-2009). (lihat table)
Tahun 2005 ini, ada beberapa proyek jalan tol yang harus rampung. Seperti ruas Cikampek-Padalarang (41 km) dan ruas S Jakarta Out Ring Rout (JORR). Ruas Cikampek-Padalarang ditargetkan rampung April 2005. Proyek ini menjadi prestisius pemerintah mengingat pada bulan tersebut delegasi internasional akan menghadiri 100 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan diselenggarakan di Bandung. Ruas Cikampek-Padalarang akan memperpendek jarak tempuh Jakarta-Bandung dari semula sekitar 4-5 jam menjadi sekitar 3,5 jam saja.
Pada 3 Januari 2005, pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum (DPU) membuka tender enam ruas tol yang diperkirakan menelan investasi Rp 12 triliun. Proyek tender tol tahap I 2005 itu merupakan bagian dari rencana pembangunan tol sepanjang 1.500 kilometer (km) yang menghubungkan kota-kota di Jawa.
Menurut Dirjen Prasarana Wilayah DPU Hendriyanto Notosoegondo, enam ruas tol yang ditenderkan DPU pada tahap I, antara lain : tol Medan-Binjai (20,5 Km) di Provinsi Sumatera Utara; tol Makassar Seksi IV (11,0 km) di Provinsi Sulawesi Selatan; tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (56,0 Km) di Provinsi Jawa Barat; tol Depok-Antasari (18,2 Km) di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat; tol Cinere-Jagorawi (14 Km) di Provinsi Jawa Barat; tol Cikarang-Tanjung Priok. (53 Km) di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Ketua Panitia Pelaksana Lelang Proyek Jalan Tol Departemen Pekerjaan Umum Eduard T Pauner mengatakan, hingga 7 Januari 2005 telah ada sekitar 167 calon investor yang mengajukan minat.
Ia menyebutkan, diantara perusahaan domestik yang berminat adalah Bakrie Brothers, PT Citra Marga Nusaphala Persada, PT Jakarta Propertindo (BUMN DKI) dan PT Marga Bumi. Sedangkan perusahaan asing yang berminat di antaranya China Harbour Engineering (Cina), Kajima Corporation (Jepang), Plus Express Way Berhad (Malaysia) dan MCA Intergroup.
Untuk menentukan pemenang tender, DPU melakukan tahap penyaringan, dimulai dengan tahap prakualifikasi. Kemudian, bagi peserta yang lulus akan untuk ikut tender investasi. Dan, setelah didapat investornya, kemudian akan dilakukan tender lagi, untuk pekerjaan sipil-nya. Proses tender diperkirakan memakan waktu sekitar 14 bulan atau lebih cepat.
Ruas tol yang ditenderkan tersebut, menurut Hendriyanto, cukup menarik dan memiliki tingkat pengembalian investasi yang baik. “Kalau menurut kita, berdasarkan data pra-feasibility study. Semuanya cukup, seperti ruas Depok-Antasari. Kita hitung internal rate of return (IRR)-nya sekitar 19%. Sementara biaya untuk pembebasan tanah, kan, bisa dikompensasi terhadap periode masa konsesinya atau pada tarif yang akan diusulkan pemenang dalam business plan-nya,” tutur Hendriyanto.
Selain ke-6 ruas tadi. PT Jasa Marga sepanjang tahun 2005 juga akan membangun empat ruas tol. Menurut Direktur Utama Jasa Marga Syarifuddin Alambai, empat ruas tol yang akan dibangun tersebut membutuhkan dana sekitar Rp 6 triliun.
Ruas tol yang dimaksud adalah Cikampek–Cirebon (114 km), yang akan digarap bersama tiga investor, serta tiga ruas yang diusulkan Jasa Marga untuk dibangun tahun ini, yaitu Bogor Ring Road (11 km), Semarang – Solo (82 km) dan Gempol – Pasuruan (32 km).
Menurut dia, empat ruas tol tersebut sudah siap dibangun dan tidak melanggar ketentuan undang-undang yang baru.
Ia menambahkan, untuk tiga ruas (Semarang-Solo, Bogor Ring Road dan Gempol Pasuruan), tidak perlu dilakukan tender investasi. Dalam hal ini, Jasa Marga akan bertindak sebagai investor mayoritas bekerjasama dengan pemda setempat. Sementara, untuk ruas Cikampek-Cirebon, Jasa Marga hanya akan bertindak sebagai investor minoritas dengan sharing sekitar 10%.
Alambai menuturkan, kebutuhan Jasa Marga untuk pembangunan tiga ruas tersebut ditambah dengan keikutsertaaan dalam ruas Cikampek – Cirebon berkisar antara Rp 5 – 6 triliun. Untuk itu, Jasa Marga memiliki opsi melakukan pinjaman ke sejumlah bank atau menerbitkan obligasi, pasca ditundanya rencana initial public offering (IPO).
“Dengan kapasitas kita sekarang, belum menghitung prospek yang akan kita bangun ke depan, kita masih bisa pinjam sekitar Rp 5 triliun. Kalau masih ada kekurangan, kemungkinan kita akan pakai cara seperti Cipularang, yaitu melalui pre financing,” jelasnya.
Selain proyek pembangunan jalan tol tersebut, pemerintah juga akan membuka tender ruas tol tahap II pada pertengahan 2005. Sedangkan pekerjaan tambahan pemerintah adalah bagaimana upaya pemulihan prasarana transportasi jalan di NAD.
Menurut Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, pihaknya telah menyiapkan dana sekitar Rp 780 miliar untuk pemulihan sarana transportasi yang rusak akibat bencana alam yang menelan puluhan ribu korban jiwa rakyat NAD dan Sumatera Utara (Sumut).
Selain jalan tol, pada 2005, proyek infrastruktur transportasi yang cukup memikat asing adalah proyek monorel di DKI Jakarta.
Setidaknya, dari kebutuhan sebesar US$ 630 juta, pengelola monorel PT Jakarta Monorail hanya akan menyiapkan sebesar US$ 150 - 180 juta. Selebihnya diusahakan menggaet dana asing. Untuk itu, telah ditunjuk Banca Intesa, lembaga keuangan Italia yang berbasis di Hong Kong, untuk mengorganisir penghimpunan dana dari DBS Bank, Asian Development Bank (ADB), AON Risk Service Singapore dan Export Credit Agencies.
Proyek ini, menurut Direktur Utama PT Indonesia Transit Central (ITC), Ruslan Diwiryo, diperkirakan mencapai tahap break event point (BEP) dalam waktu 10 tahun. Hal itu didasari oleh ekspektasi masyarakat urban Jakarta terhadap moda transportasi tersebut.
Monorel Jakarta diharapkan mampu mengurai benang kusut transportasi darat di DKI Jakarta. Rencananya monorel tersebut akan terdiri dari dua koridor, yaitu jalur green line, yang merupakan jalur melingkar sepanjang 14,8 km, mulai dari Komdak-Kusuma Candra-BEJ-Stadion Utama-Plaza Senayan-TVRI-Taman Ria Senayan-Gedung MPR/DPR-Pejompongan-Karet-Sudirman-Setiabudi Utara-Kuningan Sentral-Taman Rasuna-Casablanca-Grand Melia-Satria Mandala.
Koridor kedua (blue line) sepanjang 12,2 km meliputi Kampung Melayu-Tebet-Dr Sahardjo-Menteng Dalam-Casablanca-Ambassador-Dharmala Sakti-Menara Batavia-Karet-Kebon Kacang-Tanah Abang-Cideng-Roxy.
Melihat besarnya kebutuhan infrastruktur di sepanjang 2005, tidak heran jika Ketua Umum Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Sulistijo SM memperkirakan peluang pasar konstruksi 2005, akan bertumbuh antara 10 – 20 % dari tahun 2004 yang nilainya berkisar Rp 200 triliun. Menurut dia, pasar tersebut masih akan didominasi proyek-proyek pemerintah, yang kini menguasai hampir 60 % pasar konstruksi nasional.
Selain tol dan monorel, sektor infrastruktur yang dilirik investor asing adalah sektor pengelolaan air bersih dan jalur rel kereta api (KA).
Untuk air bersih, Metito Overseas Ltd Uni Emirate Arab lewat PT Metito Indonesia telah mengangarkan US $ 170 juta untuk investasi di sejumlah proyek pengadaan air bersih di Indonesia.
Menurut Chairman Metito Overseas Ltd Mutaz Ghandour investasi mereka di Indonesia diawali pada tahun 2004. mereka mengantongi proyek suplai air bersih untuk Pelabuhan Belawan, Dumai dan Pelabuhan Tanjung Balai Karimun milik PT Pelindo I. Tahun ini, Metito membidik proyek suplai air bersih untuk beberapa pelabuhan milik Pelindo II dan Pelindo III. Selain itu, akan memasok air bersih bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan beberapa perusahaan lepas pantai. Metito juga bakal merangsek ke beberapa Perusahaan daerah Air Minum (PDAM) di luar Jawa seperti ke Kalimantan dan Papua.
Sedangkan untuk infrastruktur KA, pemerintah sedang menyiapkan rancangan pembangunan jalur KA bandara Soekarno Hatta-Manggarai (Jakarta Selatan) dan dua jalur ganda (double double track) Manggarai-Cikarang (Bekasi). Selain itu, saat ini yang sedang tahap konstruksi adalah jalur ganda (double track) Kutoarjo – Yogya (63 km) proyek ini diperkirakan menelan dana Rp 1,1 triliun. Pemerintah mengambil dana APBN sekitar Rp 305 miliar dan sisanya berasal dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Untuk jalur Kroya – Kutoarjo (76 km) pemerintah juga menggandeng JBIC yang berkomitmen menggelontorkan dana sekitar US$ 95,7 juta. Sementara itu, untuk ruas Cirebon – Kroya (160 km) pemerintah dipastikan menerima pinjaman lunak pemerintah Cina senilai US$ 181,5 juta.

Industri Telekomunikasi
Khusus infrastruktur industri telekomunikasi, operator telekomunikasi telepon tetap (fix phone) -- telepon kabel (fix wireline) dan nirkabel (fix wireless) maupun operator seluler, sepanjang 2005 diperkirakan bakal membutuhkan dana sekitar US$ 1,2 miliar. Namun, untuk sektor ini relatif ‘mandiri’. Operator telepon seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) maupun PT Indosat Tbk, praktis memiliki kocek yang memadai.
Menurut Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Rudiantara, tahun 2005 investasi operator seluler masing-masing; Indosat sekitar US$ 600 juta, PT Telkomsel US$ 600 juta dan PT Excelcomindo Pratama (XL) senilai US$ 200 juta.
Kondisi ini cukup melegakan pemerintah. Di sisi lain, program peningkatan kepemilikan telepon tetap pemerintah bakal terus berlangsung di 2005. Selain mengambil dana APBN, pemerintah juga mengutip 0,75% dari pendapatan bersih operator seluler.
Model kemandirian investasi infrastruktur seperti dilakukan operator seluler sebenarnya dapat diterapkan pada sektor lain. Namun, memang masih memiliki kendala-kendala. Mulai dari minimnya partisipasi lembaga keuangan perbankan hingga regulasi yang belum pasti. Misalnya di sector jalan tol, hingga kini peraturan pemerintah (PP) terkait UU Jalan masih dalam penggodokan. Demikian juga dengan PP mengenai pengelolaan air bersih.
Untuk soal PP, Aburizal Bakrie menjanjikan rampung sebelum Infrastructure Summit mendatang. Kita tahu, investor asing butuh jaminan investasi, di antaranya berupa kepastian hukum. Kita tunggu saja. (edo rusyanto)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home