Thursday, July 21, 2005

Operator Telepon Wajib Setor 0,75% Pendapatan Kotor

JAKARTA-Operator telepon dalam waktu dekat diwajibkan menyetor 0,75% pendapatan kotornya bagi program kewajiban pelaksanaan universal (universal services obligation/USO) telekomunikasi.
Namun, “Penarikan dana USO masih menunggu keluarnya kepmen (keputusan menteri,red),” kata Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar kepada wartawan, Rabu (21/7).
Program USO bertujuan membangun fasilitas telekomunikasi (fastel) di perdesaan. Kini ada sekitar 43 ribu desa yang belum memiliki jaringan telepon. Kontribusi dana USO pada 2005 akan digunakan untuk pembangunan sambungan telepon di 4.500 desa, dan selanjutnya 5.100 desa pada 2006, dan sekitar 6.000 desa pada 2006. Hingga 2010, 43 ribu desa terpencil yang selama ini belum dapat menikmati sambungan telepon akan memiliki akses telepon. Diperkirakan dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya mencapai Rp 2,14 triliun.
Ditjen Postel memperkirakan besaran dana kontribusi dari operator untuk program USO pada 2005 mencapai Rp 360 miliar, dengan basis pendapatan operator pada 2004. Kepastian penarikan dana tersebut mencuat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani peraturan pemerintah (PP) No.28 Tahun2005, tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Pos dan Telekomunikasi (Postel) Depkominfo pada 5 Juli 2005.
PP tersebut mengatur tentang kewajiban USO telekomunikasi, biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, penetapan biaya dimuka (upfront fee) pelaksanaan tender layanan seluler generasi ketiga (3G). Menurut Direktur Utama PT Telkomsel Kiskenda Suriahardja, penarikan dana untuk USO kemungkinan baru terlaksana pada awal 2006. “Kami sih siap saja memenuhi aturan pemerintah. Namun, saya dengar baru berjalan tahun depan,” kata Kiskenda, kepada Investor Daily, baru-baru ini.
Pengesahan PP oleh Presiden, diperlukan seiring perpindahan Ditjen Postel dari Departemen Perhubungan ke Departemen Komunikasi dan Informatika. PP tersebut merupakan revisi dari PP No 14 Tahun 2000 yang berkenaan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Revisi diperlukan untuk mencabut beberapa pasal tentang Postel, yang ketika itu masih berada di naungan Departemen Perhubungan.
Dana hasil pungutan dari operator itu akan menjadi tumpuan utama bagi kesinambungan pembangunan USO 2005. Sebab, dana program USO 2005 yang diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya untuk membiayai pemeliharaan dan operasional proyek USO 2003 dan 2004. Dana APBN 2005 untuk USO hanya Rp 5 miliar.
Saat ini fastel hasil program USO 2003 dan 2004, banyak yang berhenti beroperasi akibat terbentur masalah biaya operasional dan perawatan.

Diterima Operator
Sementara itu, meski belum mengetahui detail isi PP tersebut, Sekjen Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Rudiantara mengatakan, pihaknya siap mematuhi regulasi pemerintah. “Kita akan tunduk kepada regulasi,” kata Rudiantara.
Tentang pelaksanaan program USO, sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil mengatakan, dalam pelaksanaannya nanti, pemerintah akan mengintegrasikan program USO berupa pemasangan telepon perdesaan dengan layanan pos, relai radio, maupun informasi lainnya. Namun, integrasi ini dipastikan akan menyedot dana yang lebih besar dari program sebelumnya yang terbatas pada pemasangan telepon.
Untuk itu, selain mengandalkan dana pungutan 0,75%, pemerintah juga akan mengantisipasi dana program USO dengan dana hasil up front fee (biaya lisensi frekuensi) dan dana public service obligation untuk PT Pos Indonesia.
Di sisi lain, sejumlah kalangan memiliki catatan kelemahan proyek USO tahun 2003 dan tahun 2004. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) melihat setidaknya masih ada tiga kelemahan dari realisasi proyek USO sebelumnya. Pertama, berkaitan dengan kriteria pelaksana proyek yang hanya menitikberatkan pada kegiatan pemasangan perangkat saja, bukan ke pelayanan (services). Hal itu mengakibatkan banyak proyek USO yang akhirnya macet, setelah masa garansi dari pelaksana proyek habis. “Kalau fastel rusak, ya macet,” katanya.
Berdasarkan fakta di lapangan banyak fastel hasil proyek USO 2003, yang bermasalah. Hal ini terjadi karena, pihak pelaksana sudah tidak bertanggung jawab lagi atas perawatan dan pengoperasian, setelah masa garansi yang hanya satu tahun terlewati.
Dua kelemahan lain, masing-masing, berkaitan dengan penempatan fastel yang biasanya berada di tempat kepala desa dan biaya pulsa yang tidak terjangkau masyarakat setempat.
Menurut Mas Wig, penempatan fastel yang biasanya berada di tempat kepala desa, turut menghambat efektifitas penggunaan USO ini. Untuk itu, dia berharap penempatan fastel USO dipindahkan ke tempat yang banyak dikunjungi masyarakat. Kemudian, terkait biaya pulsa fastel USO yang tidak terjangkau masyarakat, dia berharap pemerintah mencarikan solusi.
Program USO dimulai pada 2003 dengan total pembangunan sebanyak 3.010 satuan sambungan telepon (SST) mencakup wilayah Sumatera (1.009 SST), Kalimantan (573 SST), KTI (1.388 SST), dan Jawa-Banten (40 SST). Teknologi yang digunakan pada proyek USO 2003 hanya dua jenis yakni portable fixed satellite (PFS) sebanyak 2.975 SST dan 35 SST lainnya menggunakan teknologi very small aperture terminal (VSAT). Sedangkan, tahun 2004 teknologi untuk pembangunan fastel USO diperluas, selain PFS dan VSAT juga teknologi radio, seluler, dan IP based dengan total kapasitas 2.620 SST. (tri/ed)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home