Tuesday, July 05, 2005

Kenaikan Tarif Air Minum Ditentang

Jakarta – Koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak permintaan PT PAM Lyonnaisse Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) untuk menaikkan tarif air minum sebesar 18,09%.
Kenaikan tersebut dianggap tidak berpihak kepada konsumen.
Demikain diungkapkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih, di Jakarta, Senin (4/7). Koalisi LSM tersebut terdiri atas YLKI, Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (Komparta), Komite Pelanggan Air Minum Jakarta (KPAM), Asosiasi Kontraktor Indonesia (Aikindo), Urban Poor Consortium (UPC), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA), dan Masyarakat Air Minum Indonesia (MAMI).
Selain itu, koalisi LSM menolak kenaikan tarif air minum perusahaan daerah air minum (PDAM) DKI Jakarta untuk kelompok pelanggan I (panti asuhan) dan kelompok II (keluarga miskin) dari Rp 550/m3 menjadi Rp 900/m3 yang berlaku mulai 1 Juli 2005.
YLKI menilai, kenaikan tarif paling tinggi terjadi pada kelompok pelanggan sosial atau kelompok I dan keluarga miskin atau kelompok II sekitar 63%. Sementara itu, peneliti YLKI Nur Endah Shofiani mengatakan, hasil studinya di The Royal Institute of Technology, Stockholm, Swedia, pada tahun 2004 menunjukkan bahwa baru separuh penduduk Jakarta yang memiliki akses pada fasilitas air bersih. Penduduk Jakarta saat ini sekitar 12 juta jiwa. “Sekitar 10% pendapatan penduduk Jakarta digunakan untuk membiayai kebutuhan air minum,” kata dia. Padahal, tambah dia, idealnya, konsumen air minum hanya dibebani sebesar 4% dari pendapatannya untuk mengakses air bersih tersebut.

Peran Regulator
Selain menyatakan penolakan atas kenaikan tarif PDAM, peran badan regulator yang merupakan otoritas yang mewadahi kepentingan konsumen dan penyedia jasa air juga dipertanyakan, mengingat badan tersebut dianggap tidak berbuat apa-apa dalam menyikapi kenaikan tarif yang memberatkan masyarakat tersebut. "Badan Regulator tidak dapat menjalankan fungsinya secara jelas dan adil. Salah satu bentuk ketidakadilan Badan Regulator adalah dengan disetujuinya PTO yang dimintakan oleh penyedia jasa air tersebut," lanjut Indah, seperti dikutip Antara. Sebelumnya, dalam pertemuan antara Badan Regulator dengan YLKI, Komparta dan KPAM --sebelum kenaikan tarif air tersebut disepakati-- akan dilakukan perhitungan unutilised asset yang bukan berasal dari kesalahan konsumen dan berdasarkan hasil tersebut hasilnya tidak akan dibebankan kepada masyarakat. Namun, sampai kenaikan tarif PTO disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, janji untuk melakukan perhitungan tersebut tidak pernah dilaksanakan. YLKI juga memberikan penekanan terhadap laporan audit Palyja dan TPJ yang dianggap tidak memenuhi asas transparansi, yaitu terbatasnya akses konsumen terhadap hasil audit tersebut sehingga konsumen tidak dapat melakukan fungsi pengawasan. "Terbatasnya akses terhadap laporan audit tersebut menyebabkan konsumen tidak dapat melakukan fungsi pengawasan dan memberikan pertimbangan yang konstruktif bagi peningkatan mutu layanan penyedia jasa air, yang salah satunya berdasarkan laporan keuangan perusahaan," kata Indah.

Batalkan Kerja Sama
Sementara itu, Ketua MAMI Poltak H Situmorang menegaskan, pengelolaan air minum bagi masyarakat DKI Jakarta akan tetap bermasalah apabila bentuk kerja sama operasi (KSO) PDAM Jaya dengan TPJ dan Palyja dengan sistem pembagian pendapatan berdasarkan imbalan (water harging). “Pola ini menyebabkan pelanggan, masyarakat dan pemerintah yang akan menjadi korban, bagi dari segi tarif air maupun pelayanan, serta PAD,” katanya, kemarin.
Menurut dia,berdasarkan perjanjian kerja sama PDAM Jaya dengan TPJ dan Palyja pada 1997, besaran imbalan yang harus dibayar kepada Palyja sebesar Rp 1.788/m3 dan kepada TPJ sebesar Rp 1.993/m3. “Dengan angka ini TPJ dan Palyja selama KSO tidak akan pernah rugi,” kata Poltak.
Ia menambahkan, dalam perjanjian juga diatur rumusan besaran kenaikan imbalan setiap enam bulan, didasarkan dengan rumusan dengan mengalikan imbalan awal degnan berbagai faktor indeksasi.
Ironisnya, jelas dia, semenjak KSO hingga kini PDAM Jaya justru harus menanggung utang sekitar Rp 2,6 triliun.
Menyinggung soal tarif, Poltak mengatakan,selama KSO telah mengalami empat kali kenaikan dengan tarif rata-rata air dari Rp 1.444/m3 (1998) naik menjadi Rp 4.233/m3 (2004)dan naik lagi setahun kemudian menjadi Rp 5.200/m3.Menurut Poltak,melihat fakta yang ada, perjanjian dengan TPJ dan Palyja semestinya dibatalkan. Perjanjian KSO tersebut akan berakhir pada 2007. (ed)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home