Tuesday, May 31, 2005

Pembukaan Kode Akses SLJJ Indosat Tunggu PKS Interkoneksi

JAKARTA-Pembukaan kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) PT Indosat Tbk menunggu penyelesaian kesepakatan interkoneksi.
Asisten Direktur PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Pudja Suyitna mengatakan, pihaknya tengah negosiasi aspek bisnis dan teknis. “Sebenarnya, tidak ada kendala. Kita tinggal mengikuti Permen (Permen No.6 Tahun 2005,red). Tapi, karena ini menyangkut aspek bisnis maka perlu negosiasi dulu,” kata Pudja kepada Investor Daily, Senin (30/5).
Namun, Pudja tidak bisa memberikan batasan waktu bagi pembukaan interkoneksi kode akses SLJJ Indosat. Dia hanya bisa mengungkapkan setelah kesepakatan interkoneksi tercapai maka hasil kesepakatan itu akan segera dituangkan ke dalam perjanjian kerjasama interkoneksi (PKS). Selanjutnya, bila PKS sudah ditandatangani kedua pihak, implementasi pembukaan kode akses dapat direalisasikan.
Sumber Investor Daily menyebutkan, negosiasi PKS interkoneksi berjalan alot. “Bahkan, ada permintaan baru agar SLJJ Denpasar yang harusnya dibuka,diganti dengan Balikpapan,” katanya, baru-baru ini.
Menurut dia, pemindahan Denpasar karena mitra KSO Telkom di Divre VII kurang menyokong.
Sementara itu, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Koesmarhati Soegondo menuturkan, semestinya operator sudah siap untuk membuka interkoneksi pada 1 April 2005. Landasan hukum pembukaan interkoneksi juga semakin kuat menyusul diterbitkannya Permen No.6 tahun 2005.
Ketika ditanyakan apakah ada sanksi untuk Telkom bila mereka belum juga membuka interkoneksi SLJJ, Koemarhati mengatakan, tidak ada klausal untuk itu. Tapi, pihaknya akan terus melihat kesiapan operator. BRTI memahami kalau implementasi pembukaan interkoneksi membutuhkan waktu, terutama untuk membahas masalah perjanjian interkoneksi. “Kalau dibuka, mesti ada perjanjian interkoneksi,” ujarnya.
Di sisi lain, kalangan pengamat telekomunikasi melihat dengan penerbitan peraturan menteri ini, semestinya sudah tidak ada lagi alasan bagi Telkom untuk menunda pembukaan interkoneksi SLJJ Indosat. Sebelumnya, Direktur Utama Telkom Kristiono, juga telah mengungkapkan untuk membuka kode akses SLJJ Indosat, pihaknya membutuhkan payung hukum berupa peraturan menteri.
Pada tahap awal, sentral gateway SLJJ Indosat di lima kota, yakni, 021 (Jakarta), 031 (Surabaya), 0361 (Denpasar), 0778 (Batam) dan 061 (Medan), dinilai telah siap untuk berinterkoneksi.

Kaji Ulang
Sementara itu, Serikat Karyawan (Sekar) Telkom meminta agar pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor PM 06/P/M.Kominfo/5/2005, tentang Perubahan kedua atas Keputusan Menteri Perhubungan nomor : KM.4 TAHUN 2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 (Fundamental Technical Plan National 2000) Pembangunan Telekomunikasi Indonesia. Permen itu dinilai akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.
Menurut Amir Fauzi, ketua DPW VI Kalimantan Sekar Telkom, Permen tersebut dapat menghambat pertumbuhan densitas telepon yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk mendorong perkembangan ekonomi nasional, khususnya Kalimantan. Permen baru dinilai akan membuat operator baru justru malas membangun jaringan, karena mereka bisa menggunakan jaringan yang sudah eksis.
Padahal, saat ini, densitas telepon secara nasional baru 4%, terendah di antara negara Asean, dan itu terkonsentrasi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Dari 9 juta satuan sambungan, Jakarta menikmati 36% dari jumlah itu sementara Kalimantan hanya menikmati 5%. Kalimantan membutuhkan penambahan fasilitas telekomunikasi untuk mendorong kemajuan ekonomi masyarakat.Amir memaparkan, ketika pemerintah menggulirkan wacana akan melakukan liberalisasi penyelenggaraan bisnis SLJJ, Telkom sebagai incumbent operator memandangnya sebagai hal yang wajar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengingat selama ini Telkom sudah terbiasa menghadapi persaingan setelah dibukanya secara resmi kran kompetisi di bisnis sambungan lokal pada 1 September 2003. Namun, menjadi lain saat liberalisasi dilakukan dengan memanfaatkan basis pelanggan eksisting. “Dengan memanfaatkan pelanggan operator lain, yang saat ini mayoritas dimiliki Telkom dengan 9 juta pelanggan, maka pemain telekomunikasi baru tidak perlu lagi secara bisnis untuk menambah pelanggannya,” tegas Amir. (tri/ed)

Friday, May 27, 2005

Arwin, Hasnul dan Jhonny Calon Kuat Dirut Indosat

JAKARTA- Tiga nama ‘bersaing ketat’ untuk menjadi direktur utama PT Indosat Tbk yang ditinggalkan Widya Purnama. Ketiga nama itu adalah Arwin Rasyid (mantan wakil dirut Bank BNI), Hasnul Suhaimi (direktur seluler Indosat), dan Johnny Swandi Sjam (mantan dirut Satelindo).
Di luar nama itu sempat mencuat nama Eva Riyanti Hutapea (mantan dirut PT Indofood Sukses Makmur Tbk, kini Komisaris Independen Indosat), Direktur Pengembangan Bisnis Indosat Wityasmoro Sih Handayanto (direktur Pengembangan Bisnis Indosat), dan Wahyu Widjajadi (direktur Telekomunikasi Tetap dan MIDI Indosat).
Mereka bersaing ‘mengambil hati’ pemegang saham yang akan menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS), 8 Juni mendatang. “Namun, calon paling kuat adalah Jhony Suwandi. Ia sosok yang tepat karena prestasinya cukup gemilang dalam memimpin Satelindo sebelum diintegrasikan ke Indosat,” tutur sumber Investor Daily, di jajaran manajemen Indosat, Kamis (26/5).
Sumber itu menjelaskan, Jhony Suwandi ‘cukup dekat’ dengan Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd. (ST Telemedia). “Ia cukup andal di bisnis seluler. Saat dipimpin pak Jhony, Satelindo memiliki lima juta pelanggan,” kata dia.
Namun, Jhony yang saat ini senior vice president Pengembangan Strategis Indosat enggan berkomentar saat ditanya pencalonan dirinya. “Saya jangan ditanya soal itu dulu lah,” kata dia, Kamis malam.
Sumber Investor Daily juga menuturkan bahwa Arwin Rasyid, Hasnul Suhaimi, dan Wityasmoro Sih Handayanto memiliki peluang besar.
Deputi Menko Perekonomian M Ikshan mengakui pemerintah mengusulkan dirinya untuk menjadi komisaris independen di Indosat. Namun, Ikshan belum bisa memastikan apakah usulan itu diterima oleh pemegang saham saat RUPS berlangsung. “Benar, saya sudah diajukan sebagai komisaris independen. Tapi, hal itu bisa berubah sewaktu-waktu dan tergantung kepada pemegang saham nantinya mengingat Indosat bukan lagi BUMN murni,” ujarnya di Jakarta, Kamis (26/5).
Calon kuat komisaris lainnya yaitu Eva Riyanti dan Umar Roesdi sebagai presiden komisaris (preskom). Ketika ditanya apakah semua calon direksi berasal dari internal Indosat, M Ikhsan menegaskan, hal itu itu merupakan hak prerogratif pemegang saham terbesar Indosat.
Menurut Ikhsan, pemerintah lebih concern dengan pencalonan direktur utama pada operator nomor dua telekomunikasi terpadu ini. “Sebaiknya hal itu ditanyakan langsung kepada . ST Telemedia sebagai pemegang saham mayoritas. Saya kurang tahu persis informasi,” katanya.
\Kriteria DirutKetua Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan, dirut Indosat sebaiknya dipegang oleh orang dalam. Selain untuk enunjukkan kepastian jenjang karir di perseroan, terpilihnya orang dalam diyakini dapat menempatkan sosok pemimpin yang benar-benar mengenal bisnis telekomunikasi. “Saya melihat Indosat masih perlu dipimpin oleh orang-orang yang mengerti benar bisnis telekomunikasi, jadi saya rasa, ketimbang orang luar yang berasal dari bisnis penerbangan atau perbankan lebih baik mengambil orang dalam saja,” kata Mas Wig.
Selain harus menguasai bidang telekomunikasi, menurut dia, dirut Indosat harus memiliki kedekatan dengan investor. Sebab, Indosat merupakan perusahaan publik dan separuh sahamnya dimiliki investor asing.
ST Telemedia melalui Indonesia Communications Limited (ICL) menguasai saham Indosat sebesar 41,94% pada tahun 2002. Selama ini, jelas Mas Wig, Indosat selalu mengundang investor untuk mendanai pengembangan jaringan Indosat. “Sehingga dirut harus mampu menarik investor dalam dan luar negeri. Kriteria lain, direktur Indosat harus memiliki network nasional dan internasional yang kuat,” kata dia.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi melihat Indosat membutuhkan pemimpin yang memiliki pemikiran ke depan untuk pengembangan bisnis perusahaan, terutama untuk masa depan seluler yang kini menjadi andalan perusahaan ini. Indosat juga membutuhkan seorang dirut yang jago bernegosiasi. “Lebih baik dirut Indosat adalah orang yang memiliki kedekatan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang notabene perusahaan BUMN,” kata Heru.
Sebelumnya, wakil dirut Indosat Ng Eng Ho mengatakan, pada 2005, sekitar 80% modal kerja perseroan bakal dikonsentrasikan untuk pengembangan jaringan seluler. Sisanya untuk pengembangan jaringan tetap dan jaringan backbone.
Keseriusan perseroan menggenjot bisnis seluler cukup beralasan, mengingat industri itu terus tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Setelah mencapai 30 jutaan pengguna pada tahun 2004, tahun ini pelanggan seluler diperkirakan mencapai 40-an juta.
Hingga kini pelanggan seluler Indosat (Mentari, Matrix dan IM3) diperkirakan mencapai sekitar 10 juta. Tahun 2005, perseroan merencanakan peningkatan pengeluaran modal sebesar 20% hingga 30% dibandingkan pengeluaran modal tahun 2004 senilai Rp 6,29 triliun.
Pada 2004, Indosat membukukan laba bersih Rp 1,63 triliun atau naik 3,82% dibandingkan pencapaian tahun 2003. Perseroan mencatatkan kinerja yang baik dengan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 10,55 triliun atau meningkat sebesar 28,1%. Kemudian, laba usaha sebesar Rp 3,23 triliun atau tumbuh 37,8%. Pemain seluler nomor dua di Tanah Air itu mencatat EBITDA sebesar Rp 6,05 triliun dan EBITDA margin 57,4%.
Pendapatan Indosat tahun 2004 disokong oleh bisnis seluler. Per 31 Desember 2004, jumlah pelanggan seluler Indosat mencapai 9,7 juta atau tumbuh 63,6% dibandingkan dengan jumlah pelanggan pada akhir tahun 2003. Tercatat, jasa seluler telekomunikasi tetap serta multimedia, data komunikasi dan internet (Midi)) masing-masing memberikan kontribusi sebesar 70,6%, 14,7%, dan 14,1% terhadap pendapatan usaha perseroan.

Kriteria untuk Telkom
Di sisi lain, menurut Mas Wig, penempatan calon dirut Telkom sarat dengan muatan politis. Namun, setidaknya dirut Telkom mesti orang yang dapat diterima semua pihak baik itu karyawan, pemerintah, maupun mitra perusahaan. Diharapkan pula, dirut Telkom ke depan, mampu mengubah pola pikir Telkom selama ini.
Sedangkan Heru Sutadi melihat sosok calon dirut Telkom harus orang memiliki visi untuk menjadikan Telkom sebagai pemain regional. Saat ini, perusahaan ini dinilai sudah kuat , namun, Telkom dinilai belum bisa berkiprah di luar negeri.
Beberapa nama calon dirut Telkom yang telah beredar di kalangan pers adalah Guntur Siregar, Kristiono, Cahyana Ahmadjayadi, SK Komaruddin, Syaifudin Saguni dan Andi Sewaka.
Sumber Investor Daily di kalangan manajemen Telkom menuturkan, saat ini Komisaris Telkom telah mengajukan 30 calon jajaran direksi.(tri/dun/ed)

Thursday, May 26, 2005

Alcatel Optimalkan Pasar di Luar Operator

JAKARTA – Direktur SDM PT Alcatel Indonesia Harry Pramono mengatakan, untuk mendorong pasar broadband di Indonesia perusahaan tersebut akan mengoptimalkan potensi pasar baru di luar yang ada di operator saat ini.
Dia optimistis, peluang membuka pasar baru di Tanah Air cukup besar, asalkan didukung dengan solusi total tidak hanya dari penyediaan teknologi tapi juga yang terkait dengan aspek komersial.
“Perusahaan telekomunikasi saat ini, umumnya membidik pasar para operator. Tapi, Alcatel cenderung mengoptimalkan private market termasuk institusi pendidikan,” tukas Harry, kepada Investor Daily dan Bisnis Indonesia, di sela Kuliah umum Alcatel di Universitas Bina Nusantara, Rabu (25/5).
Kuliah umum tersebut merupakan bagian dari program pengembangan mahasiswa dengan memberikan pengetahuan terkini dalam bidang telekomunikasi melalui sejumlah ahli dari Alcatel di Singapura dan Jerman.
Sementara itu, Manajer Komunikasi Perusahaan PT Alcatel Indonesia Rizal I Shahab mengatakan, Alcatel memang memiliki komitmen tinggi terhadap penyediaan solusi layanan broadband yang akan menjadi tren komunikasi masa mendatang.
“Kami akan menyediakan solusi yang memungkinkan pengguna menikmati layanan komunikasi broadband baik tetap maupun bergerak dari perangkat mana saja dan kapan saja,”jelas Rizal.

Skema Pembiayaan
Sementara dari aspek komersialnya, tambah dia, Alcatel juga menyediakan skema pembiayaan yang dapat menjangkau kebutuhan investasi untuk layanan broadband bagi segmen korporasi hingga 100%.
Pola pembiayaannya, lanjut dia, bisa dilakukan dengan membuat konsorsium untuk mendukung investasi, pola bagi hasil, atau alternatif lain yang terintegrasi dalam solusi yang ditawarkan Alcatel.
Rizal menuturkan, layanan broadband untuk jaringan kabel menggunakan teknologi asymetric digital subcriber line (ADSL), sedangkan untuk jaringan nirkabel melalui layanan telekomunikasi generasi ketiga (3G).
Broadband adalah fase lanjutan dari infrastruktur fisik, seperti jaringan kabel tembaga, serat optik, nirkabel dan satelit. Jaringan broadband yang berbasis Internet Protocol (IP) diibaratkan sebagai infrastruktur lapis kedua yang berada di atas infrastruktur fisik.
Bagi operator, broadband adalah suatu keniscayaan karena tak mungkin lagi mengandalkan pendapatannya hanya dari layanan suara saja, terlebih dengan berkembangnya teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP) dan Instant Messaging (IM).
Harry menandaskan, Indonesia memang termasuk salah basis pasar yang diandalkan Alcatel karena potensinya cukup menjanjikan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan pengguna telekomunikasi bergerak yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini.Alcatel telah hadir di Indonesia lebih dari 30 tahun sebagai perusahaan penyedia bidang sistem telekomunikasi di Indonesia. Di antara pengguna produk Alcatel adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Indosat Tbk dan PT Excelcomindo Pratama. Total pendapatan Alcatel yang beroperasi di 130 negara, mencapai 12,3 miliar euro pada 2004. (ed)

Dephub Tawarkan Tiga Proyek KA

JAKARTA -Menteri Perhubungan (Menhub) Hatta Rajasa menegaskan, pemerintah akan menawarkan tiga proyek raksasa jalur kereta api (KA) pada Indonesia Infrastructure Summit kedua, November 2005.
“Proyek tersebut meliputi pembangunan jalur kereta api di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,” tuturnya saat berkunjung ke redaksi Investor Daily, Rabu (25/5).
Ia menuturkan, pembangunan jalur KA diyakini dapat memperbaiki sistem transportasi yang kurang efisien di basis-basis produksi kelapa sawit dan batu bara. “Selama ini sistem transportasi di Sumatera dan Kalimantan kurang mendukung roda perekonomian di basis produksi sawit dan batu bara,” ujarnya.
Menurut Menhub, proyek jalur KA tersebut bakal diminati para calon investor, terutama untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Selain proyek KA, tutur Menhub, pada Infrastructure Summit mendatang, Departemen Perhubungan (Dephub) juga akan menawarkan beberapa proyek pelabuhan laut jembatan atau terowongan yang menghubungkan Jawa-Sumatera.
Khusus untuk DKI Jakarta, Dephub menyiapkan proyek commuter, yang akan terintegrasi dengan proyek monorel. Sejauh ini, investor Korea Selatan sudah menyatakan minatnya. Jepang sejatinya juga sudah bersedia mendanai proyek mass rapid transportation (MRT), tapi masih terganjal mahalnya proyek yang mencapai Rp 400 miliar per km.
Saat disinggung kelanjutan proyek Dephub yang ditawarkan pada Infrastructure Summit pertama Januari 2005, Hatta menuturkan, ada empat proyek yang siap ditenderkan. Keempat proyek tersebut melibatkan investor swasta domestik. Di antaranya adalah proyek jalur KA ke bandara Soekarno-Hatta yang digarap bersama antara PT Kereta Api dan PT Angkasa Pura II. “Selain itu, proyek pelabuhan Balikpapan yang digarap Pelindo dengan investor lokal Kalimantan plus proyek bandara Lombok Internasional,” jelas Hatta.
Ia menambahkan, untuk proyek Lombok Internasional, PT Angkasa Pura I memperoleh pendanaan dari penjualan bandara yang dikelolanya. “Itu pun belum cukup, sehingga harus menggandeng investor lokal,” kata Menhub.
Menurut catatan Investor Daily, Dephub pada Infrastructure Summit pertama menawarkan sembilan proyek senilai total Rp 19,5 triliun. Proyek-proyek tersebut meliputi, pertama, perluasan terminal I Bandara Soekarno-Hatta. Kedua, fasilitas pemrosesan kargo dan industri terpadu Bandara Soekarno-Hatta. Ketiga, Bandara Kualanamu Medan Baru. Keempat, Bandara Lombok Internasional. Nilai investasi yang dibutuhkan, untuk bandara Medan Rp 2,25 triliun. Untuk ekspansi airport terminal Bandara Soekarno-Hatta Rp 2,9 triliun. Kemudian untuk pembangunan fasilitas pemrosesan kargo Soekarno-Hatta Rp 431,354 miliar. Sedangkan untuk Bandara Lombok Internasional Rp 1,25 triliun.
Kemudian akses transportasi ke Bandara Soekarno-Hatta melalui jalur kereta api dan menuju Stasiun Manggarai membutuhkan investasi Rp 696,080 miliar.
Selanjutnya, proyek pelabuhan Bojonegara yang menelan investasi Rp 1,909 triliun. Kemudian pengembangan pelabuhan Tanjung Priok di Ancol Timur menelan Rp 4,38 triliun. Sedangkan pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak di Teluk Lamong diperkirakan menelan investasi senilai Rp 6,43 triliun. Terakhir, pengembangan Pelabuhan Balikpapan senilai Rp 648 miliar.

Peraturan Pendukung
Menurut Menhub, guna mendukung penawaran proyek infrastruktur di lingkungan Dephub, pihaknya bekerja keras agar perundangan pendukung dapat rampung pada tahun ini. Perundangan tersebut di antaranya adalah Undang-Undang tentang Pelayaran. “Saat ini drafnya sudah berada di Departemen Hukum dan HAM. Selanjutnya diajukan ke DPR,” kata dia.
Hatta berharap perundangan tersebut dapat rampung pada tahun ini. Menurut dia, banyak calon investor asing yang ragu-ragu karena terganjal kepastian perundangan. “Jika tidak rampung tahun ini,hal itu akan menunda tender proyek-proyek infrastruktur,” jelas Menhub.
Sementara itu, Ketua Tim Pembangunan Pembiayaan Infrastruktur Raden Pardede mengatakan, proses tender proyek-proyek infrastuktur menunjukkan kemajuan positif, khususnya jalan tol dan pembangkit tenaga listrik. Namun, proyek pelabuhan dan bandara udara sedikit terhambat disebabkan belum rampungnya undang-undang. Oleh sebab itu, pembangunan proyek jalan tol dipastikan lebih cepat dilakukan dibanding proyek pelabuhan dan bandar udara.
“Tidak gampang menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur dalam waktu dekat. Itu butuh waktu lebih dari satu tahun. Sebab, banyak hal yang harus dituntaskan dengan tepat mengingat Indonesia baru pertama sekali menawarkan proyek infrastruktur berskala besar kepada investor asing dan lokal,” ujar Raden Pardede kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu, (25/5).
Pardede mengaku, proses tender infrastuktur yang tengah berjalan sekarang ini tergolong normal sebagaimana terjadi di negara-negara Asia lainnya. Banyak prosedur dan tahapan yang harus dilalui oleh investor. Pardede menegaskan, lebih dari 18 konsorsium investor asing dan domestik tengah mengikuti proses tender dan pemenangnya segera diumumkan. Sehingga, pemenang tender akan menandatangani letter of concession (surat konsesi) antara September dan Oktober 2005. “Kemudian pemenang tender menandatangani surat perjanjian empat bulan setelah surat konsesi diparaf. Lalu mereka melakukan financing closing (penutupan keuangan) yang dilanjutkan dengan pembebasan tanah. Dengan demikian bila semua berjalan mulus, paling lambat Februari 2006 proyek sudah mulai dibangun,” tegasnya.
Karena RUU Pelayaran masih dalam tahap pembahasan intensif oleh Dephub, kini Tim Pembangunan Pembiayaan Infrastruktur memfokuskan kegiatan di jalan tol. Sebab, pembahasan harus melibatkan PT Pelindo untuk RUU Pelayaran. Ia memperkirakan, RUU itu bisa rampung akhir tahun ini. Lebih jauh ia menjelaskan, kendati proyek-proyek infrastruktur masih dalam tahap proses tender, bisnis pendukung terkait lainnya seperti perusahaan semen, batu dan baja sudah mulai melakukan peningkatan kapasitas produksi.(ed/dun)

Telkom Jajaki BUMN Telekomunikasi Amerika Latin

Jakarta-PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menjajaki kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telekomunikasi tiga negara Amerika Latin.
“Orang-orang kita sedang melakukan penjajakan dan minggu ini sudah kembali. Mereka melakukan penjajakan peluang bisnis ke tiga negara Amerika Latin,”tutur Komisaris Utama Telkom Tanri Abeng, kepada Investor Daily, di Jakarta, Rabu (25/5).
Ia mengatakan, kemampuan Telkom lebih baik dibandingkan BUMN telekomunikasi ketiga negara Amerika Latin. “Kita lebih baik dari pada mereka. Telkom ada seluler, CDMA dan telepon tetap. Peluang kita untuk bisa bekerjasama di luar Indonesia cukup besar. Apalagi kita BUMN,” tukas Tanri.
Ia menambahkan, kerjasama antar-BUMN ternyata ada kemudahan tersendiri karena dianggap semi pemerintah. Kalau misalnya dari British Telkom, Italia Telkom atau French, mereka (BUMN Amerika Latin, red) melihatnya sebagai binatang ekonomi yang ganas. Jadi mereka ragu-ragu,” katanya.
Terkait kerjasama Telkom dengan badan usaha asing di luar negeri, sebelumnya Dirut Telkom Kristiono mengatakan, pihaknya telah membentuk unit khusus investasi merger dan akuisisi. “Dalam struktur perusahaan yang baru nanti ada unit yang khusus ngurusin investasi, merger dan akuisisi. Itu menjadi bagian strategi perusahaan,” tutur Kristiono (Investor Daily, 15/4).
Menurut Kristiono, akuisisi bagian dari strategi Telkom untuk masuk ke suatu pasar telekomunikasi. “Kita bisa dari nol yakni membangun baru sama sekali. Atau kita membeli perusahaan lain. Perbedaannya, jika dari nol membutuhkan waktu lama dan risikonya lebih besar dan memang lebih murah,” kata dia.
Ia menambahkan, akuisisi lebih cepat prosesnya dan lebih cepat untuk memperbesar pasar, walau sudah barang tentu lebih mahal biayanya. “Semua ada risikonya. Tergantung dari kondisi bisnis mana yang dipilih,” tukas dia.
Kristiono juga pernah mengatakan, ekspansi Telkom ke pasar regional Asia Tenggara kemungkinan akan dilakukan pada 2006, mengingat pasar telekomunikasi di dalam negeri masih cukup besar.
Hingga kini, jumlah pelanggan telepon tetap Telkom mencapai sekitar sembilan juta nomor, dan sekitar 2,5 juta pelanggan telepon tetap tanpa kabel (fixed wireless access/FWA). Sementara pelanggan seluler PT Telkomsel (anak perusahaan Telkom) mencapai 18,5 juta nomor, atau menguasai 54% pasar seluler di tanah air.
Menurut catatan, Telkom Grup (PT Telkom Indonesia Tbk dan anak perusahaan) pada tahun 2005 menginvestasikan dana untuk belanja barang modal (capital expenditure/capex) sebesar Rp 13,71 triliun, meningkat dibanding capex 2004 yang mencapai Rp 8,9 triliun. Investasi 2005 untuk Telkom dianggarkan sebesar Rp 6,14 triliun, sedangkan capex bagi anak perusahaan yang merupakan operator telepon seluler (PT Telkomsel) mencapai US$ 650-750 juta, lebih tinggi dari 2004 sekitar US$ 603 juta.
Direktur Jasa dan Bisnis Telkom, Suryatin Setiawan mengatakan, investasi Telkom untuk mengembangkan layanan Telkom Flexi mencapai sekitar Rp 1,7 triliun. "Hingga pertengahan 2005, sebanyak 50% di antaranya sudah digunakan untuk pengembangan infrastruktur," kata Suryatin.
Selama kuartal I 2005, Telkom (tidak konsolidasi) telah membelanjakan modal kerja (capital expenditure/capex) sekitar Rp 286,1 miliar yang terdiri dari sekitar Rp 258,1 miliar untuk pembangunan infrastruktur, Rp 16,2 miliar untuk jasa komersial, dan sebesar Rp 11,8 miliar untuk jasa pendukung.
Pada saat yang sama, PT Telkomsel selama Januari hingga Maret 2005, telah menginvestasikan dana capex Rp 1,17 triliun atau setara 126 juta dolar AS untuk membangun jaringan infrastruktur antara lain menambah sebanyak 731 stasiun baru pemancar (base transceiver station/BTS), untuk menambah kapasitas pelanggan sebesar 1,7 juta. (ed/ant)

Wednesday, May 25, 2005

Satelit Telkom-2 Dan Jasuka Bebani Telkom

JAKARTA-Proyek Satelit Telkom-2 dan proyek jaringan kabel sepanjang Jawa-Sumatra-Kalimantan (Jasuka) diduga akan meningkatkan beban usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) rata-rata Rp 200 miliar per tahun hingga 2015.
Akibat kedua proyek itu, return on asset (ROA) Telkom pada 2005 bakal menurun dibanding tahun 2004.
Sumber Investor Daily yang mengetahui kedua proyek tersebut mengatakan, satelit Telkom-2 memang sudah mesti diluncurkan untuk menggantikan Palapa B-4 tapi untuk Jasuka sebetulnya belum mendesak dilakukan tahun ini. “Ini menunjukkan inkonsistensi dari manajemen Telkom karena di satu sisi harusnya meningkatkan efisiensi tapi menjelang RUPS beberapa proyek justru dipercepat. Dampaknya akan dirasakan jika proyek-proyek itu telah dimasukkan sebagai aset,” jelas dia, baru-baru ini.
Menurut dia, seharusnya manajemen Telkom bercermin pada kinerja sepanjang 2004 dimana pertumbuhan beban usaha sebesar 24,38% atau lebih tinggi dibanding kenaikan pendapatan usahanya yang hanya 20,12%.
“Untuk tahun ini beban usahanya akan lebih tinggi lagi jika satelit Telkom-2 dan jaringan kabel Jasuka sudah dimasukkan dalam aset. Bagaimana return-nya bisa tinggi jika ROA (return on asset) nya bermasalah,” tandas dia.
ROA Telkom pada 2004 sebesar 0.11, sedangkan pada 2003 dan 2002 masing-masing 0.12 dan 0.18. hingga triwulan pertama 2005, ROA Telkom sebesar 0.03.
Dia merinci beban usaha yang akan ditanggung Telkom dalam kurun waktu 10 tahun ke depan masing-masing sebesar Rp 150 miliar per tahun dari satelit Telkom-2 dan Rp 50 miliar dari Jasuka sehingga setiap tahunnya mencapai Rp 200 miliar.
Satelit Telkom-2 senilai US$ 160 juta itu akan diluncurkan oleh Arianespace pada minggu kedua atau ketiga Juni 2005. Sebelumnya, General Manager Satellite Sub Division Telkom Tonda Priyanto mengatakan, posisi Telkom 2 pada 118 derajat lintang timur itu, dalam operasinya akan memperluas ruang lingkup Telkom di kawasan Indonesia bagian barat, selain Asia Selatan dan daratan India. Satelit tersebut memiliki 24 transfonder. “Telkom 2 wahana Telkom untuk masuk ke pasar regional,” katanya, saat itu.
Sedangkan proyek Jasuka dipegang oleh konsorsium NEC-Siemens dengan nilai penawaran sekitar Rp 550 miliar.Proyek Jasuka dibagi menjadi dua ring yakni untuk kabel bawah laut sepanjang Jakarta, Tanjung Pandan, Pontianak, Batam, Dumai, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Baturaja, Bandar Lampung, dan kembali ke Jakarta.
Sedangkan untuk ring dua adalah kabel darat yang menghubungkan Medan, Tebing Tinggi, Rantau Prapat, Pekanbaru, Bukit Tinggi, Padang, Sibolga, Pematang Siantar, dan kembali ke Medan.

Menurunkan ROA
Pengamat telekomunikasi dari Universitas Indonesia Heru Sutadi mengatakan, Jasuka dan satelit Telkom-2 akan masuk capital expenditure (capex) tahun 2005 sehingga merupakan investasi. “Satelit saya pikir urgent karena satelit lama sudah habis masanya. Sedangkan Jasuka, krusial karena penting untuk perkuat backbone Telkom,” ujar dia, kepada Investor Daily, Selasa (24/5).
Ia memperkirakan, kedua aset Telkom itu akan membebani perseroan sehingga mendorong ROA perseroan akan turun dibandingkan tiga tahun terakhir.
Menurut dia, investasi tersebut baru akan kembali modal dalam kurun waktu tiga hingga empat tahun sejak satelit dan Jasuka dioperasikan.
Total aset Telkom pada akhir 2004 mencapai Rp 56,3 triliun, meningkat dibandingkan 2003 (Rp 50,3 triliun), dan 2002 (Rp 44,3 triliun). Hingga triwulan I 2005 total aset BUMN tersebut Rp 58,5 triliun. Sementara itu, untuk laba bersih Telkom mencatat peningkatan tipis pada 2004, yakni dari Rp 6,08 triliun pada 2003 menjadi Rp 6,12 triliun. Hingga triwulan I/2005 laba bersih Telkom senilai Rp 1,7 triliun.
Sebelumnya, manajemen Telkom menyatakan bahwa pendapatan perseroan pada semester kedua tahun 2005 akan meningkat disokong oleh peningkatan pelanggan anak usaha, PT Telkomsel dan produk Telkom Flexi.
Direktur Utama Telkom Kristiono mengatakan, pendapatan semester dua ini akan bagus sekali. “Apalagi jika pelanggannya bertambah, otomatis pengaruhnya ke pendapatan,” ujarnya (Investor Daily, 23/5). (ed)

Monday, May 23, 2005

Menanti Persaingan Sehat Bisnis SLJJ

AKHIR pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menerbitkan peraturan baru untuk kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ). Peraturan menteri (permen) tersebut cukup “mengejutkan” berbagai pihak. Setidaknya, bagi pihak yang terkait PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dan PT Indosat Tbk.
Permen Kominfo Nomor:06/P/M.Kominfo/5/2005 yang ditandatangani Menkominfo tanggal 17 Mei 2005 itu, berlaku sesuai dengan dikeluarkannya Permen tersebut.
Beberapa kalangan –termasuk pengamat, melihat Permen tersebut mempertegas dibukanya kode akses SLJJ Indosat. Bahkan, operator telepon tetap lainnya, jika memang sudah memiliki lisensi.
Sesungguhnya, Permen di atas bukan “barang baru”. Soal kode akses SLJJ telah diatur dalam Keputusan Menteri (KM) No.4 tahun 2001, kemudian diubah lagi oleh KM.28 tahun 2004 yang ditandatangani Menteri Perhubungan Agum Gumelar pada 11 Maret 2004. Aturan dalam KM.28/2004 yang semestinya efektif April 2005, justru tidak berjalan. Belakangan, pengganti Agum Gumelar, yakni Menkominfo Sofyan A Djalil menelurkan Pengumuman Menteri (PM) No.92/M/Kominfo 2005 tanggal 1 April 2005. PM tersebut intinya menegaskan pada tahap awal, pemerintah menetapkan pembukaan kode akses SLJJ 011 untuk Indosat di wilayah-wilayah dengan kode area 021 (Jakarta), 031 (Surabaya), 0361(Denpasar), 0778(Batam), dan 061 (Medan). Sebab, di area tersebut secara teknis Indosat dinilai sudah siap untuk berinterkoneksi. Pembukaan kode akses SLJJ 011 ini, akan dilanjutkan dengan kode area lainnya, bila secara teknis juga sudah memungkinkan dan siap untuk berinterkoneksi.
Penerapan kode akses SLJJ 017 (Telkom) dan 011 (Indosat) diterapkan secara bertahap dan harus tuntas maksimal selama lima tahun terhitung sejak 1 April 2005. Selain itu, setelah kode akses SLJJ 017 diterapkan maka penggunaan prefiks “0”sebagai default bagi pelanggannya sendiri masih tetap dimungkinkan untuk semua operator. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kegagalan panggil, dan sekaligus memacu semua operator untukmemangun costumer based-nya sendiri.
Kehadiran Permen Menkominfo No. 06/P/M. Kominfo/5/2005 tentang perubahan kedua atas keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.4 tahun 2001 tentang penetapan rencana dasar teknis nasional 2000 (fundamental technical plan national 2000) pembangunan telekomunikasi nasional, mempertegas aturan penerapan kode akses SLJJ.
Permen tersebut melihat KM.4/2001 dan KM.28/2004 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi bisnis telepon tetap pada saat ini.
Isi Permen tersebut intinya menegaskan bahwa penyelenggara SLJJ yang pertama beroperasi di Indonesia dan selama ini menggunakan prefiks nasional “0” sebagai kode akses SLJJ secara bertahap wajib menggunakan kode akses SLJJ “01X” di wilayah penomoran yang secara teknis sudah memungkinkan. Dan, harus sudah selesai di seluruh wilayah penomoran selambat-lambatnya 1 April 2010.
Selama transisi diatur tiga prosedur. Pertama, untuk panggilan SLJJ antara wilayah-wilayah yang kode akses SLJJ “01X” belum dibuka, pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan tetap lokal dan pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan bergerak seluler menggunakan kode akses SLJJ “0”.
Kedua, untuk panggilan SLJJ antara wilayah-wilayah yang penyelenggara jasa SLJJ baru telah membuka kode akses SLJJ “01X”, pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan tetap lokal di wilayah-wilayah tersebut dan pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan bergerak seluler dapat menggunakan kode akses SLJJ “0” atau “01X”.
Ketiga, untuk panggilan SLJJ antara wilayah-wilayah yang kode akses SLJJ “01X” telah dibuka oleh semua penyelenggara jasa SLJJ, pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan tetap lokal dan pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan bergerak seluler dapat menggunakan kode akses SLJJ “01X” yang dipilihnya, atau menggunakan kode akses SLJJ “0” apabila tidak memilih.
Kemudian, Peraturan Menteri menetapkan bahwa pelaksanaan ruting untuk panggilan SLJJ harus disesuaikan dengan kemauan pelanggan pemanggil, dalam kaitannya dengan penggunaan prefiks nasional dan prefiks SLJJ.
Di samping itu, kebijakan ini juga mengatur format prefiks Internet Teleponi untuk Keperluan Publik (ITKP).
Format ITKP adalah “010XY”, dimana kombinasi (X=0,1,…9 dan Y=1,2,…9) mencirikan penyelenggara jasa ITKP satu tahap (single stage). Dijelaskan pula, ITKP dua- tahap tidak memerlukan prefiks. Untuk ITKP dua-tahap digunakan kode akses berupa nomor pelanggan yang diperpendek dengan format “170XY”. Penyelenggara ITKP yang selama ini menggunakan prefiks “01X”, wajib mengganti dengan prefiks ITKP “010XY” selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2005.

Bisnis Menggiurkan
Kenapa begitu penting pengaturan kode akses SLJJ bagi tiap operator telepon tetap? Jawabnya sederhana, kue bisnis tersebut menawarkan angka triliunan rupiah tiap tahunnya. Sekedar gambaran, pada 2003 dan 2004
Telkom meraup Rp 8,8 triliun dan Rp 10,6 triliun. Sedangkan Indosat,
setidaknya mengantongi Rp 1,2 triliun dan Rp 1,5 triliun.
Belum lagi kue bisnis interkoneksi antara operator. Dari bisnis ini Telkom mencatat pendapatan Rp 4,1 triliun (2003) dan Rp 6,1 triliun (2004).
Angka-angka itu baru dari bisnis SLJJ telepon tetap dengan kabel maupun tanpa kabel. Belum lagi bisnis SLJJ dari telepon seluler. Maklum, secara geografis, Indonesia cukup luas dan jumlah penduduknya lebih dari 210 juta.
Di tengah bisnis yang menggiurkan itu, bagi konsumen yang diharapkannya adalah banyaknya pilihan dan tarif yang murah. Dengan multioperator, posisi tawar masyarakat akan meningkat seperti yang terjadi pada jasa telepon seluler pada saat ini.
Regulasi yang ada saat ini memungkinkan sedikitnya sembilan operator SLJJ. Mereka menggunakan kode akses 011 hingga 019. Di luar Telkom dan Indosat terdapat operator potensial seperti Bakrie Telecom, Icon+dan Batam Bintan Telecom.
Untuk pelanggan jaringan telepon tetap (dengan atau tanpa kabel) saat ini memang masih didominasi Telkom yakni sekitar 11 juta, disusul Bakrie sebanyak 220 ribu, dan Indosat sebanyak 120 ribu (dari 550 satuan sambungan telepon/SST yang tersedia).
Kehadiran Permen Kominfo No. 06/P/M. Kominfo/5/2005 diharapkan mendorong pelayanan telekomunikasi yang lebih baik bagi para konsumen. Setiap pelanggan dari berbagai operator dapat saling berkomunikasi. Kebebasan konsumen memilih juga dijamin KM.28/2004 dan KM.33/2004. Kedua peraturan tersebut menegaskan, setiap penyelenggara jaringan dan jasa teleponi dasar wajib menjamin bahwa semua kode akses jasa teleponi dasar SLJJ dan sambungan langsung internasional (SLI) dapat diakses dari setiap terminal pelanggannya secara otomatif (normally opened).
Itikad baik tiap operator untuk saling membuka jaringan untuk berinterkoneksi harus diwujudkan. Telkom telah membuka diri kepada Indosat untuk interkoneksi produk telepon tetap tanpa kabel (fixed wireless access/FWA) Star One di Malang. Sejak 13 Mei 2005, Star One di kode area 0341 telah dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan seluruh jaringan telepon milik Telkom dan operator seluler lainnya. Langkah tersebut semestinya disusul dengan wilayah lain seperti diamanatkan PM No.92/M/Kominfo 2005.Kita berharap penerapan kode akses SLJJ dapat berlangsung mulus. Dan, Mengacu pada PM di atas, kelancaran implementasi bakal ditentukan juga oleh Tim Koordinasi yang terdiri atas Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)/Ditjen Postel, Telkom dan Indosat. Tim juga dilengkapi para ahli yang kompeten dan appraiser independen. (edo rusyanto)

Kode Akses SLJJ Indosat Dapat Direalisasikan

Pasca-Permen Menkominfo

JAKARTA – Pembukaan kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) PT Indosat Tbk dapat segera direalisasikan. Hal itu diamanatkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 06/P/M. Kominfo/5/2005 yang ditandatangani Sofyan A Djalil tanggal 17 Mei 2005.
” Sudah jelas, tanggal penetapan peraturan menteri itu, sekaligus tanggal mulai berlakunya,” kata Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, akhir pekan lalu.
Menurut dia, penerapan kode akses tersebut bergantung pada itikad baik dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Sebaliknya, lanjut dia, kendala teknis yang disebut-sebut bakal menghambat penerapan kode akses, dinilai bukan permasalahan besar bila Telkom benar-benar memiliki niat untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Kabarnya, kendala teknis tersebut, salah satunya menyangkut penempatan Point of Charge (PoC).
Sementara itu, pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan, secara legal penerapan kode akses SLJJ Indosat dapat dilakukan. Sedangkan, berkaitan dengan kendala teknis, dia melihat perlu pembahasan secara mendalam antara Telkom dan Indosat.
Namun, bila pembahasan antara kedua perseroan tidak menemukan titik temu, dia menyarankan pemerintah dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) perlu berperan sebagai mediator. Peran mediator sangat diperlukan agar penerapan kode akses SLJJ Indosat tidak tertunda lagi.
Terpisah, Direktur Bisnis Jaringan Telkom Abdul Haris yang dikonfirmasi seputar Permen Menkominfo tidak bersedia menjawab banyak. “Belum bisa jawab detail karena belum mempelajari peraturan baru itu,” kata dia, kepada Investor Daily, akhir pekan lalu.
Sedangkan Direktur Corporate Market Indosat Wahyu Wijayadi juga belum bersedia berkomentar. “Saya belum melihat sendiri (peraturan menkominfo,red). Saya masih di luar kota,” ketika dihubungi Investor Daily, akhir pekan lalu.
Sebelumnya, Direktur Utama Telkom Kristiono mengungkapkan, untuk membuka kode akses SLJJ Indosat, pihaknya membutuhkan payung hukum berupa peraturan menteri yang baru. Peraturan tersebut, menurut dia, akan menjadi dasar acuan dari perjanjian kerjasama (PKS) interkoneksi SLJJ. Sehingga, dengan penerbitan peraturan menteri ini, mestinya sudah tidak ada lagi alasan bagi Telkom untuk menunda pembukaan interkoneksi SLJJ Indosat. Tercatat, pada tahap awal ini, sentral gateway SLJJ Indosat di lima kota, yakni, 021 (Jakarta), 031 (Surabaya), 0361 (Denpasar), 0778 (Batam) dan 061 (Medan), juga dinilai telah siap untuk berinterkoneksi.
Reaksi berbeda justru muncul dari Serikat Karyawan (Sekar) Telkom. Menurut Ketua DPP Sekar Telkom Wartono, pihaknya akan terus meyakinkan beberapa pihak yang berpengaruh. “Sekar Telkom belum menyerah,” ujar dia, akhir pekan lalu. Hal itu terkait upaya Sekar Telkom yang mengajukan judicial review KM 28,KM 29 dan KM 30 tahun 2004.
“Kami juga akan menggelar apel siaga di Jakarta,” tambah dia.

Pertegas Aturan
Permen Menkominfo No. 06/P/M. Kominfo/5/2005 tentang perubahan kedua atas keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.4 tahun 2001 tentang penetapan rencana dasar teknis nasional 2000 (fundamental technical plan national 2000) pembangunan telekomunikasi nasional, mempertegas aturan penerapan kode akses SLJJ.
Peraturan yang semestinya mulai berlaku sejak 17 Mei 2005 itu didasari pertimbangan, penerapan kode SLJJ yang telah diatur dalam keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 4 Tahun 2001, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.28 Tahun 2004, dinilai tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan kondisi tadi, pemerintah merasa perlu mengubahnya.
Isi dari peraturan menteri antara lain berupa penetapan penyelenggara SLJJ yang pertama beroperasi di Indonesia dan selama ini menggunakan prefiks nasional “0” sebagai kode akses SLJJ secara bertahap wajib menggunakan kode akses SLJJ “01X” di wilayah penomoran yang secara teknis sudah memungkinkan. Dan, harus sudah selesai di seluruh wilayah penomoran selambat-lambatnya 1 April 2010.
Peraturan Menteri ini juga mengatur prosedur selama masa transisi (sampai dengan 1 April 2010).
Prosedur pertama, untuk panggilan SLJJ antara wilayah-wilayah yang kode akses SLJJ “01X” belum dibuka, pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan tetap lokal dan pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan bergerak seluler menggunakan kode akses SLJJ “0”. Prosedur kedua, untuk panggilan SLJJ antara wilayah-wilayah yang penyelenggara jasa SLJJ baru telah membuka kode akses SLJJ “01X”, pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan tetap lokal di wilayah-wilayah tersebut dan pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan bergerak seluler dapat menggunakan kode akses SLJJ “0” atau “01X”.
Prosedur ketiga, untuk panggilan SLJJ antara wilayah-wilayah yang kode akses SLJJ “01X” telah dibuka oleh semua penyelenggara jasa SLJJ, pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan tetap lokal dan pelanggan dari setiap penyelenggara jaringan bergerak seluler dapat menggunakan kode akses SLJJ “01X” yang dipilihnya, atau menggunakan kode akses SLJJ “0” apabila tidak memilih.
Kemudian, Peraturan Menteri menetapkan bahwa pelaksanaan ruting untuk panggilan SLJJ harus disesuaikan dengan kemauan pelanggan pemanggil, dalam kaitannya dengan penggunaan prefiks nasional dan prefiks SLJJ.
Di samping itu, kebijakan ini juga mengatur format prefiks ITKP (Internet Teleponi untuk Keperluan Publik).
Format ITKP adalah “010XY”, dimana kombinasi (X=0,1,…9 dan Y=1,2,…9) mencirikan penyelenggara jasa ITKP satu tahap (single stage). Dijelaskan pula, ITKP dua- tahap tidak memerlukan prefiks. Untuk ITKP dua-tahap digunakan kode akses berupa nomor pelanggan yang diperpendek dengan format “170XY”. Penyelenggara ITKP yang selama ini menggunakan prefiks “01X”, wajib mengganti dengan prefiks ITKP “010XY” selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2005.
Lebih lanjut, tentang ITKP itu, Menkominfo mengeluarkan Peraturan Menteri No.07/P/M/. Kominfo/5/2005 tentang perubahan kedua atas keputusan Menteri perhubungan Nomor. KM.23 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. Peraturan Menteri ini juga ditetapkan dan mulai berlaku sejak 17 Mei 2005. (tri/ed)

Saturday, May 21, 2005

Capex XL Bakal Lampaui US$ 200 Juta

Jakarta-Persaingan bisnis seluler bakal makin sengit. Keseriusan Telekom Malaysia Berhad (Telekom Malaysia) memperkuat kepemilikan hingga 80% di PT Excelcomindo Pratama (XL) bakal mendorong perusahaan seluler itu makin agresif menggaet calon pengguna.
Capital expenditure (capex,red) pasti jauh lebih besar dari US$ 200 juta,” tutur Direktur Sales & Marketing Consumer Solution XL Rudiantara, kepada Investor Daily, baru-baru ini.
Sebagaimana diberitakan, CEO Telekom Malaysia Abdul Wahid Omar memastikan bahwa rapat umum pemegang saham (RUPS) Telekom Malaysia telah memberikan persetujuan untuk meningkatkan kepemilikan di XL hingga 80% via sebuah put dan call option. Dia mengatakan, waktu dari opsi tersebut akan tergantung pada pencatatan XL di lantai bursa. Terkait hal itu, CEO XL Christian de Faria memperkirakan pencatatan XL di lantai bursa akan berlangsung pada tahun ini. "Kami sedang bekerja keras membangun track record perusahaan. Kami juga tengah mempersiapkan untuk pencatatan. Barangkali kami akan melakukan pencatatan pada tahun ini," kata de Faria.Pertengahan Januari 2005, Telekom Malaysia melalui TM International secara resmi masuk ke XL. Tahap pertama Telekom Malaysia mengakuisisi sebanyak 23,1% senilai US$ 265,7 juta, dan sisanya sebanyak 4,2% saham senilai US$ 48,3 juta diharapkan terealisasi pada Maret 2005 lalu. Pascaakuisisi oleh TM International, komposisi pemegang saham XL terdiri dari; Telekomindo Primabhakti (60%), TM International (27,3%) dan Asia Infrastructure Fund (12,7%).
Mengacu pada transaksi di atas, setidaknya Telekom Malaysia harus merogoh koceknya hingga US$ 600 juta untuk menguasai 80% saham XL.
Menurut Rudiantara, manajemen XL saat ini masih menunggu langkah Telekom Malaysia untuk mewujudkan niatnya. “Yang pasti, agresifitas ekspansi perseroan berjalan pararel dengan upaya Telekom Malaysia mewujudkan niatnya. Saya belum tahu kapan kepastian penambahan saham tersebut,” kata Rudiantara.
Ia menjelaskan, agresifitas XL saat ini difokuskan untuk meningkatkan jangkauan ke wilayah yang belum terjangkau. “Sedangkan untuk yang sudah terjangkau, seperti Jawa-Bali-Lombok, terus ditingkatkan kualitas layanannya,” tambah dia.
Guna penguatan kualitas jaringan, untuk kawasan Jabodetabek saja, XL akan menambah 800 base transceiver station (BTS) sehingga menjadi 1.800 BTS. penambahan BTS indoor dalam jumlah yang cukup signifikan. Dengan penambahan itu, diharapkan kualitas sinyal XL di dalam gedung akan semakin baik. Target mereka, seluruh kecamatan di Jabodetabek akan terlayani dengan baik. Selain itu, XL akan memperluas jangkauan di area Sumatera termasuk Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi.
XL yang hingga kini memiliki sekitar 3,8 juta pelanggan, bersaing ketat dengan PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk. Kedua operator seluler itu masing-masing siap mengucurkan US$ 600 juta dan US$ 700 juta sepanjang tahun 2005. Pemimpin pasar seluler, PT Telkomsel, hingga kini telah mampu menggaet sekitar 18 juta pelanggan. Sedangkan Indosat sekitar 9,7 juta pelanggan.

Lisensi 3G
Rudiantara menuturkan, agar industri telekomunikasi lebih efisien, pemerintah semestinya memberikan lisensi frekuensi generasi ketiga seluler (3G) kepada operator eksisting. “Bagi operator eksisting,investasi per pelanggannya hanya sebagai tambahan, karena sudah memiliki infrastruktur,pelanggan dan pengalaman,” tukas dia.
Ia menambahkan, efisiensi tersebut dilihat dari sudut skala bisnis.
Saat disinggung pernyataan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie yang akan menender ulang lisensi 3G, Rudiantara menegaskan, langkah pemerintah untuk menerapkan equal treatment terhadap para operator seluler harus disambut positif. Namun, “Saya belum tahu mekanisme tendernya seperti apa. Apakah saling mengajukan harga tinggi seperti di Eropa atau sekedar beauty contest serta sekedar untuk menambah kocek pemerintah,” katanya.
Secara internal peralatan XL sudah siap dalam melaksanakan 3G.Kompetitor XL,
Telkomsel dan Indosat juga mengaku telah siap mengimplementasikan 3G. Telkomsel telah melibatkan tiga vendor yakni Nokia, Ericsson, dan Siemens. Sedangkan Indosat diperkirakan akan uji coba layanan 3G pada Agustus-September 2005. (ed)

Thursday, May 19, 2005

Bakrie & Brothers Bentuk Holding Infrastruktur

Jakarta- PT Bakrie & Brothers Tbk berencana mengembangkan divisi khusus infrastruktur, melalui merger, akuisisi dan perkuatan aliansi strategis, dan kemudian membentuk perusahaan holding khusus infrastruktur.
Melalui rencana-rencana demikian, perusahaan tersebut, menurut Presiden Direktur PT Bakrie & Brothers Tbk Bobby Gafur Umar, akan terus memantapkan komitmennya untuk menjadi perusahaan infrastruktur kelas dunia. “Kami bertekad untuk menjadi pemain utama di infrastruktur yang fokus ke infrastruktur migas dan pertambangan. Untuk itu, kami akan membentuk perusahaan holding. Sekarang sedang dalam proses pengkajian, analisa dan negosiasi. Mudah-mudahan tidak lama lagi selesai,” kata Bobby dalam siaran pers yang diterima Investor Daily, di Jakarta, Rabu (18/5).
PT Bakrie & Brothers Tbk melalui beberapa anak usahanya, seperti PT Bakrie Pipe Industries, PT Seamless Pipe Indonesia Jaya, PT South East Asia Pipe Industries dan PT Trans Bakrie, selama ini telah menekuni bisnis infrastruktur, khususnya infrastruktur migas.

Ganti Nama
Terkait komitmennya untuk menjadikan PT Bakrie & Brothers Tbk sebagai perusahaan infrastruktur kelas dunia, menurut Bobby, pihaknya terus memperkuat anak-anak perusahaan tersebut. Kemarin, misalnya, PT Trans Bakrie resmi berganti nama menjadi PT Bakrie Construction. “PT Bakrie & Brothers Tbk telah memberikan komitmen kepada kami untuk melakukan perluasan fasilitas di workshop dan meningkatkan terus kemampuan peralatan-peralatan yang ada di pabrik kami, dengan investasi sekitar Rp 25 milyar,” kata Presiden Direktur PT Bakrie Construction George Walker.
Dia menjelaskan, perusahaannya saat ini hampir kewalahan dalam mengerjakan order-order yang terus berdatangan. “Sekitar 40% dari dalam negeri dam 60% dari luar negeri. Sampai awal tahun 2006 nanti, pabrik kami Sumuranja (Serang, Banten, red.) saat ini beroperasi penuh dengan utilisasi yang optimal,” kata Walker.
PT Trans Bakrie merupakan perusahaan patungan antara PT Bakrie & Brothers Tbk dengan Transfield Construction dari Australia. Sejak tahun 1985 telah tercatat sebagai salah satu perusahaan konstruksi andal yang mengerjakan pabrikasi, konstruksi besi baja untuk kebutuhan bisnis-bisnis pertambangan, infrastruktur pelabuhan, pertambangan, petrokimia, pembangunan jembatan dan sebagainya.
“Seperti kata Pak Bobby, sebagai perusahaan konstruksi yang sudah berpengalaman, kami siap menjadi pemain utama di infrastruktur,” ujarnya.
Bobby menambahkan, hingga saat ini Indonesia sesungguhnya belum memiliki perusahaan konstruksi dan infrastruktur kelas dunia yang secara teknis terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Padahal, perusahaan-perusahaan Indonesia memiliki potensi besar untuk ikut berkiprah sebagai perusahaan kelas dunia di bidang pengembangan infrastruktur. “Kami sebagai perusahaan yang sudah sangat berpengalaman di bidang infrastruktur, ingin menjadi perusahaan kelas dunia seperti misalnya, Hyundai (Korea) dan Sembawang (Singapura) yang sudah mendunia,” ujar Bobby. (ed)

Wednesday, May 18, 2005

Pemerintah Pertahankan Saham di BUMN Telekomunikasi

JAKARTA-Menteri negara BUMN Sugiharto menyatakan, pemerintah akan mempertahankan kepemilikannya di BUMN Telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dan PT Indosat Tbk. Bahkan, jika dimungkinkan, pemerintah akan menambah kepemilikan sahamnya di kedua BUMN tersebut.
Sugiharto menyebutkan, saham pemerintah di Telkom kini tinggal 51% dan di Indosat hanya 15%. Anak perusahaan Telkom, PT Telkomsel, 35% sahamnya sudah dikuasai oleh Singapore Telecomm (SingTel). Sedangkan, pemegang saham mayoritas (41,9%) di Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia (STT). Baik STT maupun SingTel adalah milik Temasek, Singapura.
"Kita tidak lagi memiliki full control (kontrol penuh) yang diperlukan untuk melakukan check and balances. Saya tidak ingin ada distorsi maka pemerintah akan all out mempertahankan kepemilikan, kalau bisa saya tambah," tegas Sugiharto dalam Dialog Publik Restrukturisasi Frekuensi untuk Keunggulan Industri Infokom di Indonesia, di Jakarta, Selasa (17/5).
Pemerintah akan memperhatikan kebijakan finansial, seperti dividen dan penawaran saham dari kedua BUMN telekomunikasi itu. kebijakan dividen yang diharapkan hanya sebatas kebutuhan untuk menopang anggaran pemerintah. "Tidak lebih dari 50%," katanya. Mengenai Telkom yang diperkirakan mengusulkan dividen sebesar 40%, Sugiharto mengaku, belum mengetahui usulan tersebut. Tetapi, ia menilai angka tersebut masih dalam kisaran yang diharapkan pemerintah.
Sugiharto meminta agar kedua BUMN itu meningkatkan kinerjanya, terutama dalam percepatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Pembangunan tersebut diharapkan memiliki multiplier effect (efek berganda) dan memberikan nilai lebih bagi perusahaan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan dengan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

Lisensi 3G
Dalam kesempatan itu, Sugiharto mengungkapkan, adanya keluhan dari fund manager internasional mengenai alokasi frekuensi generasi ketiga (3G). Fund manager tersebut menilai, alokasi 3G merugikan perusahaan telekomunikasi terkemuka seperti Telkom dan Indosat.
"Saya mengimbau kepada menteri komunikasi dan informatika (menkominfo) untuk mengkaji ulang alokasi lisensi dan frekuensi 3G. Telkom dan Indosat seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam lisensi 3G," papar dia. Ia mencontohkan, di Jepang alokasi lisensi 3G harus dibayar mahal oleh enam operator yang menerimanya, yaitu sebesar US$ 46 miliar.
Sementara itu, Menkominfo Sofyan A Djalil mengatakan, Telkom tidak mendapatkan alokasi 3G karena pada waktu itu tender dibuka untuk non operator. "Tetapi kemudian ada operator yang mendapatkan lisensi, itu berarti kesepakatan kita langgar sendiri," kata Sofyan dalam forum tersebut.
Menurut dia, dideteksi adanya campuran teknologi yang digunakan dalam kanal yang seharusnya dipersiapkan untuk 3G sehingga frekuensi 10 MHz itu terbuang percuma.
"Prinsip pemerintah memberikan equal playing field (perlakuan yang sama), seluruh frekuensi 3G akan dibebaskan dulu kecuali Telkom karena adanya kesalahan kebijakan di masa lalu," tutur dia. Ia menegaskan, pemerintah akan menender ulang untuk alokasi frekuensi 3G ini. Sesuai mekanisme tender, bisa saja operator besar tidak mendapatkan alokasi frekuensi jika penawarannya lebih rendah dibanding penawar lainnya. Yang jelas, tender akan dilakukan setransparan mungkin.
Pemerintah telah memberi lisensi kepada dua operator baru, yaitu PT Cyber Access Communications (anak usaha Charoen Phokphand) dan PT Natrindo (Grup Lippo) pada 2004 masing-masing dengan frekuensi 30 MHz.
Menurut Menko Perekonomian Aburizal Bakrie yang hadir dalam seminar tersebut, industri informasi dan komunikasi Indonesia sedang berada di suatu persimpangan. “Banyak pelaku bisnis di bidang telekomunikasi yang mempertanyakan tentang alasan pemberian lisensi dan alokasi frekuensi di sektor telekomunikasi,” ujar dia.Salah satu tanggungjawab pemerintah, jelas Aburizal, adalah harus menjamin bahwa operator yang diberi lisensi spektrum frekuensi merupakan operator yang memiliki kemampuan teknis dan finansial. “Dan, pemerintah bertanggungjawab mencegah operator yang hanya mencari keuntungan jangka pendek semata,” kata Aburizal. (rie/ed)

Tuesday, May 17, 2005

‘Kerahkan 7.000 Pemasar Gempur Jakarta’

Kepala Divre II Telkom, Ermady Dahlan:

MENGELOLA divisi regional (divre) II PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang melintasi tiga provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, merupakan tantangan tersendiri bagi Kepala Divre II Telkom Ermady Dahlan.
“Kita berharap tetap menjadi leader di Jakarta. Saya pikir eksistensi Telkom sebagai pemegang flag carrier Indonesia tetap eksis,” tutur Ermady baru-baru ini, menjawab pertanyaan wartawan Investor Daily Edo Rusyanto, di Jakarta.
Pendapatan Divre II Telkom memberi kontribusi sekitar 60% dari total pendapatan Telkom non seluler.
Berikut petikannya.

Berapa target pelanggan untuk wilayah Divre II pada 2005?
Saat ini, pelanggan Telkom Divre II sekitar 3,3 juta pelanggan, dan hingga akhir 2005 kita proyeksikan pelanggan menjadi 3,6 juta. Jumlah itu total pelanggan, telepon kabel (fixed wireline) dan telepon tanpa kabel (fixed wireless access/FWA) Telkom Flexi. Target Flexi akan terlewati 20 hingga 25%. Total target Flexi 492 ribu.

Bagaimana dengan jumlah pelanggan internet?
Speedy (produk layanan internet Telkom, red) hingga kini telah mencapai 15 ribu pelanggan. Hingga akhir 2005 sekitar 75 ribu. Kita selalu optimistis dapat tercapai.

Bagaimana Anda menembus persaingan bisnis telekomunikasi di Jakarta?
Dari delapan program excellent dalam rangka Gempar (gelar pemasaran dan pelayanan) 135, kita punya program service quality improvement (peningkatan kualitas service). Kita menyadari bahwa tidak sendiri di pasar. Kita harus cukup menarik di mata pelanggan. Kalau dulu saat monopoli, ketika pelanggan ditanya kenapa milih Telkom karena tidak ada lagi. Sekarang sudah banyak yang lain.
Program ini sasarannya agar kita merasa membutuhkan pelanggan. Dulu teman-teman saya gak perlu keluar kantor karena pelanggan datang sendiri. Dalam program Gempar 135 jumlah karyawan yang keluar kantor mencari pelanggan ditingkatkan menjadi tiga kali lipat dari biasa. Itu yang langsung.
Sedangkan yang tidak langsung, seluruh pegawai Divre II punya tanggung jawab mendatangi pelanggan. Kalau menunggu, akan dicegat kompetitor kita.
Sekarang jumlah pegawai yang besar menjadi suatu nikmat, kita punya 7.000 karyawan. Perusahaan telekomunikasi mana yang punya tenaga sales sebanyak 7.000? Bahkan, sekarang kita libatkan keluarga karyawan. Seperti istri, adik istri, anak dan sebagainya. Kalau masing-masing punya lima keluarga, tenaga pemasaran kita menjadi 35 ribu.
Kalau kita memble, katanya mental pegawai negeri. Saya lebih senang kita agresif dan disebut Telkom ini mau makan sendiri.

Apa hasilnya dari program Gempar 135?
Gempar 135 mendorong sales meningkat dua kali lipat. Ini sejalan dengan sasaran saya yang pertama yakni bagaimana tetap membesarkan market share karena kita sadar pertumbuhan revenue andalan utamanya itu sales.
Andalan produk kita itu Flexi dan Speedy, selanjutnya data dan internet. Selain kita mempertahankan dan meningkatkan kualitas layanan maupun produk kita di fixed wireline yang ada sekarang yaitu jumlahnya tiga juta lebih di Jakarta. Programnya ada fix to fix ada cordless. Karena wireline itu adalah satu yang bisa membedakan Telkom dengan yang lain. Saya pikir competitor Telkom tidak pernah punya wireline sebesar itu.

Apa saja jurus yang digunakan untuk mencapai target Anda?
Program kita adalah bagaimana market share masih dapat ditumbuhkan. Tidak saja hanya memburu customer-customer yang kita anggap sebagai target market kita, juga couple dengan itu kita tingkatkan pelayanan. Caranya, pertama sales quality improvement. Peningkatan kualitas sales dengan memilih pelanggan yang rate-nya bagus. Dulu pelanggan bisnis didahulukan. Sekarang kriteria ditambah tidak saja dari sisi kualitas kontribusi, tapi dari sisi kualitas ter-collect-nya. Kedua, service quality improvement (peningkatan kualitas service). Kita menyadari bahwa tidak sendiri di pasar. Kita harus cukup menarik di mata pelanggan. Lalu yang ketiga carring quality improvement. Sebelum pelanggan complain kita care banget. Bukan semata slogan. Kita berpersepsi, setiap customer tidak pernah salah. Pada saat pelanggan complain dan tidak terselesaikan itu dieskalasi ke atas.

Hanya itu saja? Ada program lainnya?
Program keempat, asset productivity and growth. Kita tahu ke depan, efisiensi menjadi nomor satu bagi perusahaan. Contohnya, walau kami tidak lagi membangun kabel tembaga maka kabel yang ada kita teliti benar berapa yang tersisa dan jaringan yang ada tetap kita pasarkan. Kabel-kabel yang sudah tua diupayakan pergantian termasuk dengan serat optik. Program kelima, billing quality improvement. Di dalam persaingan sensitifitas masyarakat tidak hanya pada pricing. Tapi, dia bisa membandingkan mana yang lebih murah dan lebih nyaman. Berapa yang dipakai dan dibayar seimbang. Pekerjaan ini sudah sejak lama dilakukan. Kita ingin mereduksi ketidaknyamanan pelanggan. Program selanjutnya, usage quality improvement. Kita menyadari bisnis telekomunikasi bukan penjualan produk, tapi dari penggunaan. Kita tahu operator lain sudah banyak maka kita ingatkan agar pesawat telepon Telkom yang sudah dipunyai untuk digunakan. Program lainnya adalah cost reduction productivity. Kita mengupayakan mengurangi biaya. Seperti tidak ada lagi surat internal yang pakai kertas. Kita pakai intranet.

Ngomong-ngomong, Telkom tidak fair membebani pelanggan dengan biaya intagjastel Rp 2.000 per bulan?
Saya yang memulai penerbitan invoice tagihan jasa telepon (intagjastel). Pada saat tagihan digratiskan, beban biaya ditanggung Telkom. Saya tanya ke masyarakat, kenapa tidak digunakan intagjastel itu? Hanya disusun saja di dapur. Ngapain Telkom mengeluarkan uang yang tidak dibutuhkan. Makanya saya buat konsep ini dibebankan ke customer. Kita umumkan di media massa bahwa mulai bulan ini dibebankan ke customer. Kita juga sosialisasikan by call. Kalau customer tidak butuh, bell 147, tidak kita kirim. Respons masyarakat banyak yang minta tidak dikirim, dan kita tidak kirim. Bahkan, yang tidak dikirim itu saat akan membayar ke Telkom tidak tahu jumlah tagihannya. Akhirnya jadi mau dikirim lagi. Penerapan pembebanan biaya invoice tagihan kepada masyarakat dilakukan sekitar tahun 1999. sekarang masih terbuka, jika customer tak mau dikirim, akan distop.

Telkom mengelola sendiri pengiriman intagjastel?
Kita tidak tangani sendiri. Kita outsource ke perusahaan yang punya mesin cetak dan kurir. Ada juga yang melibatkan kantor Pos. Tiap daerah berbeda. Tapi, tidak terafiliasi dengan Telkom. *

Friday, May 06, 2005

Pekan Depan Pemenang Tender Jasuka Diumumkan

JAKARTA-Teka-teki pemenang tender serat optik Jawa-Sumatera-Kalimantan (Jasuka) akan diumumkan pekan depan. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) selaku penyelenggara tender memastikan vendor yang mengajukan harga termurah, pasti terpilih memenangi tender.
“Minggu depan diumumkan, yang lebih murah kita pilih,”kata Abdul Haris, direktur bisnis jaringan Telkom, Rabu (4/5).
Menurut sumber Investor Daily,dari dua peserta yang lolos tahap akhir tender, yakni NEC Corp. (Jepang) dan Alcatel (Prancis), ada kecenderungan yang bakal memenangi tender tersebut adalah NEC. “Alasannya, NEC mengajukan harga yang lebih murah,” ujar sumber tadi.
Ia menambahkan, NEC yang menggandeng Siemens mampu menawarkan lebih murah untuk produk submarine (bawah laut),sedangkan untuk terestial (daratan) Alcatel justru lebih murah. Namun, produk Alcatel memiliki kualitas lebih baik. “Kebutuhannya adalah teresterial 30% dan 70% submarine,” katanya.
Abdul Haris yang dikonfirmasi mengenai kemungkinan NEC memenangi tender proyek senilai Rp 500 miliar itu, enggan menjawab detail. “Kalau nggak NEC ya Alcatel, lihat saja nanti,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Telkom Kristiono mengatakan, kriteria pemenang tender pelaksana proyek Jasuka adalah vendor yang bisa memberikan biaya paling murah (kompetitif). Hal itu sejalan dengan upaya perseroan dan industri telekomunikasi pada umumnya, yang terus-menerus berupaya melakukan efisiensi baik di dalam capital expenditure (capex) maupun operational expenditure (opex).
“Kita khan harus kasih harga end user murah, dengan margin tetap, marginnya kita harus jaga terus,” kata Kristiono, belum lama ini.
Ia juga berharap secepatnya bisa menyelesaikan proses tender itu, mengingat kebutuhan jaringan memang sudah mendesak. Perseroan menargetkan operasional proyek Jasuka dapat digelar awal tahun 2006.
Namun, Telkom tetap akan memperhatikan harga yang ditawarkan vendor. Diharapkan, biaya pelaksanaan proyek Jasuka benar-benar dapat merasionalisasi biaya secara signifikan.
Bahkan, Kristiono juga mengatakan tidak tertutup kemungkinan, pihaknya akan menggunakan alternatif, seperti tender ulang, untuk mendapatkan vendor yang tepat. “Ada alternatif untuk itu, kenapa enggak, Kita harus selalu terbuka, proses harus selalu fleksibel untuk mencapai kondisi terbaik,” paparnya.
Sementara itu, pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengungkapkan, proyek ini memiliki peran strategis bagi Telkom. Sebab, proyek jaringan serat optik ini yang akan menghubungkan jaringan-jaringan lokal perseroan. “Kondisi geografis Indonesia yang unik, memang memerlukan backbone yang dapat menghubungkan jaringan lokal,” katanya, Rabu.
Ia menjelaskan, jaringan serat optik yang dibangun Telkom ini akan memiliki kemampuan yang jauh lebih besar ketimbang jaringan kabel tembaga. Karena, jaringan kabel optik memiliki kapasitas bandwidth dan trafik yang besar. Dia juga yakin dengan proyek ini Telkom akan mampu menghubungkan jaringan telekomunikasi antarpulau. Sehingga, akan memberikan keuntungan bagi bisnis telekomunikasi lokal dan jarak jauhnya secara optimal.
Di samping itu, kata dia, proyek Jasuka dinilai juga akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan telekomunikasinya.
Selain Alcatel dan NEC, peserta tender proyek serat optik berkemampuan tinggi dengan sistem ring tersebut adalah Fujitsu, Lucent Technology, Siemens dan Tyco System.
Sebelumnya, Kepala Divisi Long Distance Telkom Sarwoto Atmosoetarno menjelaskan, proyek jaringan serat optik tersebut membentang dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan sepanjang 2.000 km. Jaringan tersebut melintasi daratan dan lautan. Pembangunannya diharapkan tuntas dalam setahun untuk selanjutnya dihubungkan dengan backbone yang lebih dulu dibangun Telkom.
Dengan sistem ring maka diharapkan kekhawatiran terganggunya layanan Telkom akibat rusaknya jaringan dapat dieliminir. “Dengan sistem ring, jika terjadi kerusakan di salah satu jalur maka secara otomatis akan mencari jalur lain yang tidak rusak,” kata Abdul Haris.
Backbone sistem ring Telkom yang telah rampung adalah proyek Dumai Malaka Cable System (DMCS) yang menelan biaya sekitar U$ 9,3 juta. Untuk proyek itu Telkom menggandeng Telekom Malaysia Berhad. Kedua perusahaan itu menjalin kerjasama membangun Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) untuk menyalurkan trafik telekomunikasi internasional. Proyek DMCS itu, menggelar kabel fiber optik di bawah laut, secara langsung (unrepeated submarine optical cable) dengan memiliki kapasitas maksimum 320 Gb/s atau setara dengan 3,87 juta cct. Kapasitas yang sudah terpasang untuk tahap awal (initial) saat ini adalah 20 Gb/s atau setara dengan 121 ribu cct. Perangkat dan kabel yang digelar, didesain untuk memiliki usia teknis sampai 25 tahun. Untuk menjaga kehandalan sistemnya, DMCS ini juga dinterkoneksikan dengan SKKL Dumai-Batam (High Performance Back Bone Sumatera), jaringan Thailand-Indonesia-Singapore dan South East Asia Middle East-Western Europe (SEAMEWE-4) sehingga membentuk konfigurasi cincin (ring) yang saling menjadi back up satu sama lain.
Selain itu, Telkom juga telah membangun jaringan telekomunikasi trans Kalimantan dan Sulawesi, Proyek yang diresmikan 17 Februari 2005. Jaringan itu membentang dari Ujung Pandang sampai ke Palu kemudian disambungkan ke Banjarmasin terus ke Surabaya. Dana yang dibutuhkan untuk proyek tersebut sedikitnya mencapai Rp 222,6 miliar.Backbone jaringan serat optik lainnya adalah High Performance Back Bone (HPBB) Sumatera senilai Rp 650 miliar. Proyek yang dikerjakan Siemens - Pirelly tersebut merupakan sistem komunikasi serat optik dengan menggunakan teknik modulasi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM). (ed/tri)

Wednesday, May 04, 2005

Catatan Dari Proyek Tol Cipularang II

Alambai, Sang “Arsitek” Tol Cipularang

Waktu tempuh jalan darat Jakarta-Bandung hanya 1,5 jam. Hal itu terwujud setelah jalan tol Cipularang tahap II yang menghubungkan Jakarta-Cikampek-Purwakarta-Padalarang rampung dibangun PT Jasa Marga (Persero) akhir April 2005. selanjutnya, ruas tol tersebut terhubung dengan jalan tol Padalarang – Cileunyi (Padaleunyi).
Pembangunan jalan tol Cipularang II sepanjang 41 kilometer (km) itu menelan dana sekitar Rp 1,6 triliun. Total panjang tol Cipularang (tahap I dan II) sepanjang 59 km. Tol Cipularang Tahap I sepanjang 18 km menghubungkan Dawuan-Sadang (12 km) dan Padalarang-Bypass atau Cikamuning-Padalarang (6 km), sudah dioperasikan sejak tahun 2003. Sedangkan tol Cipularang tahap II, membujur dari Sadang (Purwakarta Utara) hingga Cikamuning (Padalarang Barat).
Menurut Direktur Utama PT Jasa Marga Syarifuddin Alambai pembangunan tol Cipularang merupakan proyek yang cukup sulit. Maklum, ruas tol tersebut dipenuhi bukit dan lembah dalam yang membutuhkan banyak kegiatan cut and fill (pengerukan dan penimbunan). Sebelum membangun tol tersebut, biasanya medan jalan tol yang dikerjakan Jasa Marga datar saja.
Alambai memang tidak bisa dipisahkan dari proyek Tol Cipularang. Karena itu, permintaan Presiden Megawati agar Jasa Marga merampungkan pembangunan Cipularang tahap II dalam satu tahun, langsung disambar Alambai. Permintaan yang diajukan Megawati saat meresmikan Cipularang tahap I awal Januari 2004 itu, disambung dengan penandatanganan kontrak pekerjaan pada 7 April 2004. Targetnya, harus rampung sebelum delegasi negara-negara Asia Afrika memperingati 50 tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 24 April 2005. “Mau bagaimana lagi? Kami tidak ditanya bisa atau tidak. Yang penting tol itu sudah harus selesai sebelum 24 April 2005,” kata Syarifuddin. Karena itu tanpa membuang waktu, pria kelahiran Sugihwaras, Sumatera Selatan, 3 Juni 1942 ini pun, segera bekerja. Pembangunan Cipularang II akhirnya rampung sesuai target. Para delegasi dari 157 negara peserta KTT Asia Afrika akhirnya dapat melintasi mulusnya tol Cipularang.
* * *
Bagaimana tol tersebut bisa rampung dalam waktu satu tahun? Sebagai perbandingan, selama 1978 (pembangunan jalan tol Jagorawi) sampai 1997 (saat dihentikannya seluruh pembangunan proyek besar termasuk jalan tol) Indonesia hanya berhasil membangun 570 km jalan tol atau 30 km per tahun.
Sedangkan tol Cipularang II sepanjang 41 km bisa rampung sekitar satu tahun.
Alambai menuturkan, langkah pertama yang dia lakukan adalah memecah proyek jalan itu menjadi sembilan paket pekerjaan, setelah itu baru menenderkannya. Tujuannya, agar proyek tersebut dapat dikerjakan oleh sembilan kontraktor yang memenangi tender secara serentak selama 24 jam (tiga shift). Untuk pekerjaan besar ini, termasuk konstruksi khusus pada empat jembatannya, Alambai sebagai magister teknik Universitas Indonesia (UI) dengan spesialisasi manajemen proyek itu, sama sekali tak melibatkan tenaga ahli asing. Ia hanya meminta masukan para pakar jembatan dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasilnya, untuk tiang jembatan Jasa Marga memutuskan menggunakan I-girder (balok beton berbentuk huruf I) yang sudah di-prestress. Untuk membangun pondasi, juga memancangkan tiang itu di kedalaman lembah, ia mendatangkan launcher, alat khusus yang mampu mengangkat balok beton hingga 60 meter sebagai pengganti crane. Dengan demikian alat canggih dari Italia ini untuk pertama kalinya dipergunakan di Indonesia di proyek tol Cipularang.
Sementara untuk pembiayaan, ayah empat anak ini melansir skim pembiayaan contractor full pre finance (CPF). Polanya, kontraktor membiayai sendiri sepenuhnya pembangunan proyek yang dikerjakannya dengan kredit bank dengan jaminan Jasa Marga, setelah proyek selesai dan diserahkan Jasa Marga mencicil pinjaman tersebut ke bank selama lima tahun. Dengan pola pembiayaan itu, cash flow Jasa Marga tidak terganggu.
Pembangunan Cipularang II tidak berjalan mulus. Kerap terjadi longsoran timbunan atau galian. Maklum, ada 10 bukit yang dipapas yang menghasilkan 18 juta meter kubik galian dan timbunan. Tak heran, jika Alambai harus terus mengontrol pembangunan proyek prestius tersebut.
Kerumitan pembangunan Cipularang II, kata Alambai yang mantan Direktur Peralatan Jalan PU (1982 – 1989) itu, di antaranya adalah pembangunan jembatannya yang memerlukan konstruksi khusus. Jembatan Cikubang di Cikalongwetan (Kab Bandung) misalnya, ketinggiannya mencapai 60 m (tertinggi di Indonesia), sehingga pembangunan tiangnya menimbulkan persoalan tersendiri. Pasalnya, crane yang selama ini digunakan di berbagai proyek konstruksi hanya mampu mengangkat balok beton hingga 30 meter. Persoalan serupa terjadi pada Jembatan Cipada di Cipatat (Kab Bandung) yang tercatat sebagai jembatan tol dengan rentang terpanjang di negeri ini (700 m).
Konsesi Cipularang semula dipegang oleh PT Citra Ganesha Marga Nusantara. Namun, konsesi dicabut pada 2000 dan dialihkan ke Jasa Marga dua tahun kemudian akibat krisis ekonomi. Citra Ganesha mendesain pengerjaan jalan tol selama tiga tahun. Mereka harus menggandeng Travalgar, investor asal Inggris, untuk mendukung pembiayaan dan teknis konstruksinya.
Tol Cipularang II tercatat menggunakan 25.000 ton besi beton, 523.000 ton semen, 1,3 juta meter kubik batuan split, 514.000 meter kubik pasir, dan menyerap 50.000 tenaga kerja mulai dari tenaga ahli sampai buruh dengan melibatkan 30 perusahaan konsultan dan kontraktor. Kini, tol yang sedang diujicoba bagi umum itu sedang menunggu peresmian dan penetapan tarif. Jasa Marga mengusulkan tarif Cawang – Cikampek – Purwakarta – Padalaleunyi (keluar di pintu tol Pasteur) sepanjang 115 km sebesar Rp 29.000 (kendaraan kecil), Rp 42.500 (bis umum) dan Rp 57.000 (truk besar). “Jika dihitung rata-rata Rp 335 per km,”kata Alambai. Tentu saja lebih murah dibandingkan tarif kereta api Argo Gede yang berkisar Rp70 hingga Rp 75 ribu per orang. (edo rusyanto)

Tuesday, May 03, 2005

Jakarta Monorail Tetap Gandeng Mitra Asing

JAKARTA-PT Jakarta Monorail (JM) mempertimbangkan agar pembuatan monorel di suplai keseluruhannya oleh produsen dalam negeri. Namun, demi mencapai target waktu, JM akan tetap menerapkan pola kerja sama dengan asing pada tahap awal pembangunan.
“Untuk proyek-proyek lanjutan nantinya akan dapat disuplai secara full oleh industri dalam negeri,” kata Sukmawaty Syukur, direktur operasional JM, kepada Investor Daily, Senin (2/5).
Hal itu diungkapkan Sukma menanggapi penawaran untuk membuat monorel yang diajukan oleh konsorsium produsen dalam negeri (dimotori Bukaka Group) untuk bersaing dengan proposal penawaran dari Korea dan Cina. Pihak JM masih terus mengkaji untuk menentukan hal tersebut.
“Sampai saat ini kami masih mengkaji penawaran supplier yang akan dipilih berdasarkan beberapa kriteria yang telah disepakati dengan Pemprov DKI Jakarta,” ujar Sukma dalam siaran persnya, pekan lalu.
Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, belum mengetahui keterlibatan Bukaka sebagai salah satu suplier pada pelaksanaaan pembangunan monorel. “Dari laporan perkembangan terakhir sepertinya belum ada keterangan mengenai keterlibatan PT Bukaka,” kata Wagub di Jakarta, Senin (2/5).
Kehadiran Bukaka Group di proyek senilai US$ 670 juta itu, sempat mencuat sekitar pertengahan Maret 2005. Kabar santer yang beredar di kalangan wartawan, kehadiran Bukaka akan mempermulus keluarnya izin dari Sekretariat Negara terkait pemanfaatan lahan di seputar Gelora Bung Karno. Sebagaimana diberitakan, izin dari Sekneg agak tersendat sehingga menimbulkan pertanyaan dari calon investor proyek bergengsi tersebut.
Menurut Sukma, terdapat beberapa pertimbangan untuk menentukan supplier. Antara lain, memperhitungkan kualitas, harga dan skema finansial yang ditawarkan dan paling penting kesiapan memenuhi jadwal delivery time monorel yang cukup ketat.
“Kami berharap harga dapat lebih rendah serta tawaran skema finansial dan persyaratan dapat meringankan beban biaya proyek sehingga kemungkinan permintaan subsidi dapat dihilangkan,” kata dia.
Mengenai perkembangan proyek yang akan didanai pinjaman US$ 470 juta itu, Direktur Utama JM Ruslan Diwirjo mengatakan, pihaknya tengah mengerjakan pembangunan monorel. “Kita sedang mempersiapkan lahan untuk tiang pancang jalur monorel di sepanjang Jalan HR Rasuna Said Kuningan, “ujarnya.Kemudian mengenai teknologi yang akan digunakan, menurut Ruslan, pihaknya masih terus mengkaji untuk mencari teknologi terbaik serta harga yang baik pula.Seperti diberitakan, penggunaan teknologi Hitachi Jepang masih belum final, masih dalam tahap negosiasi. JM juga masih mempertimbangkan alternatif lain seperti teknologi yang ditawarkan oleh Cina dan Korea Selatan. Untuk perbandingan teknologi tersebut, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso bahkan melakukan studi banding ke Cina dan Korsel.

INKA Diharapkan Terlibat
Pembangunan monorel yang direncanakan sebagai moda utama transportasi di DKI Jakarta, diharapkan dapat melibatkan PT Industri Nasional Kereta Api (INKA). Keterlibatan itu terutama dalam pembangunan gerbongnya.Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan, pihaknya telah meminta kepada negara-negara yang diperkirakan akan bekerja sama dalam pembangunan monorel, agar pembuatan gerbong dilakukan di Indonesia mengingatdi Tanah Air ada pabrik gerbong yang cukup representatif.“Saya sudah meminta kepada perusahaan dan pemerintah dimana saya melakukan studi banding tentang monorel itu diantaranya di Cina dan Korea, agar gerbong monorelnya bisa dibuat di Indonesia saja karena Indonesia sudah memiliki pabrik gerbong yang representatif. Dan mereka menyetujui itu kalau memang standar yang dikehendaki bisa dibangun di INKA,” ujarSutiyoso, pekan lalu, di Istana Wapres, Jakarta.Untuk itu, Sutiyoso berharap PT INKA mau proaktif menangkap peluang tersebut dan memaparkan kepada konsorsium pembangunan monorel mengenai kemampuan yang dimilikinya. Menurut dia, bila pembangunan gerbong monorel dilakukan oleh PT INKA maka dapat menimbulkan efek domino yang sangat positif, yakni adanya peluang investasi, membuka peluang kerja terhadap ratusan ribu orang, serta kebangkitan produksi dalam negeri.Pada kesempatan tersebut, Sutiyoso juga mendesak konsorsium pembangunan monorel Jakarta yang terdiri dari lima negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong dan India, untuk segera memutuskan teknologi, harga, serta pembiayaan mana yang akan digunakan dalam pembangunan monorel. Saat ini, ada lima negara yang menawarkan alternatif teknologi monorelnya kepada Pemprov DKI Jakarta, yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa dan Kanada.
Menurut rencana, proyek monorel Jakarta akan terdiri dari dua jalur yaitu green line yaitu jalur berputar sepanjang 14,8 km dari Gedung BEJ-Stadion Gelora Bung Karno-Plaza Senayan-TVRI-Taman Ria Senayan-Gedung MPR/DPR-Pejompongan-Karet-Sudirman-Setiabudi Utara-Kuningan Sentral-Taman Rasuna-Casablanca-Grand Melia-Satria Mandala dengan 14 stasiun.Selain itu, blue line yang merupakan jalur memanjang sepanjang 12,2 km dari Kampung Melayu-Tebet-Dr Sahardjo-Menteng Dalam-Casablanca-Ambassador-Dharmala Sakti-Menara Batavia-Karet-Kebon Kacang-Tanah Abang-Cideng-Roxy dengan 15 stasiun. (abe/ed/val/tp)