Tuesday, September 21, 2004

Persaingan Bisnis Seluler

Menggaet Konsumen Lewat Prabayar Murah

Oleh: Edo Rusyanto *)

“BU ini nomor hp saya. Ibu telepon aja kalau mau dijemput,” tutur Amin (35 tahun), tukang ojek di Jakarta Timur, kepada penumpangnya. “Nanti jam tiga sore jemput ya,” kata sang ibu seraya memasukan secarik kertas bertuliskan nomor hp Amin ke dalam sakunya.
Pemadangan seperti di atas barangkali masih tergolong langka pada lima atau sepuluh tahun lalu. Bahkan, untuk kota sebesar Jakarta.
Kini, pemandangan seperti itu makin meluas. Tukang kredit yang keluar masuk kampung, tukang parkir di pusat pertokoan hingga tukang ojek, memanfaatkan teknologi Global Mobile System (GSM) guna memuluskan pekerjaan mereka. Setidaknya, untuk berkomunikasi dengan keluarga.
Menurut praktisi bisnis telepon seluler, tahun ini pengguna telepon seluler akan mencapai 28-29 juta. Dan, tahun 2005, diperkirakan meningkat lagi menjadi sekitar 36-37 juta.
Jargon iklan perusahaan seluler terus membombardir benak calon konsumen dan konsumen seluler. Media televisi menjadi ujung tombak paling tajam menancapkan citra, produk seluler murah dan sudah pasti terjangkau berbagai kalangan. “Kita lihat sekarang, tukang ojek saja sudah menggunakan telepon seluler. Kita ingin menggarap pasar segmen bawah,” tutur Kusnadi Sukarja, direktur penjualan dan pemasaran PT Excelcomindo Pratama (XL), kepada Investor Daily.
Tak heran jika XL meluncurkan produk pra bayar murah Bebas dan Jempol. Keduanya memasang harga bandrol Rp 20 ribu. Namun, di pasaran harganya bias berbeda. Ada yang menjualnya sesuai bandrol namun ada juga yang menjual dengan harga Rp 40 ribu. Hingga tulisan ini diturunkan, sedikitnya XL telah meluncurkan 800 ribu kartu Bebas dan Jempol.
Kusnadi meyakini, kedua produk XL tersebut mampu bersaing di pasar telepon seluler.
XL adalah satu dari tiga pemain seluler utama di Indonesia. Dua lainnya, PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) dan PT Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat) juga gencar menyodok segmen bawah.
Telkomsel sejak 24 Mei 2004 menggempur pasar seluler segemen bawah dengan produk prabayar Kartu As, walau sebelumnya memiliki Hoki. Lewat promosi yang gencar, Kartu As yang dibandrol Rp 25 ribu itu, hingga akhir Agustus 2004 telah mengantongi sedikitnya satu juta pelanggan. “Rata-rata penambahan pelanggan Kartu As mencapai lebih dari 300 ribu setiap bulannya,” kata Azis Fuedi, GM Corporate Communication Telkomsel.
Kartu As memiliki skema satu tarif (flat tariff) di seluruh Indonesia, yakni hubungan sesama pelanggan kartu As dari Sabang sampai Merauke sebesar Rp 1.100 per menit (setelah pajak). Sedangkan untuk menghubungi pelanggan Telkomsel lainnya (kartuHALO atau simPATI) Rp 1.760 (setelah pajak).
Bagaimana dengan Indosat? Perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki STT, Singapura itu, memiliki beberapa produk seluler yang ditujukan untuk segmen bawah. “Kita memiliki Mentari yang harga perdananya 25 ribu dan IM3 yang harga perdananya 20 ribu,” jelas Hasnul Suhaimi, direktur pemasaran seluler Indosat, baru-baru ini, di Jakarta.
Indosat juga terus ekspansi guna meraih pelanggan lebih banyak.

Pelanggan Prabayar
Babak baru persaingan bisnis telepon seluler mulai terasa saat persaingan kartu perdana prabayar yang dijual dengan harga di bawah Rp 50 ribu.
Saat ini citra yang muncul di kalangan masyarakat, telepon seluler tergolong alat komunikasi yang murah. Dengan mengeluarkan uang antara Rp 20 hingga Rp 40 ribu, konsumen telah mendapatkan nomor seluler. Prosedurnya juga tidak rumit. Cukup mendatangi toko penjualan kartu seluler, dan tentunya harus memiliki handset seluler, bayar sejumlah di atas, beres. Tentu saja, itu untuk produk prabayar. Sedangkan untuk produk pasca bayar, calon konsumen tetap diharuskan mengisi sejumlah formulir dan menunggu beberapa jam, bahkan bisa satu hari, untuk aktivasi.
Kartu seluler prabayar menjadi pilihan masyarakat. Ini terlihat dari data masing-masing operator telepon seluler. “Dari 8,6 juta pelanggan Indosat hingga akhir Juli 2004, sekitar 8,1 juta merupakan pengguna kartu pra bayar Mentari dan IM3,” kata Hasnul.
Demikian juga dengan Telkomsel dan XL. “Lebih dari 90 persen, pelanggan kita adalah pelanggan prabayar,” tutur Kusnadi, seraya menambahkan, hingga akhir Juli 2004 XL telah mengantongi sedikitnya 3,7 juta pelanggan, dan akan menjadi sekitar 4,5 juta hingga akhir tahun 2004.

Belanja Modal Kerja
Besarnya penduduk Indonesia, sekitar 219 juta, membuat operator seluler harus memperkuat cengkeramannya di seantero Nusantara. Pelayanan secara teknis harus mampu memberikan sinyal yang kuat di seluruh Indonesia. Sehingga tidak ada daerah yang terlewatkan. Untuk mencapai hal itu, memang diakui belum dapat dilakukan oleh ketiga operator yang ada.
“Kita memang slogannya sinyal kuat Indosat, kita terus berupaya membangun jaringan dan memperkuat sinyal di daerah yang sudah terjangkau Indosat,” tutur Hasnul.
Untuk itu, Indosat merogoh kocek hingga sekitar US$ 500 juta pada tahun 2004. Sebagian besar untuk infrastruktur jaringan.
Operator lainnya, yakni Telkomsel yang menguasai sekitar 51% pangsa pasar seluler –setara dengan sekitar 11 juta pelanggan, menurut Bajoe Narbito, direktur utama Telkomsel, menganggarkan sekitar US$ 600 juta untuk belanja modal kerja (capital expenditure/capex) tahun 2004.
Sedangkan XL, sepanjang tahun 2004 ini, menyiapkan sekitar US$ 150 juta modal kerja.

Tarif Tidak Murah
Meski harga kartu perdana prabayar relatif terjangkau kantong masyarakat. Sesungguhnya, dari sisi tarif, tidak bisa disebut murah, apalagi dibandingkan tarif telepon tetap.
Dengan menggunakan telepon seluler Bebas, pembicaraan untuk satu time unit ke PSTN (telepon kabel) lokal dikenai tarif Rp 875. Sedangkan tarif berbicara dengan operator seluler lainnya, untuk panggilan lokal, dikenai tarif Rp 1.750. Tarif bicara dengan jaringan XL, atau sesama Bebas dikenai sebesar Rp 1.600. Sedangkan tarif menghubungi Jempol, Rp 1.299 (peak) dan Rp 999 (offpeak).
Tarif lebih tinggi akan dirasakan konsumen jika menggunakan kartu prabayar Kartu As milik Telkomsel. Untuk panggilan lokal satu time unit ke PSTN, pengguna Kartu As dikenai biaya Rp 1.089. Biaya makin membesar jika menghubungi pengguna seluler. Panggilan ke operator seluler lain dikenai tarif Rp 2.090. Namun, biaya lebih kecil jika menghubungi pelanggan seluler produk Telkomsel, yakni Rp 1.760 (HaloSimpati) dan Rp 1.100 (Kartu As).
Bayangkan jika pembicaraan berlangsung belasan menit? Berapa rupiah yang harus keluar dari kocek konsumen.
Jadi, konsumen mesti cermat dalam berkomunikasi menggunakan seluler. Hingga kini, pendapatan terbesar para operator seluler masih berasal dari pendapatan pembicaraan (voice). Bagi konsumen, jika terlalu berat biaya berbicara, pilihan alternatif adalah memanfaatkan short message service (SMS). Dengan layanan tersebut, paling banter dikenai Rp 350 per SMS, bahkan ada operator yang berani memasang tarif Rp 299 per SMS. ***


*) Wartawan Investor Daily




Friday, September 17, 2004

Pemda Kesulitan Penentuan Tata Ruang Lahan

Jakarta – Pemerintah daerah (pemda) mengalami kesulitan menentukan tata ruang wilayah mengingat belum tegasnya pelaksanaan UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
“Hal itu termasuk dialami oleh pemerintah kota Pangkalpinang. Sekalipun sumber daya manusia pemda mampu melaksanakan penyusunan tataruang wilayah, namun karena masih terganjal empat keppres, kewenangan wajib pemda dalam pengelolaan lahan menjadi tidak efektif,” tutur Zulkarnain Karim, walikota Pangkal Pinang, saat ditemui di Jakarta, usai penjelasan soal sarasehan tanah nasional, kemarin (16/9).
“Keempat keppres tersebut, jelas dia, adalah keppres 10/2001, keppres 62/2001, keppres 203/2001 dan keppres 34/2003. Keppres tersebut menunda penyerahan pegawai dan peralatan BPN kepada pemda,” tukas Zulkarnain.
Kewenangan wajib pemda, kata Zulkarnain, menjadi mutlak mengingat sumber daya tanah merupakan aset penting dalam penentuan kawasan industri, perumahan, pertambangan dan sebagainya.
Salah satu faktor penting dalam penyusunan tataruang lahan dan pengelolaan tanah, jelas Zulkarnain, perlunya penyerahan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN), peralatan BPN dan instansi vertikalnya ke pemerintah daerah.
“Lalu dokumen-dokumen yang ada pada instansi BPN di kabupaten/kota atau provinsi diserahkan kepada kabupaten atau kota,” jelasnya.
Menurut dia, pemda saat ini tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan sertifikat tanah. Buntutnya, jelas Zulkarnain, pemkot Pangkalpinang kerap mendapat pertanyaan dari calon investor domestik maupun investor asing. “Banyak calon investor yang mempermasalahkan rumitnya soal pertanahan. Bahkan, banyak yang mengurungkan niatnya menanamkan investasi di Pangkalpinang,” kata dia. (ed)

Thursday, September 16, 2004

Integrasi Jaringan, Indosat Hemat Capex 20%

Jakarta – Pasca pengintegrasian jaringan seluler tahun 2003, dalam lima tahun ke depan, PT Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat) mampu menghemat 20% pengeluaran modal kerja (capital expenditure/capex).
“Sedangkan untuk biaya operasional kita bisa hemat sekitar 15 persen.Tahun-tahun pertama masih negatif, namun tahun kedua sudah break event point dan tahun-tahun selanjutnya hingga lima tahun, kita dapat menghemat biaya-biaya,” tukas Hasnul Suhaimi, direktur pemasaran seluler Indosat, saat dihubungi, semalam (15/9).
Menurut Hasnul, hingga pertengahan Agustus, Indosat telah merealisasikan sekitar 30% hingga 40% capex tahun 2004 Indosat. Tahun ini Indosat menyediakan capex sekitar US$ 650- US$ 700 juta, sekitar US$ 500 juta disediakan untuk pengembangan bisnis seluler.
Dengan adanya penghematan tersebut, lanjut Hasnul, penetrasi pasar guna menggaet pelanggan seluler dapat lebih luwes. Hasnul menegaskan, untuk tahun 2004 ini Indosat diharapkan mampu menambah jumlah pelanggan seluler hingga 3,5 juta pelanggan. “Tahun depan, dengan dana capex sekitar 500 juta dolar AS, kita harapkan ada tambahan sekitar 3,5 hingga 4 juta pelanggan baru,” jelas Hasnul.
Ia menuturkan, Indosat akan menerapkan upaya jemput bola. Indosat akan menjangkau pelanggan hingga ke pelosok kabupaten. Meski demikian, kata dia, tahun depan angka penggunaan pulsa rata-rata per pelanggan (ARPU) mau tidak mau akan terus menurun. “Tahun depan kita perkirakan akan turun sekitar 5 hingga 7 persen dari ARPU tahun 2004,” katanya.
Hasnul mengaku, Indosat juga terus menggandeng parnert perusahaan maupun perguruan tinggi, dalam penetrasi pasar. “Ini untuk meningkatkan pendapatan dari lini value added. Hingga kini kita telah ada kerjasama dengan sekitar 30 perusahaan, termasuk perguruan tinggi. Tahun depan kita akan terus membuka diri,” ungkap Hasnul.
Ia menjelaskan, saat ini kontribusi pendapatan dari layanan value added berkisar 3-4% terhadap total pendaptan seluler Indosat. “Yang dominan pendapatan dari voice yang mencapai sektiar 71% sedangkan dari sms sekitar 25%,” tutur Hasnul.

Sebelumnya Hasnul menegaskan, tahun 2005 Indosat mematok target kenaikan revenue seluler sekitar 25% dibandingkan tahun 2004.
Hingga 21 Agustus 2004, jumlah pelanggan seluler Indosat telah mencapai 8,6 juta. Jumlah tersebut telah mendekati target total pelanggan Indosat tahun 2004 yang diperkirakan mencapai 9 juta pelanggan. Dari 8,6 juta pelanggan Indosat, terang Hasnul, sebanyak 1,63 juta adalah pelanggan IM3 smart, 6,51 juta pelanggan mentari, 421 ribu pelanggan matrix dan bright 40 ribu. Ia menjelaskan, tahun ini total pelanggan seluler di Indonesia akan mencapai 28-29 juta pengguna. Tahun 2005, bisa meningkat lagi menjadi sekitar 36-37 juta. (ed)

Friday, September 10, 2004

Perry Tristianto, pemilik The Big Price Cut

‘Buat Sesuatu Yang Baru Agar Kebagian Kue’

“Factory outlet (FO) telah menjadi sebuah gejala di beberapa kota besar di Indonesia. Bandung, khususnya, telah memantapkan diri sebagai Kota FO. Namun, FO bukan saja merupakan gejala di bidang bisnis maupun fashion. Lebih dari itu, FO telah menjadi fenomena budaya.”


Penggalan pernyataan Hianly Muljadi, dalam tulisannya di situs Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (www.fib.ui.ac.id) di atas terasa masih aktual.
Siang itu, di gerai FO The Big Price Cut (TBPC) di Jalan Siliwangi, Bandung, berlalu lalang pembeli dari berbagai kalangan. Menilik mobil yang diparkir di halaman FO milik Perry Tristianto (44 tahun), para pengunjung tadi bukan dari kelas ekonomi bawah. Selain sedan mewah keluaran Eropa, terlihat juga mobil mengkilap keluaran Jepang.
Sesekali pembeli bertanya pada penjaga toko untuk dicarikan barang yang ingin dibelinya.
Situasi sejenis terlihat pula di FO lainnya seperti The Heritage, Rich & Famous, dan The Summit.
“Pemaknaan FO sedianya adalah tempat belanja bagi kelas menengah ke bawah yang ingin mendapatkan barang-barang bermerk, berupa barang-barang sisa ekspor, sehingga dianggap layak masuk ke kelas sosial yang lebih tinggi, sebagaimana ungkapan we are what we consume. Namun, ternyata ketika sampai di tengah masyarakat, makna tersebut bergeser sehingga FO malahan menjadi tempat berbelanja bagi kelas menengah ke atas,” tulis Hianly Muljadi.
Bandung dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa -- jumlah ini meningkat pesat dibandingkan 15 tahun sebelumnya yang baru sekitar 2,1 juta jiwa, semakin padat dengan kehadiran pembeli dari kota-kota lain, khususnya pembeli dari Jakarta.
FO yang bertebaran di seantero Bandung memang terasa menjadi ajang rekreasi yang mengasyikan.
“Tapi sepanjang satu tahun setengah terakhir, FO mendapat saingan dari tempat belanja lain seperti masuknya Carrefour dan Giant,” tutur Perry Tristianto, perintis FO sekaligus pemilik FO TBPC, saat ditemui di kantornya yang merangkap gudang di Jalan Siliwangi.
Menurut dia, secara perekonomian Bandung mengalami peningkatan pada periode tersebut. Terlebih dengan menyerbu masuknya investor-investor besar dari Jakarta yang memboyong bisnis rumah makan seperti Tommy Romas dan Embassy. Belum lagi investasi di bisnis hiburan malam seperti cafe dan karaoke.
“Sehingga bagi pebisnis Bandung sendiri mesti membuat suatu terobosan baru, kalau gak maka tidak kebagian kue. Kalau dulu kita kebagian kue sekitar sepuluh persen, sekarang ini tinggal sekitar empat hingga lima persen,” jelas Perry.
Pria yang mengaku hanya bekerja dari pukul 10 hingga 16.00 itu, jika tidak inovatif akan tergerus. “Saya harus terus membuat sesuatu yang baru. Karena konsumen tidak ada yang loyal. Konsumen akan mengunjungi tempat baru. Karenanya saya harus membuat konsep baru terus. Kalau rugi ya tutup aja, seperti punya saya di Surabaya,” ungkapnya.

Perintis FO
Pria penggemar golf, dan pengurus seksi dana organisasi golf terbesar di Bandung, PG Fella tahun 2004-2006, itu berkisah, setelah menekuni bisnis wisata belanja jeans sepanjang kurun waktu 1990-1995 di kawasan Cihampelas, Bandung. Dirinya melihat perlu terobosan baru untuk terus membuat calon pembeli mengunjungi tokoknya.
“Saya mendirikan FO setelah melihat kebutuhan orang untuk berbelanja sambil berekreasi,” cetus Perry.
Saat memasuki krisis ekonomi tahun 1997, makin banyak pabrik garment yang mengalami krisis. Saat itu, sisa ekspor pabrik-pabrik garment yang banyak berdiri di sekitar Bandung, menjadi pilihan sebagai sumber pasokan FO Perry.
“Sepanjang tahun 1997 hingga 2001, penjualan Saya tergolong tinggi. Margin saat ini sekitar 20 persen. Kini, saat omzet berkisar 1 miliar rupiah per bulan, margin yang saya capai sekitar 30 hingga 35 persen,” ungkap pria ayah dari Adrian (18 tahun) dan Messayu (14 tahun) itu.
Sulung dari tiga bersaudara anak dari seorang bankir itu mengaku menjalankan bisnisnya secara mengalir saja. Dari sebelas FO yang dimilikinya dilahirkan dari ide-ide spontan. Konsepnya beda satu dengan lain. Sebut saja misalnya China Imperium, yang lahir dari gagasan menghimpun maraknya produk-produk Cina di Bandung. Kemudian ada Happening yang dipadukan dengan cafe bahkan menampilkan musik dari anak-anak muda Bandung. Emmirates dengan konsep Timur Tengahnya atau yang terkini Container dengan konsep bangunan layaknya kontainer. Hanya saja, untuk yang terakhir ini, Perry membukanya di dekat stasiun pompa bensin Sentul, Bogor.
“Saat ini saya sedang menyiapkan investasi baru sekitar tiga miliar rupiah, di luar tanah dengan konsep segala hal tentang strawbery. Di lahan sekitar 8.000 meter di jalan arah ke Lembang itu semua produk bernuansa strawbery. Kemudian satu lagi dengan konsep boys and girl. Serta satu lagi di kawasan Dago, Bandung. Tahun ini investasi yang saya keluarkan sekitar 15 miliar,” cerita Perry.
Uniknya, Perry tidak mengandalkan dana dari perbankan. “Ada sedikit, sekitar 10 persen-lah dari total investasi yang saya keluarkan hingga saat ini,” kata pria yang menyelesaikan studi di jurusan marketing di Standford, Singapura pada tahun 1983 itu.
Selain itu, jurus yang dia pakai adalah senantiasa menggunakan tanah sewaan. Dari sebelas FO, hanya dua yang berdiri di atas tanah milik sendiri. Selebihnya sewa dengan jangka waktu 5 hingga 20 tahun.

Dominan Lokal
Pria yang sempat “mampir” di jurusan sosial politik Universitas Parahiyangan, Bandung itu mengaku, pasokan barang-barangnya, khususnya baju, sebagian besar dari produk lokal. “Enam puluh persen lokal dan empat puluh luar negeri,” katanya.
Barang-barang bermerk asing seperti GAP, Esprit, Versaces, Guess, dan Calvin Klein bertenggeran di seantero gerai FO nya.
“Barang-barang domestik banyak yang saya ambil dari kawasan berikat nusantara. Tapi, banyak sekali yang datang langsung ke tempat saya,” katanya, sembari menunjuk seorang ibu yang siang itu muncul menawarkan baju atasan wanita, di sela-sela perbincangan dengan Investor Daily.
Namun, untuk produk luar negeri, menurut Perry, ia meminta istrinya setiap sebulan sekali melanglang buana. Produk branded dicari ke India, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Singapura. Sedang produk dari Cina sudah sekitar empat bulan ia tinggalkan menyusul maraknya produk tersebut di tanah air. Bagaimana dengan produk Eropa dan Amerika? “Tidak. Karena harganya terlalu tinggi,” tukas Perry, menutup perbincangan. (edo rusyanto)








Thursday, September 09, 2004

Pertamina Akan Jual Perusahaan yang Tidak Terkait Bisnis Inti

Jakarta, Investor Daily
Skandal pembobolan dana Rp 200 miliar di PT Pertamina Saving and Investment (PSI) mendorong manajemen PT Pertamina (Persero) mengkaji kembali keberadaan 15 anak perusahaan. Dirut Pertamina Widya Purnama mengatakan, pihaknya akan melepas PT PSI dan anakperusahaan Pertamina lainnya yang tak terkait bisnis inti. “Ya,
mungkin (akan dijual —Red).

Kita jangan memiliki perusahaan yang tidak bisa kita kelola,” ujarnya, usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR RI di Jakarta, Rabu (8/9). Di tempat terpisah, Komisaris Utama Pertamina Laksamana Sukardi mengungkapkan pendapat senada. Jika Pertamina masih mengelola anak perusahaan yang tidak sesuai dengan kompetensinya, kata Laksamana, kasus serupa PSI akan terus berulang pada masa akan dating.

“Kegiatan usaha seperti perbankan bukan kompetensi Pertamina. Makanya, kejadian itu lumrah-lumrah saja, karena moral hazard tinggi sekali,” tuturnya. Untuk itu, demikian Laksamana, Pertamina harus merestrukturisasi anak perusahaannya. Mempertahankan anak perusahaan yang berada di luar kompetensi dan terus merugi akan membebani keuangan Pertamina yang saat ini dilanda krisis cash flow. PSI bisa saja ditutup jika skandal pembobolan terbukti menghabiskan modalnya.

Widya mengakui, kerugian di PSI bisa saja melebihi Rp 200 miliar. Karena masih ada sejumlah penyimpangan di PSI yang belum terungkap. “Pasti ada lah. Kan lagi dicheck sekarang. Saya mesti lihat dulu deh,” katanya dirut baru Pertamina itu.

Laksamana yang juga Menneg BUMN mengatakan, dirinya menempatkan Widya sebagai dirut Pertamina guna membersihkan perusahaan minyak dan gas itu dari praktik yang tidak benar. Mengenai keterlibatan orang Pertamina dalam kasus bobolnya PT PSI, Laksamana mengatakan, secara logika orang-orang Pertamina sebagai induknya tentu mengetahui kasus itu. Kemungkinan itu cukup besar. Namun, ia menyerahkan kasus PSI kepada pihak berwajib.

Pada RDPU Pertamina dengan Komisi VIII DPR RI kemarin, skandal PSI juga menjadi bahan perdebatan. Sebagian anggota dewan menghendaki kasus tersebut dibeberkan tuntas dalam RDPU. Namun, dengan pertimbangan kasus tersebut tersangkut PT Bank Persyarikatan Indonesia (BPI), Komisi VIII dan Pertamina akhirnya memutuskan untuk membahasnya secara tertutup di lain waktu. Dikhawatirkan, pembeberan skandal tersebut memicu rush atau penarikan dana nasabah secara besar-besaran di BPI.

Direktur Utama BPI Suhaji Lestiadi menegaskan, pihaknya tidak pernah menerima penyertaan modal dari PSI. Menurutnya, dana PSI yang masih ada di BPI tersimpan dalam deposito dan hingga kini belum ditarik oleh pemiliknya. Namun, ia membantah jumlah deposito milik PSI
mencapai Rp 90 miliar. “Yang saya tahu, dana mereka itu cuma ada deposito dan jumlahnya tidak sebesar itu (Rp 90 miliar —Red). Juga tidak ada penyertaan modal PSI di BPI,” ujarnya kepada Investor Daily kemarin.

Menurut hasil audit arus kas terhadap Pertamina yang dilakukan Ernst & Young (E&Y), BPI tak lagi lancar membayar bunga deposito milik PSI sejak Februari 2004. Pencatatan deposito PSI di BPI juga tak jelas. Namun diketahui bahwa petaka itu berawal dari penerbitan negotiable certificate of deposit (NCD) oleh PT Bank Swansarindo yang kini berubah nama menjadi BPI. NCD bernilai awal Rp 60 miliar kemudian diubah menjadi penyertaan modal PSI di BPI.

PSI yang 99,9 persen sahamnya dimiliki Pertamina dan 0,1% PT Pertamedika, bergerak di bidang pengelolaan dana melalui portofolio investasi di pasar uang dan pasar modal, kerjasama pembiayaan dalam bentuk konsorsium di bidang migas dan pendanaan anak perusahaan Pertamina. Dalam kiprahnya sebagai perusahaan investasi, PSI memiliki beragam target pasar. Tapi, sekitar 65 persen bisnis PSI masih mengandalkan Pertamina. (ed/fai/fen)

Wednesday, September 01, 2004

2005, XL Perkuat Coverage Sumatera, Kalimatan dan Sulawesi

Jakarta – PT Excelcomindo Pratama (XL) sedang siap-siap memperkuat penetrasi ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Rencana tersebut akan direalisasikan pada tahun depan.
“Untuk wilayah Sumatera saja kita targetkan tembus satu juta pelanggan, karena Sumatera paling berpotensi diantara ketiga pulau tersebut. Dan yang pasti, secara persentage growth dia (ketiga pulau tadi, red) harus lebih cepat dari Jawa, Bali dan Lombok. Karena kita market share-nya tertinggal di sana. Jadi, alokasi untuk coverage akan lebih banyak di tiga pulau itu, ” jelas Kusnadi Sukarja, direktur penjualan dan pemasaran XL, kepada Investor Daily, baru-baru ini di Jakarta.
Target satu juta pelanggan di Sumatera itu mengacu kepada market leader di bisnis telepon seluler saat ini yang mampu meraih mendekati tiga juta pelanggan di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Hingga akhir Juli 2004, pelanggan XL mencapai mencapai 3,7 juta nomor, dan diperkirakan pada akhir 2004 mencapai 4,5 juta nomor. Tahun 2003, pelanggan XL sebanyak 2,9 juta.
Guna penguatan penetrasi di ketiga pulau di atas, Kusnadi mengaku, XL masih membahas berapa dana yang dibutuhkan. “Secara keseluruhan sedang kita hitung. Oktober nanti baru kita dapat kepastian, termasuk keseluruhan modal kerja (capital expenditure/capex) yang dibutuhkan tahun 2005,” jelasnya.
Tahun 2004, capex XL disiapkan sekitar US$ 200 juta sedangkan tahun 2003 masih berkisar US$ 150-an juta.
Kusnadi menjelaskan, tahun depan market share perseroan masih akan tidak berbeda jauh dengan target tahun ini sekitar 16%.

Penurunan ARPU
Kusnadi menjelaskan, di tengah maraknya persaingan bisnis seluler yang memasuki segmen low end, mendorong jumlah penggunaan pulsa rata-rata (ARPU) produk XL semakin turun. Tahun 2004 diperkirakan hanya dikisaran Rp 90-an ribu. “kalau menambah subscriber dan penetrasi naik, tidak bias dihindari ARPU turun. Di negara manapun pasti turun. Jadi saya melihat ke depan, peperangan strategi operator adalah bagaimana menurunkan cost infrastrukturnya. Jangan sampai, laju penurunan ARPU lebih cepat dari penurunan cost,” tambah Kusnadi.
Namun, jelas dia, penurunan biaya tadi diupayakan tidak mengurangi kualitas layanan.

Penurunan Gagal Panggil
Menyusul terganggunya fasilitas ngobrol gratis, XL telah menurunkan tingkat kegagalan pemanggilan (failure call attempt) dari 320% menjadi 150%. “Sehingga kalau, ada dua juta pelanggan yang gagal terus melakukan panggilan, kini yang mengalami kegagalan tinggal separonya satu juta saja,” kata Rony Siswanto, General Manager Field Operation & Construction – East XL, kemarin (31/8).
Penurunan tersebut dilakukan dengan cara melakukan relokasi kanal baru. Sehingga diharapkan penyumbatan yang terjadi di jaringan antara hanphone ke Base Tranceiver Station (BTS) tidak signifikan lagi. Tercatat, penyumbatan yang parah sempat terjadi dalam 4 hari pertama sejak diberlakukannya fasilitas gratis.
Disamping itu, XL juga terus melakukan penambahan jumlah BTS. Tiap bulan, perseroan akan merealisasikan penambahan 100 hingga 150 BTS. Khusus di Jakarta, perseroan akan membangun 25 BTS. Dengan penambahan BTS itu, XL optimistis kualitas jaringan mereka akan semakin baik.
Adapun secara teknis, Tony mengatakan, terganggunya fasilitas gratis terjadi pada alur jaringan dari handpone menuju BTS saja, sedangkan alur lainnya tidak mengalami masalah. Digambarkannya , selama ini, satu BTS memiliki kapasitas 54 panggilan pada saat bersamaan. Selanjutnya, dalam kondisi normal kapasitas tersebut mencukupi, apalagi memang pelanggan melakukan pembicaraan yang pendek saja, misal dalam hitungan satu-dua menit, bahkan detik saja. Namun dalam masa gratis, selain banyak pelanggan yang mau masuk, ternyata pembicaraan yang dilakukan pelanggan menjadi lama, sehingga terjadilah antrian yang panjang untuk bisa masuk.
Distribusi Merata
Sejauh ini, berdasarkan data, panggilan yang dilakukan pelanggan banyak menumpuk antara jam 23.00 hingga 24.00. Sehingga, praktis pada jam tersebut, banyak pelanggan mengalami kegagalan panggilan karena harus mengantri. “Coba lakukan panggilan setelah jam 24.00, saya kira jam 24.05, saya kira bisa berhasil,” tambah Tony.
Hingga saat ini, perseroan telah melempar 800 ribu kartu Bebas dan Jempol ke pasar. Selanjutnya, dari sisi pendapatan perseroan yakin terjadi kenaikan, karena penggunaan panggilan meningkat sekitar 30%. (tri/ed)