Sunday, June 27, 2004

Industri Rokok Pasca PP 38/2000: (2)

Menanti Lembaga Pengkajian Rokok

KEHADIRAN Lembaga Pengkajian Rokok (LPR) mau tidak mau akan mewarnai industri rokok di tanah air. Tentu saja sekaligus menjadi wasit bagi peredaran rokok impor.
Apa dan bagaimana sebenarnya LPR itu? Ada baiknya kita buka Peraturan Pemerintah (PP) No.81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, sekaligus revisinya PP 38/2000.
Pasal 39 (ayat 2), PP 38/2000 menyebutkan; setiap orang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan buatan tangan yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 7 tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan 10 tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan tangan. Sementara ayat 3, pasal yang sama menegaskan, bahwa untuk pelaksanaan ketentuan tersebut dibentuk Lembaga Pengkajian Rokok yang merupakan Lembaga Non Pemerintah yang independen yang keanggotaannya terdiri dari wakil unsur Pemerintah, wakil organisasi profesi, pakar bidang rokok, wakil industri rokok, dan unsur lain yang terkait yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
“Tugas lembaga ini adalah melakukan kajian terhadap semua aspek yang berkaitan dengan industri rokok. Dari mulai aspek ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan, misalnya dalam hal penayangan iklan, kadar tar dan nikotin dan lain-lain,” Kepala Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) Depkes RI, Sampurno.
Utamanya adalah mengawasi para produsen apakah sudah menjalankan PP 81/1999 dan PP 38/2000 atau belum. Bisa dikatakan LPR akan berperan sebagai “anjing penjaga” (watch dog).
Sampurno melanjutkan, para produsen rokok sebenarnya sudah menjalankan sebagian kecil dari PP 81/1999 dan PP 38/2000 itu. “Dalam hal pengaturan penayangan iklan. Saya rasa ini sudah berjalan dengan bagus. Coba anda lihat iklan rokok di TV kan tidak memperlihatkan orang merokok dan ditayangkan diatas jam 9 malam,”ujarnya menghibur.
Selain itu, hampir semua rokok juga sudah mencantumkan peringatan bahaya merokok di setiap bungkus. Tapi sayangnya, sambung dia, masih banyak produsen rokok yang belum mencantumkan kadar tar dan nikotin yang terkandung dalam setiap batang rokoknya. “Kelihatannya mereka menunggu sampai batas waktu ketentuan kandungan tar dan nikotin, untuk SKM pada tahun 2007 dan SKT pada tahun 2010,”ulasnya. Kalau produsen mempunyai good will, sambung dia, seharusnya mulai sekarang dicantumkan kadarnya pada masa transisi sekarang ini.

* * *
Rencana pemerintah ini menimbulkan berbagai tanggapan dari para produsen rokok walaupun mereka mengaku tidak keberatan dengan pendirian LPR. Tak kurang Komisaris PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), Ekadharmajanto Kasih pun berkomentar. Ketika ditemui Investor Indonesia usai RUPS perseroan di Jakarta, beberapa waktu lalu, Eka mengatakan, pihaknya tidak keberatan jika LPR ini dibentuk asalkan bekerja secara obyektif. “Dalam lembaga tersebut kami akan menunjuk orang Gappri (Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Indonesia) yang akan duduk disana mewakili kami para produsen,”katanya.
Pendapat senada dikatakan Direktur Penjualan PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), Sun Alexander Yapeter, akhir Juni lalu. “Kami dan mungkin produsen rokok yang lain sebenarnya sepakat saja jika pemerintah ingin mendirikan LPR karena itu merupakan amanat dari PP 81/1999 dan PP 38/2000. Tapi lembaga ini harus berperan secara proporsional. Yang saya lihat yang akan banyak berperan dalam lembaga ini adalah Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan, red), padahal BPOM merupakan prime mover dalam pembentukan PP tersebut. Dengan demikian lembaga ini tidak akan dapat bekerja secara proporsional. Kami menginginkan agar yang berperan banyak di dalam LPR adalah Menperindag,”katanya.
Sampurno menambahkan, terdapat kemungkinan ke depannya arah LPR akan melakukan tekanan kepada produsen rokok untuk mau menginternalisasikan biaya eksternal mereka.
Harapannya, produsen rokok jangan hanya mengeruk keuntungan saja dari masyarakat melainkan juga bertanggung jawab terhadap risiko gangguan kesehatan yang bakal diderita masyarakat akibat merokok. Produsen tersebut seharusnya menyisihkan sebagian dari keuntungannya untuk dikembalikan kembali ke masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab si produsen.
Namun rasanya upaya internalisasi biaya eksternal tersebut nantinya akan menemui banyak kendala, pasalnya sebagian besar produsen menolak mentah-mentah menyisihkan keuntungannya.
“Kita ini tiap tahun bayar cukai kepada negara. Nah, cukai yang kita bayar itu saja digunakan untuk membiayai kerugian kesehatan yang diderita masyarakat akibat merokok. Dan, Depkes harus berkoodinasi dengan Depkeu dalam pembagiannya. Jangan kami disuruh mengeluarkan uang lagi. Cukai itu saya rasa sudah mewakili tanggung jawab kita,”papar Ekadharmajanto. Dia menambahkan, cukai yang dibayarkan produsen rokok itu masuk sebagai pos penerimaan negara dalam APBN. Dan sudah sepatutnya APBN itu digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Tanpa bermaksud memihak produsen rokok, pada kenyataannya cukai memang merupakan komponen biaya produsen rokok yang cukup besar. Contohya RMBA. Produsen yang terkenal dengan rokok Star Mild ini mengaku pengeluaran pita cukai selama 2001 merupakan 65 persen dari cost of good sold perseroan. Dan cost of good sold itu sendiri merupakan 75 persen dari total sales. Kalau dihitung maka sekitar 48 persen dari pendapatan perseroan dipakai untuk membayar cukai rokok. “Kalau dilihat sebenarnya pemegang saham terbesar pada industri rokok adalah pemerintah, karena setengah dari pendapatan yang diperoleh produsen rokok masuk ke kas negara,”tandas Direktur Keuangan RMBA, Henry Komala.
Sementara itu menurut Direktur PT Gudang Garam Tbk (GGRM), Heru Budiman, pihaknya tidak keberatan terhadap pembentukan LPR ini, hanya saja waktunya mesti tepat. “Saya boleh mengibaratkan kita ini mau bikin rumah dengan seideal mungkin, ya dengan atap kayu jati yang bagus dan dengan dinding tembok bercat dan berhias yang indah, pokoknya sesuai dengan keinginan kita. Tapi, kalau memang saat ini kita belum siap kayu atau apa saja yang diperlukan untuk membuat rumah ideal tersebut, karena belum ada dana, masak kita paksakan, misalnya bikin tembok dulu atapnya belakangan. Kalau begini bagaimana dengan anak-anak kita, apa hanya karena mau ideal lantas kita abaikan begitu saja,”ujarnya.

* * *
Sepanjang tahun ini sudah beberapakali dilakukan pertemuan antara produsen, BPOM dan departemen terkait, seperti deperindag guna membahas pendirian LPR.
“Kita sedang membentuk LPR dan sedang menetapkan siapa saja yang akan duduk di sana mewakili setiap elemen,” ujar Sampurno.
Banyak kalangan berharap LPR mampu menjadi lembaga yang independen dan mendukung ke arah makin sehatnya masyarakat tanpa asap rokok. Kita tunggu saja. (aga nugraha/edo rusyanto)

Saturday, June 26, 2004

Industri Rokok Pasca PP 38/2000: (1)

Sang Uzur Bergeser ke SKM Mild

Industri rokok sudah uzur (sunset industry) karena mengganggu kesehatan!

Sepenggal kalimat Sekretaris Utama Badan Pengawasan Obat dan Makanan (B-POM), Mawarwati Djamaluddin, pertengahan Juni lalu di Jakarta itu, sempat menyentak pelaku industri rokok.
Ismanu Soemiran, ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), bahkan buru-buru menyanggah dengan tegas kalau industri linting melinting tembakau dan cengkeh itu jauh dari sunset. Ia menyodorkan fakta-fakta sepanjang tahun lalu dimana penjualan industri tersebut mencapai Rp 89 triliun, sedangkan rokok kretek menguasai 90 persen dari nilai tersebut. Di sisi lain, tahun lalu dari sekitar Rp 17 triliun penerimaan cukai, nyaris 90 persennya disumbang industri rokok. Dari sisi ini, dahsyat memang!
Kembali pada soal kesehatan dan industri rokok. Menyusul implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 81/1999 tentang Pengamanan Merokok Bagi Kesehatan maupun PP 38/2000 yang merevisi PP 81/1999, para produsen saat ini selain memikirkan bisnisnya, juga diminta memberikan informasi kadar tar dan nikotin pada kemasan rokok yang mereka pasarkan. Tapi apa yang terjadi di lapangan? “Kami sejak tahun 2000 mencantumkan label peringatan bahaya merokok pada setiap kemasan produk kami,” ujar ujar Dhammika Premarathna, Kepala Operasi PT BAT Indonesia Tbk (BATI), kepada Investor Indonesia, belum lama ini di Cirebon, Jawa Barat.
Artinya, bahwa peringatan "Merokok dapat menyebabkan kanker serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin," baru dicantumkan setelah produsen tersebut jauh mengeruk keuntungan dari Indonesia. Maklum, produsen ini telah 85 tahun beroperasi di Indonesia.
Bagaimana dengan produsen raksasa lainnya? Tidak jauh berbeda dengan BATI, PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) dan PT Djarum. Mereka juga baru mencantumkan peringatan bahaya merokok pasca keluarnya kedua PP di atas.
Padahal, pencantuman kandungan tar dan nikotin tersebut bukan berarti setiap batang rokok yang mereka produksi harus hanya mengandung nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg. Pencantuman hanya menyebutkan berapa besar kandungan tar dan nikotin rokok mereka. Soal ketentuan kandungan nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg itu sendiri baru berlaku paling lambat 2 tahun semenjak PP tersebut dikeluarkan. Tapi itu bagi rokok putih. Bagi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek tangan (SKT) lebih lama lagi, masing-masing 7 dan 10 tahun.
Substansi PP tersebut berkorelasi erat dengan gerakan badan kesehatan dunia (WHO) atau yang dikenal Framework Convention Tobacco Control (FCTC). Diantaranya soal larangan iklan dan promosi rokok, pembahasan perdagangan internasional, desain dan pencantuman label kesehatan standard pada bungkus rokok (ditambah gambar). Lainnya adalah soal keharusan menjelaskan ramuan isi rokok dan penyeragaman cukai rokok di seluruh dunia.
Sebagaimana diketahui, kegiatan WHO itu melibatkan Tobacco Free Initiative (TFI) yang bertindak sebagai juru bicara ke seluruh dunia lewat kerja sama dengan LSM antirokok. Gerakan ini sedikitnya diikuti 191 negara, mulai dari Australia, negara-negara Eropa, Asia, Afrika dan AS. Tentunya termasuk Indonesia.
Melihat trend global seperti demikian, industri rokok sebenarnya tidak perlu sungkan mencantumkan kandungan rokok yang kita tahu memiliki sedikitnya sekitar 400 zat kimia. Apalagi, seperti dituturkan Heru Budiman, direktur GGRM, bicara soal kesehatan bukan hanya persoalan rokok. “Sekalipun aturan rendah tar dan nikotin itu diterapin apakah bisa menjamin masyarakat sehat,” ujarnya pertengahan Juni lalu kepada Investor Indonesia.
Walau demikian, ia mengakui bahwa PP di atas akan berdampak terhadap kinerja industri rokok. Menurutnya, bukan hanya GGRM yang produksinya 87 persen SKM dan 13 persen SKT, tapi juga seluruh perusahaan rokok kretek baik yang berskala besar maupun kecil merasa ketir-ketir dengan kebijakan itu. “Kami sendiri masih mencoba otak-atik dan belum memahami dengan kebijakan itu. Begini, ini bukan karena saya defensif, sehingga harus mengatakan bahwa kalau diterapin (peraturan pemerintah, red) sekarang, apakah perusahaan rokok terutama yang memproduksi rokok kretek bisa jalan,” katanya.

* * *
Kalau melihat kinerja tiga tahun terakhir 4 emiten rokok di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pernyataan itu agak sedikit terbantahkan. Mereka justru membukukan peningkatan penjualan. Lihat saja data-data ini. Tahun 1999 total penjualan bersih RMBA, HMSP, BATI dan GGRM baru sekitar Rp 21,170 triliun. Namun setahun kemudian meningkat menjadi Rp 28,067 triliun, dan terus meningkat menjadi Rp 36, 623 triliun pada tahun 2001. Maklum kini terdapat sedikitnya 42 juta perokok di tanah air.
Lewat segala aturannya, PP 81/1999 maupun PP 38/2000 sebenarnya mendorong para produsen untuk lebih cerdik lagi mengintip ceruk pasar. “Kami akan lebih fokus ke rokok kadar tar dan nikotin rendah yaitu rokok mild, tahun-tahun mendatang kalau bisa kami ingin menggeser pemain utama mild,” YW Junardi, presiden direktur RMBA.
Tidak heran kalau di pasaran kita melihat merk-merk rokok mild bertebaran. Diantaranya A-mild dan Millenium (HMSP). Wismilak dengan Wismilak Slim, Djarum dengan LA Light, dan RMBA dengan Star Mild dan Bentoel Mild. Belakangan raksasa rokok kretek, GGRM, merogoh koceknya senilai Rp 784 miliar guna membeli aset berupa tanah, bangunan dan mesin milik PT Karyadibya Mahardika, di Pandaan, Jatim untuk meluncurkan rokok mild. Rencananya bulan depan merk rokok yang diproduksi 13 miliar batang per tahun itu akan diluncurkan ke publik.

* * *
Berdasarkan riset RMBA dan Gappri, sepanjang tiga puluh tahun terakhir terjadi pergeseran siginifikan menuju rokok kadar tar dan nikotin rendah atau rokok mild. Jika pada tahun 1970 komposisi pasar rokok terdiri dari 55 persen rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) dan 45 persen SKM. Maka tahun 2000 komposisi pasar berubah menjadi 11 persen SPM, 37 persen SKT, 44 persen SKM reguler dan 8 persen SKM Mild.
Setahun kemudian SKM Mild bertambah menjadi 9 persen, sedangkan SKM Reguler justru menyusut menjadi 41 persen.
Hingga triwulan pertama tahun ini, kondisi berubah kembali. SKM Mild melesat menjadi 10 persen, SPM bangkit menjadi 13 persen, SKT turun menjadi 38 persen dan SKM reguler 39 persen.
Sekedar informasi, sejak tahun 1970 hingga 1999 pertumbuhan volume produksi rokok terus meroket, paling sedikit dalam satu dekade tumbuh 47 persen. Peningkatan paling tinggi sepanjang kurun waktu 1970-1980 yakni mencapai 159 persen, dari 33 miliar batang menjadi 84 miliar batang. Kemudian merosot angka pertumbuhannya hanya menjadi 67 persen pada dekade 1980-1990 menjadi 141 miliar batang. Selama 1990-1999 kenaikannya mengecil hanya 47 persen menjadi 208 miliar batang. Tahun ini diperkirakan mencapai 220-an miliar batang akan diproduksi oleh sekitar 700-an produsen rokok di tanah air.
Seiring trend global dan kesadaran publik untuk menekan risiko ancaman kesehatan akibat merokok, pilihan kepada rokok mild dengan kadar nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg tentu saja menguntungkan para produsen.
Tapi tunggu dulu. Sejauhmana tingkat keamanan merokok mild bagi kesehatan? Akhir November tahun lalu Institut Kanker Nasional Amerika Serikat, menyatakan kebiasaan menghisap rokok dengan nikotin dan tar yang lebih ringan ini hanyalah sebuah ilusi yang tidak menyelesaikan masalah tingginya risiko dan angka kematian akibat merokok.
David Burns dari Universitas California di San Diego dan Dr Neal Benowitz dari Universitas California di San Francisco, bahkan menyebutkan penggunaan produk mild secara luas tetap tidak bisa mencegah laju peningkatan kasus dan risiko kanker paru-paru di antara para perokok.
Menilik PP 81/1999, pemantauan mengenai kandungan tar dan nikotin terhadap rokok yang beredar di Indonesia, mau tidak mau mesti lewat sebuah lembaga yang disebut Lembaga Pengkajian Rokok (LPR). Tugasnya memang bukan hanya itu. LPR sesuai PP tersebut juga memantau bagaimana para produsen mengiklankan dan memasarkan produknya. (edorusyanto)