Tuesday, January 30, 2007

Sulitnya Memastikan Pelanggan Riil Seluler

Tren Pertumbuhan Seluler 2007: (Bagian 1 dari 2 tulisan)


TORA Sudiro diapit dua wanita cantik berkulit kuning langsat. Sekelebat sudut mata Tora mengerling. Penuh makna. Dua wanita cantik berbalut busana pekat menatap penuh gelora.

Adegan tersebut bukan cuplikan film layar lebar atau sinetron Dunia Tanpa Koma dimana Tora berperan sebagai pemimpin redaksi (pemred) sebuah majalah. Itu adalah penggalan iklan program perusahaan seluler yang menawarkan layanan menelepon tarif murah dengan bonus pulsa. Siang maupun malam.
Kini telah menjadi tren, para operator seluler menawarkan pulsa telepon seluler dengan tarif murah pada jam-jam tidak sibuk atau istilah para operator seluler, off peak. Menelepon mulai pukul 22.00 hingga pagi hari, pukul 06.00, dibanderol dengan tarif separuh harga dibandingkan jam-jam sibuk (peak hours).
Bagi operator, jurus pemasaran seperti itu tidak merugikan. Pasalnya, jika konsumen menelepon pada larut malam hingga dini hari, selain meningkatkan pendapatan, juga itung-itung mengaktifkan jaringan yang idle. Namun, perilaku pengguna seluler di Tanah Air, mayoritas tidak menelepon pada jam-jam tersebut. Para operator menyebutkan, mayoritas pelanggan menelepon pada jam-jam sibuk berkisar mulai pukul 08.00 hingga 19.00. Selebihnya, frekuensi melorot.
Ragam merayu konsumen daftarnya masih berderet. Inti resepnya pada tarif murah dan embel-embel bonus. Tidak tanggung-tanggung, bonusnya bisa berupa sedan mewah keluaran terbaru.

Terus Tumbuh
Pasar seluler di Tanah Air seakan tak pernah sepi. Lima tahun terakhir tumbuhnya rata-rata bisa mencapai 67%. Tahun 2006, tumbuh dari 45 juta (2005) menjadi 60 juta. Dan, tahun ini Asosiasi Telepon seluler Indonesia (ATSI) memperkirakan bertumbuh menjadi 80 juta. Maklum teledensitas seluler masih di bawah 30% dari total 240 juta penduduk Indonesia.
Dua operator besar, yakni PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk, pada 2007, mematok target perolehan pelanggan masing-masing sekitar sembilan juta dan enam juta. "Tahun 2007, Telkomsel menginvestasikan capex sebesar US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 14 triliun,red) untuk menambah sekitar 5.000 BTS baru untuk menyukseskan program melayani kecamatan di 100% kecamatan Kalimantan dan sekitar 60-70% di Sulawesi," ujar Dirut Telkomsel Kiskenda Suriahardja.
Sementara itu, Indosat menyiapkan dana sekitar US$ 1 miliar pada 2007. "Di antaranya untuk membangun 3.500 - 4.000 BTS di seluruh Indonesia," ujar Adita Irawati, division head Public Relations PT Indosat.
Sedangkan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), menurut Vice President Public and Marketing Communication Telkom Muhammad Awaluddin, pada 2007 memproyeksikan tambahan pelanggan Flexi hingga dua juta. "Layanan Flexi yang di tahun 2006 berhasil meraih 4,1 juta Satuan Sambungan Flexi (SSF), diproyeksikan tumbuh + 47% menjadi 6,023 juta SSF pada akhir 2007 dengan proyeksi produksi pulsa 43,253 juta menit dan SMS (Short Massage Service) 1,122 juta SMS," kata Awaluddin.

Bersaing Ketat
Kini, tercatat sembilan operator telekomunikasi bersaing ketat memperebutkan pelanggan di Tanah Air. Mereka terdiri atas PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Telkomsel, PT Indosat Tbk, PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Mobile-8 Telecom Tbk (Mobile-8), PT Bakrie Telecom Tbk, PT Sampoerna (eks Mandara), PT Hutchison CP Telecomunications, dan PT Natrindo Telepon Seluler.
Belanja modal (capital expenditure/capex) yang disiapkan para operator besar pada 2007, diperkirakan mencapai US$ 4,5 miliar atau setara dengan Rp 45 triliun (kurs Rp 10.000/dolar AS). Uang sebanyak itu digunakan untuk memperluas infrastruktur dan strategi pemasaran.
Para operator getol membidik segmen menengah bawah. Kelompok ini lebih besar ketimbang segmen atas. Konsumen diberi kemudahan mengaktifkan seluler, bahkan cukup dengan uang Rp 15 ribu seseorang sudah bisa menelepon ke seantero Nusantara dan ditelepon dari segala penjuru dunia.
Meruyaknya seluler dalam sendi-sendi masyarakat merupakan konsekuensi dari agresivitas para operator telekomunikasi. Bayangkan, sejak diperkenalkan 12 tahun lalu, nomor yang kini beredar sudah lebih dari 60 juta. Dibandingkan dengan telepon kabel, angka itu fantastis. Maklum, telepon kabel yang sudah dikenal lebih dari 100 tahun di Indonesia, baru sembilan juta satuan sambungan.
Kemudahan seluler untuk dibawa-bawa oleh penggunanya menjadi daya tarik utama calon konsumen memilih layanan dengan teknologi global system for mobile telecommunication (GSM) itu. Fitur paling digemari adalah layanan pesan singkat (short message service/SMS). Bukan semata karena tarifnya lebih rendah dibandingkan berbicara, SMS juga lebih efektif karena menggunakan bahasa tulis.
SMS bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan penggunanya. Di tengah masyarakat kita jumpai seorang pedagang yang menerima order melalui SMS. Sopir taksi dan tukang ojek memanfaatkannya untuk memperoleh penumpang. Ibu rumah tangga menggunakan SMS untuk pesan sayuran kepada mbok tukang sayur. Sang direktur dan manajer bisa memberi perintah kepada stafnya. Wartawan terbantu untuk memobilisasi ide dan mewawancari narasumbernya. Pokoknya, masih segudang manfaat positif dari SMS. Tergantung yang memegang kendali ponselnya.
Tapi tunggu dulu. Adakah faktor negatifnya? "Saya terpaksa memecat pembantu saya karena dia menghabiskan uang belanja untuk membeli pulsa," ujar Yoeniar, seorang manajer di Jakarta.
Kasus itu mungkin bukan satu-satunya. Coba tengok kasus yang menimpa Gandi, seorang eksekutif di Jakarta. "Tagihan telepon rumah saya mencapai Rp 6,5 juta dalam satu bulan. Setelah ditelusuri, pembantu saya menelepon ke seluler berjam-jam," ujar dia.

Pelanggan Riil
Sudah menjadi rahasia umum seseorang memiliki lebih dari satu nomor telepon seluler. Bahkan, orang yang sama memiliki tiga jenis nomor telepon yakni telepon tetap kabel (fixed line), telepon tetap nirkabel (fixed wireless access/FWA), dan seluler (GSM maupun CDMA). Sebenarnya ada satu jenis lagi yaitu telepon satelit. Namun karena jenis ini amat minim, kali ini diabaikan dahulu.
Menjawab berapa pelanggan riil merupakan sesuatu yang amat sulit di negeri ini. Data yang hampir pasti hanya pada pelanggan pascabayar. Ironisnya hampir 99% pengguna seluler maupun FWA adalah pelanggan prabayar. Kebijakan registrasi prabayar yang diterapkan pemerintah mulai akhir 2005 juga belum maksimal. Maksudnya, perilaku konsumen mendaftarkan identitas yang sesungguhnya masih diragukan. Maklum, fitur untuk registrasi bisa diisi sembarangan oleh konsumen.
Faktor lain untuk mendapat data riil berapa pengguna seluler juga dipengaruhi oleh tingkat kartu hangus (churn). "Karena faktor churn besar yakni sekitar 20% maka pengguna riil atau orang yang menggunakan kartunya sekitar 80% dari 60 juta pelanggan seluler yang kini ada," tutur pengamat telekomunikasi Roy Suryo, kepada Investor Daily, Kamis (18/1).
Pengamat lainnya, Heru Sutadi menegaskan, penetrasi seluler sesuai dengan nature-nya, adalah penetrasi yang semu. "Satu orang bisa memiliki lebih dari satu nomor, angka pengguna yang 60 juta itu bisa jadi memang pengguna nya tidak benar-benar 60 juta," tutur Heru.
Bahkan, menurut Lukman Adjam, sekjen Himpunan Pemerhati Praktisi Telematika Indonesia (HPPTI), pelanggan aktif layanan cellular service yang mencakup GSM, CDMA, dan FWA total sekitar 30 juta. "Kartu beredar mungkin sudah lebih dari 60 juta. Hal itu lebih karena aturan sistem distribusi yang dikemas bersama voucher isi ulang yang mewajibkan distributor mengambil nomor perdana," tuturnya. (edo rusyanto)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home