‘Batasi, Kepemilikan Asing di Bisnis Telekomunikasi’
Jakarta- Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menegaskan, pemerintah harus membatasi kepemilikan asing pada bisnis telekomunikasi yang strategis.
“Saya pikir pemerintah perlu membuat aturan soal investasi asing. Dibatasi untuk yang strategis saja. Sulit jika semua dibatasi,” tutur dia, kepada Investor Daily, akhir pekan lalu.
Ia menambahkan, jika ada ketakutan atas kehadiran investor asing di bisnis telekomunikasi domestik, sebaiknya dibuat kategori, mana yang bisa dibuka untuk investasi asing dan mana yang tidak. “Kalaupun dibuka, jika strategis harus ada pembatasan sehingga tidak jadi mayoritas,” kata dia.
Hal itu agak miris mengingat menurut PP No.20 Tahun 1995, tentang Kepemilikan Saham Asing di Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) disebutkan, kepemilikan asing di sektor telekomunikasi maksimal mencapai 95%.
Saat ini kehadiran investor asing, khususnya dari negara jiran, cukup marak. Singapore Telecommunications Ltd. (Singtel) memiliki 35% saham PT Telkomsel—anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) memiliki 41,94% saham PT Indosat Tbk , Telekom Malaysia melalui TM International Ltd (TMI) sedikitnya memiliki 27,3% saham PT Excelcomindo Pratama (XL) dan akan diperbesar menjadi sedikitnya 51%. Kemudian Maxis Malaysia memiliki 51% saham PT Natrindo Telepon Seluler (NTS) dan Hutchison Telecommunications International Ltd (HTIL) membeli 60% saham PT Cyber Access Communication (CAC).
Sebelumnya, pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus) Asmiati Rashid menegaskan, beberapa negara telah membatasi kepemilikan asing di bisnis telekomunikasi mereka. “India dan Malaysia sudah membatasi sampai di bawah 50%. Sedangkan, di Eropa seperti Perancis membatasi 20% dan Australia 35%," kata Asmiati (Investor Daily, 23/3).
Menurut Heru, kehadiran investor asing bisa berdampak positif karena industri telekomunikasi membutuhkan dana yang besar untuk membangun infrastruktur. Sedangkan dampak negatifnya, sektor telekomunikasi bisa dikuasai asing. “Bahayanya jika itu menyangkut hal-hal strategis yang berhubungan dengan militer dan intelijen,” kata dia.
Sementara itu, menurut mantan Direktur Bisnis dan Jasa Telekomunikasi Telkom Garuda Sugardo, faktor regulasi bisa mencegah dan mengarahkan serbuan investor asing ke bisnis telekomunikasi di Tanah Air.
Menurut dia, ada aspek yang harus diperhatikan. Saat ini telekomunikasi dijadikan vehicle dari jasa-jasa masa depan, seperti internet berkecepatan tinggi, multimedia, akses dan lain-lain. Sehingga, kata dia, jika telekomunikasi dikuasai asing maka ke depan, informasi yang akan menumpang kemungkinan besar dalam bentuk content aplikasi akan dikuasai oleh asing. “Dari aspek keamanan dia tidak bagus,” katanya.
Meningingat hal itu sudah terjadi, jelas Garuda Sugardo, langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyeimbangkan asing dengan potensi yang ada. “Potensi kita yang bisa diharapkan adalah Telkom dan Telkomsel. Karena Telkomsel 35% dimiliki Singtel, harusnyaTelkom,” jelas dia.
Menurut Heru, jika Telkom mau jadi Indonesia Flag Carrier harus dibatasi kepemilikian saham asing diperusahaan tersebut. Termasuk di Telkomsel dan Telkom Flexi. Dan, kata dia, yang penting adalah Telkom harus peduli pada masyarakat. Memberikan tarif murah dan membangun jaringan ke desa-desa seluruh Nusantara. “Jika tidak, ya sama saja statusnya dengan operator lain, mengutamakan bisnis. Swasta juga harus membangun jaringan, terutama jaringan wireline tidak bisa hanya memakai jaringan milik orang lain,” kata Heru.
Oleh karena itu, jelas Garuda Sugardo, pertelekomunikasian nasional memerlukan blue book atau white book yang di dalamnya ada rancangan eskalasi nasional. Berapa pemerintah menargetkan pembangunan di tahun 2005,2006, 2007 sampai lima tahun ke depan. “Data-data itu diturunkan ke masing-masing operator. Operator A berapa, operator B berapa dan seterusnya. Kemudian diturunkan lagi, tiap-tiap operator itu, provinsi ini berapa, provinsi itu berapa? Sehingga jelas pembangunannya,” kata Garuda Sugardo.
Ia mengingatkan, jika pembangunan itu tidak cocok dengan kebutuhan pasar yaitu hanya berkutat di 10 hingga 20 kota-kota besar saja maka masyarakat telekomunikasi bisa mengoreksi.
Menurut Garuda Sugardo, yang penting bukan saja kapasitas tapi aksebilitasnya, yang berarti ketersediaan dari satuan sambungan telepon (SST). “Harusnya, ditempat yang kurang, kita membangun lebih banyak. Artinya, di luar Jawa, apalagi sekarang ada otonomi daerah, mereka perlu telepon. Operator bisa bermitra dengan pemda,” kata dia. (ed)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home