Wednesday, August 03, 2005

Dilema di Balik Kenaikan Tarif Jalan Tol

Pemerintah berniat menaikkan tarif jalan tol sebesar 15% pada Agustus ini. Konsekuensi dari kenaikan tersebut bagi operator jalan tol harus meningkatkan pelayanan. Muaranya, kenyamanan dan keamanan pengguna jasa jalan tol benar-benar dapat terwujud.
Benarkah kenaikan tarif tersebut membuat pemerintah dilema?
Undang-Undang (UU) No 38 tahun 2004 tentang Jalan yang diundangkan sejak Oktober 2004, dalam pasal 48 ayat (3) menyebutkan, pemerintah dapat menaikkan tarif jalan tol setiap dua tahun sekali. Dan, sebagai catatan, pemerintah terakhir menaikkan tarif jalan tol pada Juni 2003, bahkan sebelumnya pemerintah menaikkan tarif jalan tol pada 1996.
Sebagai implementasi UU No 38 tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menelurkan peraturan pemerintah (PP) No 15/2005 tentang Jalan Tol dan Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2004 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Rumus penyesuaian adalah "Tarif Baru = tarif lama (1 + inflasi)" yang diatur dalam pasal 68 ayat (1) PP No 15. Penyesuaian cukup diputuskan Menteri Pekerjaan Umum (PU) setelah mendengar pertimbangan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), badan yang menurut UU No 38 tahun 2004 adalah organ di bawah Menteri PU, dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Menteri PU. Tugasnya melaksanakan sebagian kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol.
Sebelumnya, kenaikan tarif tol diputuskan melalui keputusan presiden (Keppres) yang kekuatan hukumnya di bawah UU dan PP, sehingga selalu mengundang pro kontra dan politisasi berbagai pihak termasuk parlemen. Pasalnya, UU Jalan dan PP Jalan Tol sebelumnya tidak mengatur tegas mengenai masa penyesuaian tarif itu. Kemudian melalui PP No 40/2001 kenaikan tarif ditetapkan setiap tiga tahun sekali. Namun, formula kenaikan tidak disebutkan secara jelas, sehingga tetap mengundang kontroversi.
Poin terpenting lain ada dalam Perpres No 36/2004 yang menyebutkan bahwa jalan tol termasuk kepentingan umum. Perpres itu mengatur, tanah yang sudah ditetapkan untuk pembangunan kepentingan umum (termasuk jalan tol) tidak boleh lagi ditransaksikan kecuali atas izin Pemda. Bila dalam 90 hari tidak tercapai kesepakatan harga dengan pemilik tanah, Presiden berhak mencabut hak atas tanah tersebut.
Kini, setelah semestinya Juni 2005, pemerintah berniat menaikkan tarif jalan tol pada Agustus 2005. Dilema terjadi manakala pemerintah berniat membangun jalan tol sepanjang 1.600 kilometer (km) mulai 2005 hingga 2009. Tim Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur (TPPI) memperkirakan, kebutuhan dana untuk sektor jalan tol sekitar Rp 85,2 triliun.
Bagaimana tidak dilematis, kemampuan pemerintah mendanai pembangunan jalan tol amat terbatas. Dari total kebutuhan investasi yang diperkirakan menelan dana Rp 85,2 triliun. Pemerintah hanya sanggup kurang dari 20%-nya saja. Selebihnya, mengharapkan partisipasi swasta domestik dan asing.
Pebisnis domestik maupun asing tentu berharap investasinya menguntungkan. Karena itu, mereka membutuhkan kepastian hukum guna investasinya berjalan lancar. Bagi pebisnis jalan tol, ada dua aspek penting guna memuluskan investasinya. Pertama, kepastian soal tarif dan kedua, kepastian soal pembebasan lahan.
Sesungguhnya, kedua hal tersebut telah diakomodasi oleh UU No 38 tahun 2004, PP No 15 tahun 2005 dan Perpres No 36 tahun 2005.
Namun, saat ini sedang diuji kesungguhan komitmen pemerintah dalam menjalankan regulasi yang dibuatnya sendiri. Kepastian kenaikan tarif misalnya. Jika pemerintah tidak melaksanakan amanat UU No 38 tahun 2005, bisa jadi membuat calon investor bergidik menggelontorkan uangnya di Tanah Air. Bagaimana mungkin mengembalikan investasi jika untuk tarif saja tidak ada kepastian. Belum lagi dalam pengadaan lahan. Keruwetan pembebasan lahan yang bermuara pada kemacetan pembangunan jalan tol, tentu saja mengganggu investasi yang telah ditanamkan.

Sulit Terwujud
Apabila kepastian dua hal tersebut tidak ada, mimpi membangun 1.600 km jalan tol sulit terwujud dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Hingga kini saja, pemerintah baru mampu membangun sekitar 600 km jalan tol, bandingkan dengan Malaysia dan Cina yang mampu membangun ribuan bahkan puluhan ribu jalan tol. Padahal, Presiden SBY mahfum bahwa dengan infrastruktur yang baik, termasuk jalan tol, roda perekonomian bakal dapat bergulir lebih cepat. Ujung-ujungnya, diharapkan pemerataan kesejahteraan rakyat negeri kepulauan ini dapat terwujud.
Ketidakpercayaan investor jangan sampai terulang seperti pada kasus hengkangnya empat investor asing; Hongkong Land BV (Belanda), William Indonesia LLC (Amerika Serikat), Archipelago Investment Pte (Singapura), dan Asian Corporate Finance Fund (Cayman Aislands), malah melepas kepemilikannya di PT Marga Mandala Sakti (MMS), pengelola jalan tol Tangerang - Merak (72,5 km), kepada PT Astratel Nusantara (34%) dan Citigroup Financial Products Inc (20%). Sejak keempat investor itu masuk ke MMS pada 1996 mereka baru sekali mendapat kenaikan tarif pada 2003. Padahal, sebelum masuk keempat investor dijanjikan kenaikan tarif setiap tiga tahun (sebelum keluar UU Jalan dan PP Jalan Tol yang baru). Tapi, karena janji tinggal janji, perseroan mengalami kerugian akumulatif Rp 603 miliar sampai dilepas kepada Astra dan Citigroup.
Kita percaya, pemerintah dan operator jalan tol yang saat ini eksis, seperti PT Jasa Marga dan PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk, mampu memenuhi tuntutan masyarakat agar meningkatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalan tol. Jika itu terwujud, jangankan naik 15%, naik 25% seperti kenaikan sebelumnya pun, para pengguna jalan tol yang sekitar 85% adalah pemilik kendaraan pribadi, tidak akan rewel. (edo rusyanto)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home