Tuesday, July 19, 2005

Prospek Pembangunan Jalan Tol Cukup Cerah?

PANJANG jalan tol di Tanah Air masih belum sebanding dengan jalan arteri. Tahun lalu, jumlah panjang tol baru sekitar 600 kilometer (km), sedangkan jalan arteri sekitar 26.000 km.
Tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad membangun 1.600 km jalan tol sepanjang lima tahun ke depan. Atau rata-rata sekitar 340 km per tahun. Tim Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur (TPPI) memperkirakan, kebutuhan dana untuk sektor jalan tol sekitar Rp 85,2 triliun untuk lima tahun kedepan (2005-2009). Bukan perkara mudah mengumpulkan dana sebesar itu.
Sejarah jalan tol di Indonesia, menurut Fatchur Rochman, ketua umum Asosiasi Tol Indonesia (ATI), dimulai saat pemerintah mengoperasikan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) sepanjang 48 km pada 1978. Jalan tol tersebut dibiayai oleh pemerintah. Hampir sekitar 10 tahun kemudian investor swasta mulai masuk ke bisnis jalan tol. Dan,hingga 1998 hasilnya terbangun 520 km jalan tol dengan komposisi;380 km atau 73% dimiliki oleh PT Jasa Marga dan 130 km atau 27% milik swasta. Pembangunan jalan tol sempat tertunda sejak itu hingga 2002. Tahun 2005 ini, Jasa Marga telah menyelesaikan ruas jalan tol Cikampek-Padalarang (Cipularang) tahap II sepanjang 41 km. Total panjang tol Cipularang mencapai 59 km.
Menurut Fatchur pembangunan jalan tol untuk membangun ekonomi daerah. Dan, pembangunan jalan tol adalah bagian dari sistem infrastruktur untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Sepanjang 25 tahun sejarah jalan tol di Tanah Air hanya terbangun sepanjang 600 km dan hanya 20-an% yang dimiliki swasta. Bandingkan dengan Malaysia yang baru memiliki sejarah jalan tol kurang dari 20 tahun, namun telah berhasil membangun 1.500 km. Seluruh ruas tol tersebut dibangun oleh investor swasta bahkan dua ruas telah dijadikan jalan arteri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat yakin jika infrastruktur dibangun dengan baik – termasuk jalan tol, pertumbuhan ekonomi bakal berkembang signifikan. Karena itu, khusus jalan tol pemerintah mendukung dengan percepatan regulasi. Di sektor pengadaan lahan, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 36 Tahun 2005 tentang Pembebasan Lahan bagi Kepentingan Umum. Menurut Presiden, Perpres itu mendukung niat pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur yang macet selama krisis ekonomi tahun 1997. Pembebasan lahan bagi kepentingan umum termasuk jalan tol tidak mengabaikan kepentingan pemilik lahan. "Pemerintah menghormati hak individu dan tidak akan semena-mena. Penentuan besaran ganti rugi lewat musyawarah. Harga tanah tidak ditentukan pemerintah, tapi oleh tim independen,"jelas Presiden, saat memberikan sambutan peresmian tol Cipularang II, di Bandung, belum lama ini.
Menteri Pekerjaan Umum (Menteri PU) Djoko Kirmanto bahkan menegaskan bahwa Perpres tersebut memberi peluang kepada pemilik tanah untuk menjadi pemegang saham pada ruas tol tertentu. Seandainya pemilik tanah enggan menerima ganti rugi sejumlah uang atau tanah, pemerintah memberi kesempatan pemilik tanah menjadi pemegang saham pada ruas tol yang melintas di atas bekas tanah miliknya.
Langkah lain yang dilakukan pemerintah, menurut Djoko Kirmanto, adalah mengenai sistem pentarifan jalan tol. Jika sebelum krisis ekonomi tahun 1997, investor jalan tol belum mengetahui berapa besaran tarif yang akan diberlakukan. Pada saat ini, justeru investor diminta mengajukan besaran tarif jalan tol yang akan dibangun. Keputusan tarif jalan tol di tangan Menteri PU.
Secara perangkat hukum, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah (PP) No.15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Dan, sesuai amanat perundangan, pemerintah awal Juli 2005 membentuk Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Badan itu memikul tugas menyelenggarakan tender jalan tol dan berhak merekomendasikan besaran kenaikan tarif jalan tol.
“Liberalisasi” perundangan tersebut bukan sekonyong-konyong lahir dari pemerintah. Kesemua itu tidak terlepas dari desakan calon investor, terutama investor asing. Bahkan, Kamar Dagang Eropa (Eurocham) berharap regulator independen di sektor infrastruktur dapat bekerja tanpa intervensi politik. Eurocham juga merekomendasikan agar tarif di bidang infrastruktur dapat disesuaikan dengan biaya investasi. Secara spesifik, tarif diharapkan juga dapat disesuaikan dengan risiko nilai tukar. Sejauh ini, masih banyak tarif bidang infrastruktur yang diformulasikan dengan regulasi pemerintah. Sehingga, sangat rawan dengan penyesuaian yang bersifat nonekonomi dan nonbiaya.
Respons pemerintah, seperti dituturkan Menteri Negara/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, cukup akomodatif. Sri Mulyani berjanji akan membenahi regulator independen di sektor infrastruktur, termasuk BPJT.

Prospeknya
Melihat perangkat perundangan dan political will yang cukup besar dari pemerintah, rasanya prospek pembangunan jalan tol di Indonesia tergolong cerah. Bagaimana kenyataannya?
Pada 3 Januari 2005, pemerintah melalui DPU membuka tender enam ruas tol yang diperkirakan menelan investasi Rp 12 triliun. Proyek tender tol tahap I 2005 itu merupakan bagian dari rencana pembangunan tol sepanjang 1.500 kilometer (km) yang menghubungkan kota-kota di Jawa.
Keenam ruas tol tersebut meliputi; Medan-Binjai (20,5 km) di Provinsi Sumatera Utara; tol Makassar Seksi IV (11,0 km) di Provinsi Sulawesi Selatan; tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (56,0 km) di Provinsi Jawa Barat; tol Depok-Antasari (18,2 km) di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat; tol Cinere-Jagorawi (14 km) di Provinsi Jawa Barat; tol Cikarang-Tanjung Priok. (53 km) di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Setelah melalui proses awal, dari sekitar 167 calon investor – selanjutnya tergabung dalam 37 konsorsium, akhirnya lolos 17 konsorsium guna mengikuti tender lanjutan. Rencananya, pemenang tender akan diumumkan pada Desember 2005. Barulah pada tahun 2006 dilakukan pembangunan fisik proyek tersebut.
Menurut seorang calon investor, proses tender yang memakan waktu hingga satu tahun itu tergolong lama. Terjadi proses tarik menarik dalam penentuan siapa memenangi ruas tol mana. DPU mengaku, karena tender tersebut merupakan yang pertama mereka lakukan, wajar saja jika terjadi kekurangan-kekurangan. Padahal, pemerintah akan menender 13 proyek jalan tol pada akhir Juli 2005. Total investasi proyek tersebut sekitar Rp 30 triliun.
Menurut Djoko Kirmanto, pelaksanaan tender jalan tol nantinya akan dilakukan oleh BPJT. Ia optimistis rencana pemerintah membangun 1.600 km dapat terwujud. Minat calon investor tetap akan tinggi. Terlebih, menurut seorang calon investor, internal rate of return (IRR) ruas jalan tol di pulau Jawa mencapai sekitar 19%.
Namun, melihat keberadaan BPJT yang tergolong masih muda. Pemerintah seyogyanya segera melengkapi badan itu dengan struktur dan sistem administrasi yang mapan. Sebagaimana diamanatkan undang-undang, badan itu beranggotakan tiga unsur dari DPU dan tiga unsur dari masyarakat dan akademisi.
Kemapanan BPJT menjadi penting mengingat badan itu kelak mengurusi tender bernilai puluhan triliun. Kekhawatiran intervensi politik – dengan motif bisnis, terhadap badan tersebut sangat wajar. Misalnya, dalam penentuan pemenang tender ruas tol tertentu. Intervensi seperti itu harus dihindari. Karena itu, BPJT harus dibekali ”peluru” yang cukup guna memerangi intervensi terhadap mereka. Terlebih, saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang gencar memerangi praktik kolusi korupsi dan nepotisme (KKN). Tentu, harapan besar ada dipundak Menteri PU agar menata BPJT sebaik mungkin. (edo rusyanto)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home