Saturday, January 03, 2004

Peta Farmasi 2004

Produksi Obat Berkualitas, Atau Ditinggal Konsumen

INDONESIA tetap menjadi pasar potensial bagi para produsen farmasi sepanjang tahun 2004. Populasi penduduk 200-an juta jiwa dengan tingkat konsumsi obat yang masih rendah, merupakan pasar yang menjanjikan.
Intercontinental Medihical Statistics (IMS) mencatat, omzet pasar farmasi dari tahun ke tahun terus tumbuh. Saat tahun 2000 baru tercatat senilai Rp 9,944 triliun, setahun kemudian melesat menjadi Rp 12,654 triliun. Tahun 2002, omzet farmasi meningkat lagi menjadi Rp 15,644 triliun, dan tahun 2003 yang baru lewat, pasar farmasi diperkirakan tumbuh menjadi Rp 17,386 triliun. Hingga semester pertama tahun 2003, sebelas pemain besar yang telah tercatat di lantai Bursa Efek Jakarta (BEJ) telah mengantongi penjualan bersih Rp 4,75 triliun.
Tahun monyet kayu sekarang ini diperkirakan tumbuh 14,3% menjadi Rp 20,4 triliun. Perkiraan IMS itu lebih kecil dari perkiraan Antony Ch Sunarjo, Ketua GP Farmasi Indonesia. “Tahun 2004 kami perkirakan tumbuh 30 hingga 40 persen dari tahun 2003,” kata dia, di sela Musda GP Farmasi Jawa Timur awal Desember lalu. Apapun, itu suatu angka yang fantastis untuk diperebutkan oleh sekitar 198 perusahaan farmasi yang sekarang ini ada di tanah air.
Produsen farmasi yang terdiri dari 161 perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), 33 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), dan 4 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tentu saja memiliki jurus masing-masing dalam memenangkan perebutan kue farmasi.
Menilik data termutakhir, penguasaan pangsa pasar masih terpusat pada sebagian kecil produsen saja. Sekitar 50 perusahaan farmasi besar menguasai sekitar 82,5% omzet farmasi nasional. Sisanya, diperebutkan oleh lebih dari 140 perusahaan.

* * *

Dari sekitar Rp 20,4 triliun pasar farmasi, menurut Dani M Pratomo, direktur utama PT Indofarma Tbk (INAF), produk obat ethical (resep dokter) akan tumbuh 12,9 % dan produk over the counter/ OTC (tanpa resep dokter) akan tumbuh 16,4 %. Sedangkan pasar obat generik diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi yaitu 21, 6 %.
Tidak heran jika BUMN produsen obat generik itu konsentrasi meningkatkan kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi obat generik. Jurusnya, tentu saja lewat peningkatan biaya iklan. Maklum, menurut Sampoerno, ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), konsumsi obat generik di tanah air masih kecil. “ Di Indonesia penggunaannya masih sangat minim yakni sekitar 8-10 persen, sementara di Jepang sudah lebih dari 20 persen,” ujar Sampurno.
Menyinggung obat ethical, Sampurno mengatakan, yang berperan penting adalah para high provider (seperti dokter) yang akan menentukan pilihan akhir konsumen. Konsumen berada di posisi lemah. Ia menganggap para high provider tadi harus semakin merasionalkan penggunaan obat etichal di masyarakat. Di sisi lain, untuk hal ini Dani dan Sampurno punya pandangan sejenis, adalah masih belum optimalnya peran asuransi dalam hal pembiayaan kesehatan. Tidak heran jika di tanah air, dalam pembiayaan obat konsumen menanggung sekitar 75% dari total biaya.
Dani berharap rencana disyahkannya Undang-undang Asuransi Kesehatan Nasional pada tahun ini akan mendorong konsumsi obat.
Di tengah segala jurus para produsen untuk mengumpulkan penjualan sebanyak-banyaknya. Tahun 2004 ini para produsen farmasi, terlebih yang tergolong produsen menengah dan kecil, harus ambil ancang-ancang mengikuti uji coba harmonisasi regulasi farmasi negara-negara Asia Tenggara (Asean) sebagai bagian penerapan wilayah perdagangan bebas Asean (Asean Free Trade Area/AFTA). Aturan ini, memberi isyarat kepada para produsen di Indonesia untuk lebih waspada pada serbuan obat impor. Walau, kata Anthony, tahun 2003 nilai obat impor baru sekitar 10% dari total nilai farmasi nasional. Ia mengingatkan, obat impor dapat menjadi ancaman serius apabila produsen farmasi Indonesia tidak mengimbanginya dengan kualitas produksi.
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA GP Farmasi, Lucky S Slamet menyebutkan, tahap uji coba harmonisasi regulasi yang dilakukan di Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina dan Thailand, ini memberi kesempatan kepada para produsen untuk lebih memahami, mengerti serta berupaya mencari jalan terbaik agar bisa memenuhi kelengkapan registrasi. Sehingga apabila pada tahun 2005 diterapkan, mereka mampu bersaing.
Persyaratan teknis yang disamakan tingkat regulasinya di Asean meliputi 4 bidang. Pertama, persyaratan administratif (koordinator Malaysia). Kedua, persyaratan jaminan mutu produk (koorditor Indonesia). Ketiga, persyaratan khasiat produk (koordinator Thailand), dan keempat, persyaratan jaminan keamanan produk (koordinator Filipina).
Pada tahap persiapan antisipasi harmonisasi Asean, produsen harus meningkatkan persyaratan registrasi obat sesuai ketentuan regional dan global (ACTR/ASEAN Common Tech Requirement, ACTD/ASEAN Common Tech Dossier).
Tata laksana registrasi obat mencakup persyaratan administratif, seperti pemberian informasi yang akurat kepada konsumen obat. Kemudian sudah barang tentu persyaratan mutu seperti pada bahan baku obat mengenai spesifikasi, sumber, metoda analisa dan validasinya. Pada obat jadi, misalnya dalam pengembangan produk, spesifikasi, validasi proses produksi, validasi metode analisis, uji stabilitas,serta uji bioequivalence/bioavaibility.
Produsen tidak sendirian, karena memang semua pihak harus memberikan dukungan, mulai dari BPOM hingga Departemen Kesehatan (Depkes).
Ironisnya, tahun lalu saja, kata Anthony, baru sekitar 40% produsen farmasi nasional yang telah siap menghadapi AFTA. Belum banyak produsen bisa menerapkan current good manufacturing practice ( cGMP).
Kalau begitu, kue pasar farmasi nasional tidak saja terus diincar produsen negara-negara maju, tapi juga oleh produsen negara-negara Asean lainnya. Pilihannya, produksi obat berkualitas, atau ditinggal konsumen. (edo rusyanto)