Monday, July 25, 2005

Telkom Hadapi Tantangan Berat

JAKARTA - Manajemen PT Telekomunikasi Indonesia Tbk menghadapi tantangan berat menyusul dikeluarkannya Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang perpindahan frekuensi Flexi dan implementasi kode akses SLJJ.
Telkom diduga akan kehilangan pendapatan cukup besar dan berpotensi kehilangan 30% pelanggan Flexi-nya. Demikian rangkuman Investor Daily dari wawancara dengan pengamat telekomunikasi dari Universitas Indonesia Heru Sutadi, Ketua Masyarakat Telekomunikasi Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan analis Kuo Capital Edwin Sinaga, akhir pekan lalu.
Menurut Heru, pemberlakuan SK Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) itu juga berdampak pada komunitas warnet. “Komunitas warnet berpotensi meninggalkan layanan Speedy Telkom serta implementasi sistem kliring trafik telekomunikasi (SKTT),” katanya di Jakarta, Sabtu (23/7).
Terkait pemindahan frekuensi Flexi dari 1.900-1.980 MHz -- frekuensi untuk seluler generasi ketiga (3G), Telkom harus mensinkronkan fasilitas di base transceiver station (BTS)-nya. Telkom harus merogoh kocek sekitar Rp 100 juta-Rp 200 juta per BTS. Hingga kini, lebih dari 1.250 BTS Telkom melayani sekitar tiga juta pelanggan Flexi lebih di 216 kota.
“Dari sisi image, jika kompetitor Telkom memanfaatkan momentum perpindahan frekuensi yang notabene berpengaruh terhadap handset single band yakni hanya 1.900 MHz, akan terjadi migrasi dari Flexi. Saya perkirakan sekitar 30% pelanggan Flexi akan pindah,” tutur Heru.
Heru menyarankan agar perbaikan BTS dilakukan serempak. Jika tidak, image-nya akan buruk bagi pelanggan Flexi dan mendorong terjadinya migrasi. Pelanggan Flexi saat ini diperkiarakan sekitar tiga juta, itu berarti hampir 900.000 pelanggan berpindah ke operator lain. “Sehingga potential loss Telkom sekitar 900.000 kali angka penggunaan rata-rata per pelanggan (ARPU) yaitu sekitar Rp 100 ribu,” tambah dia. Dengan pengalian angka itu, potential loss Telkom sekitar Rp 90 miliar per bulan akibat migrasi, dan jika ditambah biaya ‘perbaikan’ BTS Rp 250 miliar, total potential loss Telkom sekitar Rp 340 miliar.
Dari sisi pendapatan, Flexi ditargetkan memberi kontribusi sekitar Rp 2,5 triliun pada 2005. Tahun ini, Telkom menyiapkan Rp 1,7 triliun untuk pengembangan Flexi. Sebagian besar dana diperuntukkan menambah 500 BTS. Sepanjang dua tahun terakhir, Telkom telah mengeluarkan dana lebih dari Rp 2 triliun untuk pengembangan Flexi. Sekitar 55% pelanggan Flexi adalah kelompok prabayar (Flexi Trendy) dan 45% pelanggan pascabayar (Flexi Classy).
Sedangkan mengenai implementasi kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), menurut Heru Sutadi, potential loss Telkom diperkirakan sekitar 3% pada jangka pendek.
Bisnis SLJJ memberikan kontribusi terhadap pendapatan Telkom sekitar 25% hingga 35%. Total pendapatan Telkom – non konsolidasi, sekitar Rp 23,5 triliun pada 2004. (lihat tabel).
Sedangkan dari sisi pendapatan interkoneksi – terkait implementasi SKTT, menurut Heru, Telkom diperkirakan akan kehilangan potensi pendapatan sekitar 20%. Tahun lalu, pendapatan interkoneksi Telkom sebesar Rp 6,1 triliun.
“Telkom cukup dominan dalam pelaksanaan settlement interkoneksi lewat SOKI. Jika SKTT diterapkan bisa jadi pendapatan Telkom berkurang 20% dari interkoneksi,” kata Heru.
Ia menjelaskan, untuk layanan internet Speedy, ancaman komunitas warung internet (warnet) untuk berpindah dari Speedy Telkom ke operator lain, harus direspons positif oleh Telkom. “Telkom harus menambah bandwith dan sebenarnya Telkom masih memiliki sekitar 2,5 giga byte (GB),” ungkap Heru. Telkom memiliki pendapatan sekitar Rp 4,8 triliun dari layanan data dan internet pada 2004.

Takkan Bangkrut
Menurut Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, meski Telkom menghadapi tantangan berat, BUMN itu tetap akan mampu menjadi pemain telekomunikasi yang dominan. “Semua itu berpengaruh tapi saya yakin itu tidak akan membuat Telkom bangkrut atau rugi,” katanya.
Ia menilai, Telkom memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan aset yang memadai.
Mas Wig mengingatkan, regulator harus bersikap adil terhadap Telkom. “Untuk kebijakan pemindahan frekuensi, Telkom harus mendapatkan kompensasi dari pemerintah. Sebab, beroperasinya Flexi di alokasi 3G, juga merupakan tanggungjawab pemerintah. Di samping itu, Telkom juga harus dijauhkan intervensi kepentingan politik,” ujar dia.
Sementara itu, Edwin Sinaga mengatakan, dalam jangka pendek bisa saja berbagai kebijakan pemerintah -- termasuk pungutan 0,75% kontribusi operator untuk program universal service obligation (USO), akan berdampak negatif. “Ya mungkin, dalam jangka pendek earning berkurang,” kata dia.
Tapi, ujar Edwin, dalam jangka panjang kinerja Telkom tetap akan berkembang. Alasannya, industri telekomunikasi masih memiliki potensi yang sangat besar, karena tingkat penetrasi dalam industri ini masih rendah. Sedangkan, tentang kemampuan Telkom menghadapi kompetisi terlihat dari kesiapan infrastruktur perusahaan. “Telkom lebih duluan,” katanya.

Tak Perlu Resah
Wakil Dirut Telkom Garuda Sugardo mengatakan, kebijakan pemerintah merupakan hal yang biasa dan menjadi tantangan bagi manajemen untuk ke depan. “Saya rasa ini merupakan bagian dari reformasi industri telekomunikasi,” ujar dia, kepada Investor Daily, Sabtu (23/7).
“Saya yakin tujuannya baik, tetapi, implementasinya harus disesuaikan dengan industri telekomunikasi,” kata dia.
Tentang pemindahan frekuensi Flexi, kata Garuda, pelanggan dan para distributor tidak perlu resah, sebab pemindahan itu berlaku lima tahun.
Hingga akhir pekan lalu, kata dia, Telkom belum mendapat surat resmi pemindahan frekuensi Flexi.
Pemindahan frekuensi , jelas dia, akan berpengaruh pada pelanggan Flexi di kawasan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. “Pelanggan yang menggunakan handset 1.900 MHz yang akan terkena dampaknya. Jumlahnya tidak terlalu banyak mungkin sekitar 400 ribu,” kata Garuda.
Selama lima tahun cukup bagi Telkom untuk melakukan pengkajian dan reengineering dari segi teknis, marketing, pelayanan dan penghitungan finansial. “Kalau pemindahan itu merupakan kebijakan pemerintah, mau tidak mau Telkom harus mengikuti, dan memang ada konsekuensi keuangan yang harus ditanggung Telkom,” tambah dia.
Garuda menekankan, pelanggan tidak boleh dirugikan. “Kebijakan pemerintah tujuannya baik yaitu untuk menyeragamkan frekuensi Flexi di seluruh Indonesia. Dampaknya yang harus diminimalisasi,” tukasnya. Ia menepis perkiraan adanya potensi kehilangan pendapatan akibat perpindahan frekuensi Flexi.
Menyinggung migrasinya pengguna layanan Speedy, menurut Garuda, pihaknya dalam waktu segera akan menambah pita (bandwith) Speedy.
“Permasalahannya pemakaian Speedy cukup besar, tapi kita segera menambah bandwith. Mudah-mudahan dalam waktu dekat dapat diatasi,” katanya.
Terkait implementasi kode akses SLJJ, menurut Garuda, masih dalam tahap pengkajian, termasuk kemungkinan membuka kerja sama untuk operasi SLJJ. “Kami mengerti, maksud pemerintah adalah memberi pilihan kepada masyarakat. Kami masih koordinasi dengan pemerintah. Itu kan perlu sosialisasi dan implementasinya bertahap,” ujar Garuda.
Ia menuturkan, Senin (25/7) baru mendapat informasi mengenai kepastian pelaksanaan kode akses SLJJ. Telkom berharap, implementasi itu mempertimbangkan azas manfaat, keadilan dan pemerataan. “Telkom telah membangun dengan investasi cukup besar, membangun customer based hampir 60 tahun,” ujarnya. Tanpa sosialisasi yang baik, kata dia, pembukaan kode akses SLJJ justru akan membingungkan masyarakat.Sedangkan terkait implementasi SKTT, Garuda mengaku belum mendapat informasi lebih jauh. “Ia mengaku SKTT akan berpengaruh bagi Telkom. Pengaruh baiknya juga mungkin ada,” kata dia. (tri/ed)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home