Friday, December 17, 2004

Asing Diundang Biayai Proyek Tol dan PDAM

JAKARTA- Departemen Pekerjaan Umum (PU) akan mengundang investor asing untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan tol dan pengadaan air minum. “Kami akan mempergunakan kesempatan dalam Infrastructure Summit Januari 2005 nanti untuk mengundang investor asing,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum (PU) Budiman Arief kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (16/12).
Seperti diberitakan sebelumnya, kebutuhan dana investasi untuk membangun proyek infrastruktur sepanjang 2005-2009 mencapai Rp 1.303 triliun. Dari jumlah itu, Rp 25,9 triliun di antaranya untuk membiayai pembangunan jalan tol dan Rp 85,2 triliun untuk investasi air minum (PDAM)
Budiman menyebutkan, selain dukungan dana, pengembangan jalan tol juga membutuhkan aturan main yang jelas. “Sekarang ini sudah ada UU Jalan, tetapi aturan pendukungnya, seperti peraturan pemerintah, belum ada,” kata dia. Selain itu, rencana pembentukan badan pengelola jalan tol (BPJT) perlu secepatnya direalisasikan.
Di tempat terpisah, Corporate Secretary Jasa Marga Hengky Herwanto
menegaskan, selain menggunakan pendanaan internal, pihaknya juga mengupayakan pendanaan dari mitra bisnis. Ia memberi contoh proyek prioritas tahun 2005, proyek tol Gempol-Pasuruan (32,4 km) dan Semarang-Bawen-Solo (82,6 km). Untuk membiayai pembangunan ke dua jalan tol yang membutuhkan dana masing-masing Rp 1,5 triliun dan US$ 357 juta itu, Jasa Marga menggandeng pemda setempat. Kerjasamanya dengan pola bagi hasil (Joint Operation/Build Transfer Operate).
Sedangkan ruas tol Bogor Outer Ring Road sepanjang 11,2 km yang diperkirakan menelan dana Rp 1 triliun, Jasa Marga mempunyai dua opsi, kemungkinan dikerjakan sendiri atau bekerjasama dengan investor lain.
Sementara itu, Dirut PT Pipa Gas Negara Tbk (PGN) WMP Simanjuntak menegaskan, kebutuhan dana infrastruktur PGN
pada 2005-2009 sekitar Rp 19,5 triliun. “Strategi pembiayaannya bisa berupa project financing, bisa dari donor dan pinjaman lembaga keuangan asing maupun domestik,” kata Simandjuntak.
Untuk proyek prioritas tahun 2005, lanjut Simandjuntak, pihaknya menggunakan pola project financing. “Nanti akan kita umumkan. Beauty contest-nya pada kuartal pertama 2005,” tukasnya.
Ia optimistis, jika kondisi sosial politik terus membaik, investor akan berminat investasi di Indonesia. “Selama ini, pendanaan kami sebagian dari pinjaman, seperti dari International Finance Corportaion dan ADB dan juga dari ekuiti,” kata dia.

Perluasan Tanjung Priok
Sementara itu, untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan laut, menurut Sekretaris Perusahaan PT Pelindo II Hendra Budi, membutuhkan dana sedikitnya Rp 6,5 triliun. “Itu pun hanya untuk Pelindo II, yang kini berkonsentrasi untuk memperluas Pelabuhan Tanjung Priok dan pembangunan infrastruktur dasar Pelabuhan Bojonegara,” kata Hendra. Kedua pembangunan dan pengembangan pelabuhan tersebut dimulai pada 2005 dan diharapkan rampung pada 2009.
Hendra menjelaskan, pembangunan Pelabuhan Bojonegara pada tahap pertama menelan dana sekitar Rp 1,9 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah memberikan bantuan Rp 248,1 miliar, selebihnya dari BUMN dan kerja sama operasi (KSO) dengan swasta senilai Rp 1,661 triliun. (abe/har/ed)

Thursday, December 16, 2004

Investasi Infrastruktur Butuh Rp 1.303 Triliun

JAKARTA – Investasi sektor infrastruktur di Indonesia membutuhkan dana sekitar Rp 1.303 triliun dalam lima tahun ke depan. Mayoritas pembiayaan proyek infrastruktur tersebut harus diserahkan ke swasta domestik maupun asing, karena perbankan domestik hanya mampu mendanai sekitar 30%.
Menurut Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, pemerintah membutuhkan dana dari perbankan Rp 200 triliun untuk membiayai pembangunan infrastruktur lima tahun ke depan. Total biaya pembangunan infrastruktur diperkirakan berkisar Rp 700 triliun hingga Rp 1.303 triliun. "Kekurangannya harus didanai oleh swasta dari dalam dan luar negeri," katanya, di Jakarta, Rabu (15/12).
Ketua Tim Pengembangan Pembangunan Infrastruktur Indonesia Raden Pardede menegaskan, biaya pengembangan infrastuktur di Indonesia sangat besar, sehingga tidak mungkin hanya mengandalkan pembiyaan dalam negeri.
Ia yakin, pengembangan infrastruktur sanggup memberikan dampak berganda (multiplier effect) bagi pertumbuhan ekonomi nasional. “Dengan rangsangan pada infrastruktur yang lebih baik, target pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 6,6% hingga 7% diperkirakan dapat tercapai,” kata Raden.
Raden menyebut beberapa strategi jangka pendek dan menengah untuk menggaet pendanaan infrastruktur. Di antaranya adalah peningkatan rasio alokasi pinjaman dan investasi, pembentukan infrastructure fund, dan restrukturisasi permodalan perusahaan infrastruktur, serta reformasi kebijakan menyeluruh baik di sektor keuangan maupun sektor infrastruktur.
Sejauh ini, pemerintah telah memiliki roadmap proyek infrastruktur. Pemerintah akan memanfaatkan forum Infrastructure Summit 2005 pada 17-18 Januari 2005 untuk menawarkan proyek-proyek infrastruktur kepada asing. Menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, proyek unggulan yang ditawarkan ke asing adalah sektor air minum dan jalan tol.
Secara terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menyatakan, pemerintah tengah mempersiapkan peraturan pemerintah yang akan mendukung pengembangan infrastruktur. “Khusus pembangunan infrastruktur listrik dan LNG akan ditarik ke Jawa. Itu akan kita tawarkan dalam Infrastructure Summit,” kata Purnomo kemarin.
Ia mengungkapkan, proyek infrastruktur butuh dana Rp 400 triliun, namun pemerintah hanya mampu membiayai 40%. Sisanya, diupayakan dari swasta. Khusus pembangunan sektor kelistrikan, hingga tahun 2010 dibutuhkan dana US$ 30 miliar.
Sementara itu, pengamat ekonomi Sri Adiningsih berpendapat, pemerintah perlu menyiapkan payung hukum yang kuat, antara lain UU Penanaman Modal dan PP yang menjamin bahwa keberadaan proyek infrastruktur harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Jadi, walaupun mayoritas pembiayaan berasal dari swasta, proyek itu harus mendatangkan manfaat bagi masyarakat,” katanya.
Berdasar data yang diperoleh Investor Daily, jalan tol membutuhkan dana investasi yang paling tinggi. Jasa Marga misalnya, membutuhkan dana Rp 85,42 triliun. Jasa Marga bersama beberapa mitranya saat ini sedang membangun beberapa ruas tol. Proyek yang diharapkan tuntas April 2005 adalah ruas Cikampek-Padalarang (Cipularang).
Untuk tahun 2005, menurut Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Hengki Herwanto, pihaknya mengusulkan pembangunan tiga ruas tol sepanjang 125 km, yakni ruas Semarang - Solo senilai Rp 3,4 triliun, Gempol-Pasuruan Rp 1,2 triliun, dan Bogor Outer Ring Road sebesar Rp 500 miliar.
Sektor air minum memerlukan dana US$ 25,9 miliar. Investor yang berminat antara lain Metito Overseas Uni Emirat Arab. Sedangkan proyek infrastruktur bergengsi lainnya yang diminati asing adalah proyek monorel di Jakarta senilai US$ 650 juta
Dari beberapa proyek kelistrikan yang sedang dalam proses pembangunan, beberapa yang berkapasitas besar dipegang asing. Sebut saja misalnya pembangunan pembangkit Paiton di Jawa Timur dengan kapasitas 800 mega watt. Proyek yang dikelola Paiton Energy (AS) ini diperkirakan menelan investasi US$ 580 juta.
Proyek listrik lainnya adalah PLTP Darajat III di Jawa Barat. Proyek ini untuk menambah pasokan listrik di Jawa, Madura, dan Bali. Proyek senilai US$ 128 juta ini dikelola oleh ChevronTexaco (AS). Chevron menguasai 95% kepemilikan di pembangkit listrik tenaga panas bumi berkapasitas 110 MW itu. Sedangkan 5% dimiliki oleh PT Darajat Geothermal Indonesia. Sebelumnya, perusahaan perminyakan asal AS ini telah memiliki PLTP Darajat I dan II dengan total kapasitas terpasang 145 MW.(har/eis/ed/rie)


Monday, December 13, 2004

Menanti Kompetisi Penuh Industri Telekomunikasi

Oleh Edo Rusyanto
Wartawan Investor Daily

WAJAH persaingan perebutan kue bisnis telekomunikasi di Tanah Air memasuki babak baru pada tahun 2004. Dari era monopoli menjadi duopoli. Departemen Perhubungan (Dephub) mengumumkan Pelaksanaan Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi pada 30 Maret 2004.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang semula dimanjakan oleh iklim monopoli di bidang telepon tetap (fix phone), kini harus berbagi kue dengan PT Indosat Tbk. Sebaliknya, Indosat yang selama ini menguasai pasar sambungan langsung internasional (SLI), harus berbagi dengan Telkom.
KM 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas KM 4 Tahun
2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional
2000 menjadi kunci pembuka era monopoli.
Terkait KM 28 Tahun 2004, pemerintah memberikan hak kepada Telkom untuk menggunakan kode akses 007 untuk penyelenggaraan SLI dan memberikan hak kepada Indosat untuk menggunakan Kode Akses 011 untuk penyelenggara sambungan langsung jarak jauh (SLJJ). Selain itu, Kode Akses SLJJ Telkom yang semula menggunakan Prefiks Nasional “0” harus berubah menjadi 017. Sedangkan untuk SLI Indosat, tetap berlangsung dengan dua kode yang sudah ada yakni 001 dan 008.
Kesiapan berkompetisi kedua operator penguasa pangsa pasar industri telekomunikasi itu, hingga kini terasa makin kuat. Secara intensif Telkom dan Indosat menyiapkan infrastuktur masing-masing serta melakukan serangkaian kesepakatan teknis dan bisnis saling menguntungkan.
Indosat tidak saja hanya bisa masuk bisnis telepon tetap. Perusahaan yang saat ini sebesar 49,41% sahamnya dimiliki STTC Singapore itu, sejak Agustus 2004 telah masuk ke bisnis jasa lokal Fixed Wireless Access (FWA) lewat produk CDMA Star One.
Produk sejenis telah diluncurkan Telkom lebih dahulu dengan label TelkomFlexi yang kini mengantongi sekitar 1,1 juta pengguna.
Indosat cukup serius dalam memasuki bisnis FWA. Hingga kini memang baru meraih sekitar 60 ribu pelanggan. Untuk itu Indosat tak pernah henti melakukan penetrasi pasar. Setelah menggandeng mitra di Yogjakarta, menjelang akhir tahun 2004, Indosat akan segera menggandeng dua mitra baru.
Pertempuran di lini ini memang belum imbang. Telkom masih dominan. Telkom lebih suka meningkatkan bisnis flexi ketimbang telepon tetap (kabel). Alasannya, biaya investasi flexi sekitar US$ 300 sedangkan telepon tetap bisa mencapai US$ 1.000 per satuan sambungan telepon (sst). Tahun depan, Telkom hanya menargetkan 400 ribu sst. Hingga kini pelanggan Telkom, di luar flexi, sekitar enam juta.

Persaingan SLI
Bagaimana persaingan SLI? Sejak Juni 2004 secara resmi berhasil meluncurkan jasa SLI Telkom International Call (TIC) 007. Untuk layanan SLI-nya ini, Telkom mengaku merogoh kocek sekitar US$ 20 juta.
Sejak diluncurkan pada 7 Juni 2004, Telkom mencanangkan target penguasaan pangsa pasar sebesar 25% atau sekitar Rp 400-an miliar. Guna mencapai target itu, secara intensif Telkom menggarap berbagai segmen pasar SLI seperti korporasi, hotel, pelanggan residensial maupun wartel. Wartel merupakan salah satu kontributor revenue SLI yang cukup tinggi.
Kehadiran TIC 007 tentu sajanya sedikit banyak akan ‘mengusik’ pemain lama, Indosat. Sebagai pemain tunggal – sebelum era duopoli, sepanjang tiga tahun terakhir, tercatat pendapatan SLI Indosat terus mengalami penurunan. Jika pada tahun 2001 pendapatan SLI Indosat masih mencapai Rp 2,15 triliun, setahun kemudian turun menjadi Rp 2,13 triliun. Tahun 2003, turun 15,4% menjadi Rp 1,8 triliun. Boleh jadi penurunan tersebut juga dipengaruhi oleh kehadiran operator telepon internet (VoiP).
Seorang pengamat telekomunikasi memperkirakan, Telkom akan mampu menyusul pangsa pasar SLI Indosat di tahun 2005. Komposisinya dapat seimbang 51% Telkom dan 49% Indosat.
Untuk bisnis SLI, semestinya kedua operator telekomunikasi tersebut sudah mampu melakukan kompetisi penuh. Keduanya sudah memiliki mitra cukup banyak di berbagai negara. Bahkan, pekan ini Telkom akan meluncurkan produk pra bayar (prepaid) untuk SLI. Selain membidik pelanggan reguler, pasar umat muslim Indonesia yang menjalankan ibadah haji juga cukup besar. Setidaknya, musim haji tahun ini warga negara Indonesia (WNI) yang berangkat ke Saudi Arabia tidak kurang dari 200 ribu WNI. Belum lagi pasar tenaga kerja Indonesia (TKI) dan pebisnis yang berkongsi dengan mitra asing.
Kesiapan sejenis juga dilakukan oleh Indosat. Bahkan, Indosat tergolong lebih gencar berpromosi di siaran televisi swasta. Saat ini, iklannya dapat kita temui hampir tiap malam.

Masih Bersitegang
“Perseteruan tidak sehat” nampaknya masih terjadi pada bisnis SLJJ. Sesuai keputusan pemerintah, seharusnya perubahan kode akses SLJJ Telkom setidaknya berlaku mulai Mei 2005. Namun, Telkom meminta agar diberlakukan bertahap selama lima tahun. Telkom merasa biaya yang dikeluarkan untuk perubahan kode akses 0 menjadi 0IX dan kode akses dari 0IX menjadi 010XY, terlalu memberatkan Telkom. Perubahan harus dilakukan karena mayoritas jaringan tetap Telkom masih belum memiliki kemampuan sebagaimana dipersyaratkan pada KM-KM peraturan pelaksanaan Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi pada tanggal 30
Maret 2004.
Perubahan kode akses SLJJ Telkom memang terkesan berlebihan. Pertama, biaya yang ditanggung Telkom cukup tinggi. Kedua, system penagihan (billing) telepon saat ini praktis masih mengandalkan Telkom. Dan, ketiga, pendatang baru di bisnis SLJJ tidak perlu “repot-repot” menjaring pelanggan baru. Pelanggan Telkom yang sudah ada praktis nanti juga akan menggunakan fasilitas Indosat.
Diharapkan Desember ini Perjanjian Interkoneksi antara Telkom dan Indosat sebagai implementasi duopoli pasar telekomunikasi dapat ditandatangani. Harapannya, pada awal tahun 2005 duopoli pasar telekomunikasi tetap domestik secara penuh (lokal dan SLJJ) di Indonesia mulai berlaku efektif. Di sisi lain, pekan lalu, Menteri Perhubungan (Menhub) Hatta Radjasa mengaku akan mempelajari perkembangan terkini soal perubahan kode akses SLJJ.
Harapan konsumen, semakin cepat terjadinya persaingan penuh di bisnis telekomunikasi akan mendorong layanan lebih baik. Tentunya, harga yang ditawarkan operator juga dapat lebih terjangkau kantong. *









Friday, December 10, 2004

Malaysia dan Singapura Kuasai Bisnis Seluler Indonesia

JAKARTA - Perusahaan telekomunikasi Malaysia dan Singapura kini bersaing memperebutkan pasar telekomunikasi di Indonesia. Sebelumnya, Malaysia kalah bersaing dengan Singapura ketika berebut saham PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk. Kini, Telekom Malaysia mulai masuk Indonesia dengan membeli 27,3% saham PT Excelcomindo Pratama. “Telekom Malaysia membeli 27,3% saham XL senilai US$ 314 juta,” tutur Presiden Direktur PT Telekomindo YW Junardy, di Jakarta, Kamis (9/12).
Harga pembelian saham XL itu jauh melebihi harga saham PT Indosat.. Ketika STTC Singapore ingin menguasai 49,41% saham Indosat, perusahaan Singapura itu hanya merogoh kocek Rp 1,4 triliun.
Telekom Malaysia berhasil masuk ke XL dengan membeli 23,1% saham Verizon dan 4,2% saham Mitsui & Co, Ltd. Menurut YW Junardy, Telekom Malaysia telah mendapat lampu hijau dari Rajawali Grup, pemilik 100% saham PT Telekomindo yang menguasai 60% saham XL. Telekom. "Malaysia masuk ke XL melalui TM International Ltd (TMI)," kata dia.
Dalam akuisisi ini Telekom Malaysia menunjuk Citigroup Global Markets sebagai penasihat investasi. Sedangkan Morgan Stanley dan Credit Suisse First Boston sebagai joint penasihat Rajawali Grup. Kesepakatan transaksi pembelian tersebut berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia. Telekom Malaysia, kata Junardy, akan menunaikan kewajibannya pada Januari 2005.
Masuknya Telekom Malaysia ke XL, kata dia, sebagai bagian dari strategi perusahaan milik pemerintah Malaysia untuk menjadi perusahaan regional. “Selain membeli saham XL, Telekom Malaysia malam ini (kemarin,red) juga akan menandatangani pembelian saham perusahaan seluler di India,” jelas dia.
Selain di India dan Indonesia, Telekom Malaysia juga telah menanamkan investasi di negara Asia lainnya. “Di Kamboja, Telekom Malaysia memiliki saham di perusahaan seluler nomor tiga di negara tersebut. Di Bangladesh dan Srilanka, masing-masing di perusahaan nomor dua dan nomor satu,” jelas Junardi.
Minat Telekom Malaysia memasuki bisnis seluler di Indonesia tergolong cukup ‘menggebu’. Sebelumnya, perusahaan tersebut telah mencoba masuk ke PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) dan PT Indosat Tbk. Namun, persaingan dimenangkan oleh Singtel yang akhirnya menguasai 35% saham Telkomsel dan STTC Singapore yang berhasil membeli 49,41% saham Indosat senilai Rp 1,4 triliun.
Dalam siaran pers yang diterima Investor Daily, Kamis, Tan Sri Dato’ Radzi Mansor, Chairman Telekom Malaysia mengatakan, pihaknya juga berminat menjadi pemegang saham mayoritas di XL pada tahun 2005. Transaksi ini akan melengkapi rencana XL untuk melakukan penawaran publik pada semester pertama 2005.
“Ini jelas sebagai transaksi akuisisi dan merupakan bagian dari strategi kami dalam mendapatkan aset seluler pasar yang penetrasinya masih rendah. Indonesia merupakan kawasan ekonomi Asean yang punya potensi pasar cukup besar di masa yang akan datang,” katanya.
Sementara itu, CEO Grup Telekom Malaysia Dato’ Abdul Wahid Omar mengatakan, visi dan strategi perseroan adalah membantu meningkatkan posisi XL di pasar Indonesia dan membuat XL menjadi kontributor pokok terhadap pertumbuhan Telekom Malaysia ke depan. “Posisi kami sebagai pemimpin pasar Malaysia dikombinasikan dengan pengalaman luas sebagai investor regional akan bermanfaat bagi XL,” ungkap dia.
Pasar seluler Indonesia cukup memikat bagi investor asing. Hingga akhir tahun 2004, pengguna seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 27 juta orang. “Tahun depan, pengguna seluler diprediksi mencapai 10 juta orang,” tutur Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Rudiantara. Hingga akhir September 2004, pasar seluler dikuasai oleh tiga perusahaan, Telkomsel memiliki 13,7 juta pelanggan, Indosat sebanyak 8,97 juta dan Excelcomindo sebanyak 4,2 juta.
Rudiantara yang juga menjadi direktur XL mengatakan, kehadiran Telekom Malaysia akan meningkatkan kemampuan investasi perusahaan. "Tahun 2005, perusahaan membutuhkan modal kerja (capex) sekitar US$ 200 juta,” kata dia.
Menurut dia, perusahaan yang bergerak di bidang operator seluler saat ini tidak lagi bisa menunda-nunda ekspansi.
Pesaing XL, yakni Indosat dan Telkomsel, masing-masing bakal mengeluarkan capex sekitar US$ 500 juta dan US$ 600 juta pada tahun 2005. Keduanya, berancang-ancang merebut pelanggan baru. Telkomsel menargetkan 6 juta pelanggan baru sehingga total pelanggan tahun 2005 menjadi sekitar 21,3 juta. Indosat mematok target pertumbuhan hampir sama dengan 2004, yakni 4 juta pelanggan baru sehingga total pelanggan menjadi sekitar 13 juta.
Di tempat terpisah, CEO Rajawali Grup Peter Sondakh mengatakan, “Kami sangat gembira mendapatkan Telekom Malaysia sebagai partner baru dan berpartisipasi dalam meningkatkan pertumbuhan XL yang terus menerus.”

Perbaiki Kompetisi
Di tempat terpisah, pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan, iklim investasi untuk bisnis seluler di Indonesia dinilai masih cukup menarik. Masuknya investor asing diperkirakan akan menambah kecepatan penetrasi bisnis seluler di Indonesia. Industri seluler yang tahun 2004 ini diprediksikan memiliki 26-27 juta pelanggan diperkirakan masih akan mengalami pertumbuhan lebih cepat lagi. “Tahun 2005, saya kira pelanggan seluler bisa mencapai 40 juta,” kata Heru.
Selain itu, masuknya pemain asing diharapkan semakin memperbaiki iklim persaingan. (ed/tri)