Monday, April 18, 2005

‘Menghadirkan Hati Dalam Pengelolaan Korporasi’

Kristiono, Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia Tbk

Mengelola perusahaan sekaliber PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang beraset Rp 50 triliun dan berpendapatan lebih dari Rp 20 triliun serta memiliki 30 ribu karyawan, butuh kepiawaian tersendiri. Setidaknya, harus mampu memotivasi sumber daya manusia (SDM) untuk terus produktif.
Menurut Direktur Utama Telkom Kristiono, kondisi saat ini tidak cukup hanya mengedepankan kemampuan teknis SDM. “Selain dari dimensi skill dan knowledge yang dibangun adalah segi attitude-nya,” tutur Kristiono, kepada wartawan Investor Daily, Edo Rusyanto, pekan lalu, di sela pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) bagi 500 karyawan Divre II Telkom Jakarta di Serpong, Tangerang.


Kenapa karyawan Telkom diberi pelatihan ESQ?

Ini sebenarnya bagian dari good corporate governance (GCG). Di dalam salah satu elemennya adalah code of conduct / code of ethic.
Sekarang ini merupakan lanjutan dari budaya perusahaan yang kita luncurkan dua tahun lalu.
Akhir Januari 2005 Telkom mengirim sejumlah top eksekutif-nya ke training ESQ Ary Ginandjar. Dari pelatihan itu kita ambil dimensi spiritualnya karena kita sudah punya Telkom W 135. satu itu adalah hati/keteguhan hati, commited to you.
Kita terus lakukan pelatihan di samping itu ada instrumen, melalui ritual 30 menit setiap hari dilengkapi dengan unit-unit yang bertanggungjawab terhadap implementasi.
Secara frame besar, Telkom adalah service company maka wajar fokus pada customer dan itu menyangkut orang yang melayani dan dilayani. Oleh karena itu terkait erat dengan persoalan orang. Untuk membangun orangnya itu, selain dari dimensi skill dan knowledge yang dibangun adalah segi attitude-nya. Membangun attitude sebuah company itu tidak sama dengan membangun sebuah attitude dari company lain. Jiwa dan roh company tidak sama, itu tercermin dari code of conduct-nya. Karena itu suatu believe dari company untuk membangun dirinya.
Sekarang ini lebih kepada pendekatan muatan spiritual yang dikombinasikan sekaligus dalam pelaksanaan GCG. Oleh karena itu dilengkapi dengan Komite Patriot 135, yaitu yang tugasnya memonitor, pengawasan. Ini code of conduct yang harus dijalankan. Karyawan harus patuh memberikan komitmen.


Bagaimana mengukur keberhasilan pelatihan ESQ?
Ini suatu proses yang terus menerus. Tapi yang pasti adalah sebuah keyakinan bahwa bagaimana mengkorelasikan antara pendekatan nilai-nilai spiritual dengan produktifitas. Keyakinan itu ada. Tapi, butuh proses. Dari informasi lapangan yang kita peroleh, ada dampaknya.
Dimulai hal-hal kecil yang mendasar seperti dari terlambat ke kantor menjadi tidak terlambat. Semua harus mulai dari yang kecil. Jika dilakukan setiap hari, akumulatif menjadi hal yang besar. Kita melihatnya suatu proses yang harus dilakukan secara kontinyu, setiap hari. Ini menghadirkan hati. Kita mengerjakan sesuatu bukan hanya secara teknikal tapi memahami maknanya dan tentunya melaksanakannya sepenuh hati. Itu paling essensial dan sebuah proses yang panjang.

Bagaimana tren korporasi global?
Banyak korporasi-korporasi global yang mencari motif-motif yang tidak mudah berubah. Mereka punya believe. Selama ini sekuler matrealistis dengan berpikir hanya bagaimana agar gajinya bertambah banyak. Tapi, kini mereka mulai menghadirkan jiwa dan hati dalam pengelolaan korporasi.
Ini ibarat air menetes terus menerus maka batu akan hancur. Ada suatu proses kontinyu.
Bukan solusi shorterm. Tapi terapi yang membawa kelanggengan. Perubahan-perubahan yang cepat dalam periode pendek itu berbahaya. Semestinya melayani pelanggan dengan nilai-nilai spiritual (jujur, transpran dan komitmen yang baik).
Orang sependapat bahwa persoalan besar yang kita hadapi adalah dimensi moral. Orang pintar banyak. Situasi yang ada sangat cocok perlu kehadiran nilai-nilai spiritual.

Telkom siap masuk ke pasar regional?
Telkom visinya ingin menjadi regional player. Ekspansi ke regional itu hanya semata-mata kalkulasi bisnis biasa. Dalam bisnis, sepanjang ada opportunity dan sumber daya ada, dan risiko bisa dikelola, tidak masalah. Apakah hanya konsentrasi di Indonesia atau ke luar negeri.
Akusisi merupakan sebagian dari strategi masuk ke pasar. Bisa dari nol, bangun baru sama sekali. Atau kita bisa membeli perusahaan lain, itukan cara saja. Kalau dari nol, itu lama dan pasti risikonya lebih besar tapi mungkin lebih murah. Tapi, kalau akuisisi, pasti lebih cepat, dan besarnya bisa cepat. Tapi, lebih mahal. Semua ada risikonya.

Sudah ada perusahaan regional mana yang mau diakuisisi?
Kita belum menentukan mana yang akan diakuisisi di regional. Karena kita masih prioritas di Indonesia mengingat pasarnya masih sangat besar. Untuk industri telekomunikasi saya rasa masih cukup kecil penetrasinya. Opportunity-nya masih cukup besar. Telkom masih fokus di pasar Indonesia. Pasar luar negeri itu kita terus pelajari saja. Kalau memang ada opportunity yang risikonya tidak besar dan skalanya masih bisa di-manage, kita lakukan.

Jadi baru dua atau tiga tahun lagi masuk pasar regional?
Kita tidak bisa katakan 2-3 tahun baru masuk regional. Kita punya tim merger dan akuisisi yang tugasnya mempelajari pasar Indonesia dan pasar luar. Kesempatan seperti itu kadang-kadang muncul tiba-tiba.
Perusahaan ini ingin tumbuh 25% minimal per tahun. Untuk menjaga pertumbuhan 25% per tahun, tidak bisa drive dari pertumbuhan organik. Seperti pengembangan produk. Tapi, harus ditambah pertumbuhan nonorganik, lewat merger dan akuisisi. Jadi, di dalam struktur perusahaan yang baru nanti ada unit yang khusus mengurusi investasi, merger dan akuisisi.
Saya belum bisa jelaskan ada atau tidak yang sedang di-due diligence untuk diakuisisi. Karena very confidential. Contoh saja, jika ada perusahaan yang kita sedang dekati, kemudian diketahui perusahaan tersebut, harganya pasti menjadi mahal.

Ada perubahan strategi perusahaan paska pemberlakukan kode akses SLJJ?

Saya rasa tidak ada perubahan strategi sambungan langsung jarak jauh (SLJJ). Tapi, justru meningkatkan pelayanan saja. Karena SLJJ Telkom tidak berubah.
Pemerintah memberi kesempatan ke Telkom lima tahun. Itu sebenarnya suatu periode bagi Telkom supaya infrastruktur-nya feed dengan multioperator. Karena dulu tidak pernah di-decline di dalam data base kita, ada operator lain. Dulu, seolah-olah nomor punya Telkom semua. Beda dengan seluler, dari awal sudah kompetisi. Nomor sudah di atur, ini nomor operator A, itu nomor operator B, jadi ada kode operator. Jadi kalau di-fixed line tidak ada kode operator karena dari awal monopoli, seolah nomor menjadi milik Telkom sendiri. Sehingga kemudian muncul kode akses. *

0 Comments:

Post a Comment

<< Home