Friday, March 03, 2006

Pekan Ini, DPU Bahas Penetapan Tarif Cipularang II

(Investor Daily, 21 Juni 2006)

Jakarta-Departemen Pekerjaan Umum (DPU) pekan ini membahas penetapan tarif tol Cipularang II.
“Penetapannya tergantung pak Menteri PU. Senin (20/6), hasil rekomendasi dari Tim Kelaikan yang terdiri dari DPU dan Departemen Perhubungan (Dephub) kita bahas bersama pak menteri,” jelas Direktur Sistem Jaringan Prasarana DPU Eduard P Pauner, kepada Investor Daily, di Jakarta, Senin (20/6). Menurut Eduard, Tim Kelaikan menyampaikan beberapa catatan. “Khususnya untuk safety (keamanan pengguna tol,red) di antaranya ada catatan untuk penambahan rambu-rambu di beberapa ruas tol tersebut,” tutur dia.
Saat ditanya apakah penetapan tarif akan dilakukan pekan ini, Eduard mengatakan, “Pak Menteri inginnya secepat mungkin ditetapkan. Tergantung pembahasan hari ini,” katanya.
Kantor berita Antara melaporkan, Menteri PU hingga kini belum juga menetapkan tarif Tol Cipularang II karena masih terdapat ruas yang masih diperbaiki akibat amblas di kilometer 92 yang digarap PT Adhi Karya. Karena dianggap belum aman betul maka status dari tol tersebut masih uji coba, kata Eduard menjelaskan. Menurut Eduard, meskipun PT Jasa Marga dan Adhi Karya telah memperbaiki ruas yang amblas tersebut, tetapi perbaikan itu masih harus mendapat rekomendasi dari tim pemantau yang akan disampaikan pekan ini. Apabila tim tersebut merekomendasikan sudah memenuhi standar kelaikan jalan serta sudah aman untuk dilalui, dan seluruh ruas direkomendasikan sama maka dalam waktu dekat kebijakan tarif harus sudah dikeluarkan. PT Jasa Marga mengusulkan besaran tarif tol Cipularang II sebesar Rp 355 per kilometer.
Sementara itu, mengenai rencana kenaikan tol dalam kota, Eduard menjelaskan, akan dibahas dalam pertemuan Senin. “Tol dalam kota juga dibahas hari ini, menteri minta disesuaikan tarifnya dengan inflasi,” kata dia.
Sebelum diumumkan kenaikkan tol tersebut, tambah Edurad, DPU akan menyosialisasikan nya terlebih dahulu. “Kenaikkan tarif tol tidak boleh mendadak,” katanya.
Penyelesaian JORRMengenai penyelesaian lahan di Cikunir Bekasi yang menjadi bagian ruas Jalan Lingkar Luar Jakarta (JORR), Eduard mengatakan, telah menerima rekomendasi yang dikeluarkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Rekomendasi berdasarkan zoning itu nantinya dapat dipergunakan sebagai pegangan selanjutnya (second opinion) dalam proses pembebasan lahan, sementara ini penanganan akan menggunakan Perpres 36 tahun 2005. "Sekarang wewenangnya berada di Panitia Pembebasan Tanah (P2T) yang di Ketuai Walikota Bekasi. Dalam rekomendasi itu belum bicara harga tetapi kita akan memakai tata cara pengadaan lahan sesuai Perpres," kata Eduard.

Tol Balikpapan-Samarinda
Sementara itu, rencana Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim) membangun tol Balikpapan-Samarinda-Bontang (Basabo) dinilai sangat tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Kaltim ke depan. "Dengan adanya jalan tolnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi di tiga daerah itu seperti akan memacu daerah pertumbuhan baru termasuk akan lahirnya kawasan industri pada kawasan yang dilintasi," kata pemerhati masalah ekonomi Kaltim Zamaruddin Hasid, di Samarinda, Senin. Zamaruddin yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman mengatakan, rencana pembangunan jalan Basabo akan mempercepat program pengembangan ekonomi Kaltim yang lain. Misalnya mendukung Kapet Sasamba (Kawasan Pengembangan Samarinda-Sangasanga-Muara Jawa-Balikpapan) yang selama ini terkesan pengembangannya jalan di tempat. "Kita tahu bahu jalan adalah urat nadi perekonomian, sehingga adanya akses jalan cepat untuk menggairahkan pertumbuhan ekonomi di tiga kota yang saat ini mulai menunjukan kemajuan luar biasa," katanya. Dengan Basabo itu, maka jarak tempuh perjalanan Balikpapan-Samarinda-Bontang yang sebelumnya sekitar 4,5 jam akan bisa ditempuh hanya sekitar tiga jam. "Kita harus berpikir tentang kebutuhan untuk 10-20 tahun ke depan dan jangan melihat kondisi sekarang, sehingga wajar jika pembangunan jalan tersebut perlu diprioritaskan meskipun dana pembangunannya cukup besar yakni sekitar Rp 5,2 triliun," ujarnya. (ed)

Pentingnya Pembangunan Telepon Perdesaan

(Investor Daily, 22 Juni 2005)

“Operator yang tidak mau bantu atau tidak mau mendukung program kewajiban pelayanan universal (Universal Service Obligation/USO) akan kita cabut izinnya.”
Pernyataan lugas itu diutarakan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, saat meresmikan penggunaan telepon perdesaan program USO di desa Tompo, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu (1/5).
Pernyataan itu tentu tidak main-main. Maklum, kini ada sekitar 43 ribu desa yang belum memiliki jaringan telepon. Dari sekitar 213 juta penduduk Indonesia, hanya ada sekitar sembilan juta satuan sambungan telepon (SST) telepon kabel, sekitar 3,5 juta SST telepon mobilitas terbatas (fixed wireless access/FWA) berteknologi code division multi access (CDMA), dan sekitar 30-an juta pengguna telepon seluler global system for mobile (GSM). Total pengguna tersebut, bukan berarti mencerminkan jumlah penduduk Indonesia yang memiliki telepon. Pertama, karena pemilik line telepon juga sekaligus pemilik nomor seluler. Kedua, satu orang bisa memiliki lebih dari satu nomor telepon seluler. Ketiga, pemilik seluler cenderung juga memiliki telepon CDMA karena tarifnya lebih murah dibandingkan telepon seluler.
Praktis, penyebaran jumlah SST akan sangat membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian rakyatnya. Menurut Aburizal, yang juga pemilik bisnis telepon FWA lewat PT Bakrie Telecom, setiap pertumbuhan 1% pengguna telepon akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi sebesar 3%.
Lantas, bagaimana peran pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan telepon di perdesaan? Menurut Aburizal, program telekomunikasi perdesaan terkait dengan upaya pemerintah membangun desa-desa dengan konsep agropolitan. Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kedakyatan, berkelanjutan dan transedentasi. Apalgi, sesuai kesepakatan dengan International Telecommunication Union (ITU), seluruh desa minimal harus memiliki satu SST pada tahun 2015.
Tapi, sejauhmana upaya membangun telepon perdesaan? Jika mengacu data Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), angka penyebaran telepon di perdesaan masih amat minim. Tahun 2003, pemerintah hanya mampu membangun 3.010 SST dengan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 45 miliar. Dari 3.010 SST itu tersebar di Sumatera (1.009 SST), Kalimantan (573 SST), kawasan timur Indonesia/KTI (1.388 SST), dan Jawa-Banten (40 SST). Teknologi yang digunakan pada proyek USO 2003 hanya dua jenis yakni portable fixed satellite (PFS)sebanyak 2.975 SST dan 35 SST menggunakan teknologi VSAT(very small aperture terminal).
Sedangkan pada 2004, hanya membangun 2.620 SST di 2.341 desa yang menghabiskan dana Rp 45 miliar. Teknologi yang digunakan diperluas, selain PFS dan VSAT juga teknologi radio, seluler, dan IP based.
Tahun 2005, kondisinya bisa mengenaskan. Pasalnya, dana yang dialokasikan hanya sekitar Rp 5 miliar. Dana sebesar itu hanya cukup untuk biaya perawatan fasilitas telepon yang sudah dibangun selama ini.
Saat ini, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) selaku institusi yang menaungi pembangunan telepon berharap, rancangan peraturan pemerintah (RPP) untuk memungut 0,75% pendapatan kotor operator telepon untuk program USO, segera ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Beberapa operator mengaku tidak keberatan jika pemerintah memang akhirnya memberlakukan aturan tersebut. Seandainya pendapatan kotor seluruh operator telepon pada tahun ini mencapai sekitar Rp 50 triliun, bisa dibayangkan, berapa SST yang bisa dibangun di 43 ribu desa.
Pelaksana pembangunan fasilitas telepon (fastel) USO ditentukan melalui tender. Pada 2004, selain PT Citra Sari Makmur (CSM), PT Mandara Seluler dan PT Pasifik Satelit Nusantara, pelaksana pembangunan fastel USO adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). CSM menggunakan teknologi VSAT. Sedangkan Telkom yang membangun di wilayah terisolir di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menggunakan teknologi fixed line. PSN menggunakan IP (internet protocol) base dan portable fixed satellite (PFS). Sedangkan Mandara dengan teknologi seluler membangun fastel seluler di wilayah Lampung.
PSN membangun fastel di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Menurut Dirut PSN Adi R Adiwoso, telepon perdesaan berbasis internet protocol (IP) merupakan pertama kali di Indonesia. PSN membangun 288 SST di sembilan desa yang tersebar di Kecamatan Soppeng, Balusu dan Barru, Kabupaten Barru yang umumnya akan dikembangkan menjadi desa agropolitan. Sistem telekomunikasi berbasis IP itu merupakan konsep jaringan telekomunikasi yang mudah dalam pembangunan dan pengoperasiannya, namun sangat efisien sehingga cocok diterapkan di perdesaan.Meski pemerintah mengaku belum ada target membangun fastel USO pada 2005, namun dua operator, yakni Telkom dan PT Telkomsel diketahui bersedia mengikuti tender.
Saat ini, Telkomsel terus agresif membangun jaringan hingga ke pelosok kecamatan. Operator yang telah memiliki pelanggan hingga 20 juta itu, bahkan menargetkan pada 2006 menjangkau 100% ibukota kecamatan (IKC). Kini, anak usaha Telkom itu telah menjangkau 55% kecamatan yang ada di Tanah Air.
Sedangkan Telkom, semestinya bisa lebih besar lagi membangun fastel di perdesaan. Selain membangun telepon kabel untuk pelanggan, Telkom juga membangun telepon umum -- termasuk untuk warung telekomunikasi (wartel). Pada 2000, sambungan telepon untuk pelanggan baru tercatat 7,668 juta dan setahun kemudian menjadi 8,041 juta SST. Terus bertambah menjadi 8,400 juta pada 2002. Namun, pada 2003 hanya meningkat menjadi 9,558 juta. Ternyata, Telkom mengalokasikan pembangunan FWA Telkom Flexi sebagai alternatif telepon kabel, hingga kini telah mencapai tiga juta pelanggan. Sehingga total telah mencapai sekitar 12,5 juta SST. Tahun 2005, Telkom berniat membangun 500 ribu SST.
Sementara itu, telepon umum termasuk wartel, angkanya juga terus membumbung. Jika pada 1999 baru 269.242 SST, setahun kemudian naik menjadi 345.307 SST. Demikian juga pada tahun-tahun berikutnya, 2001 (382.664 SST), 2002(402.869 SST), dan 2003 (407.790 SST).
Dengan pendapatan sekitar Rp 33,947 triliun pada 2004 --meningkat dari Rp 27,115 triliun pada 2003, Telkom sebagai flag carrier telecommunication seyogyanya mampu menerobos daerah terisolir sebagaimana dilakukan selama ini. Harapan Menko Perekonomian agar operator-operator telepon yang sudah banyak meraih keuntungan dalam bisnis telekomunikasi untuk memberi subsidi silang untuk telepon perdesaan, sudah selayaknya direspons positif oleh manajemen Telkom. Bahkan, oleh seluruh operator lainnya yang notabene sebagian besar sahamnya digenggam investor asing. (edo rusyanto)