Sunday, October 06, 2002

Volume Boleh Turun, Nilai Nanti Dulu

Menanti Kenaikan Cukai Rokok (3-habis)

SEBERAPA tahan emiten industri rokok menghadapi gempuran regulasi bernada menyudutkan industri rokok?
Ada baiknya kita tengok kinerja mereka sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Dari empat raksasa produsen rokok yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sepanjang tahun 1999-2001, tiga diantaranya terus mencatat pertumbuhan penjualan bersih. Mereka adalah PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). Hanya PT British American Tobacoo Indonesia Tbk (BATI) yang terus membukukan penurunan penjualan bersih.
Produsen rokok putih, BATI pada tahun 2000 membukukan penurunan penjualan bersih sekitar 13,9 persen dibandingkan setahun sebelumnya, yakni menjadi Rp 874, 202 miliar, dari Rp 1,015 triliun. Tahun lalu BATI membukukan penurunan penjualan bersih 22,4 persen, menjadi Rp 713,986 miliar dibandingkan tahun 2000 senilai Rp 874,202 miliar.
Produsen rokok nomor wahid, GGRM, terus membumbungkan nilai penjualan bersihnya. Tahun 2000 naik 17,9 persen dibandingkan tahun 1999, sedangkan tahun 2001 naik 20,1 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Demikian juga dengan HMSP dan RMBA. Kenaikan HMSP pada tahun 2000 dan tahun 2001 masing-masing, 35,3 persen dan 40,3 persen. RMBA pada kedua tahun itu naik sekitar 42 persen dan 76,1 persen.
Masing-masing emiten rokok memang memiliki unit usaha non rokok. Misalnya RMBA, memiliki unit usaha taman rekreasi atau HMSP yang memiliki unit usaha ritel Alfa Grosir. Unit usaha lainnya seperti perusahaan kertas dan percetakan umumnya memiliki fokus penjualan ke induk usahanya masing-masing. Bisnis rokok masih menjadi pendapatan utama keempat emiten tersebut.
Sehingga jika memotret pendapatan selama tiga tahun terakhir itu, rasanya para produsen rokok masih memiliki otot untuk mendapatkan pemasukan. Meski mungkin secara volume penjualan rokok terjadi penurunan. Tapi bukankah yang penting nilai penjualan itu sendiri? Soal tercekiknya konsumen karena membeli rokok dengan harga lebih mahal, rasanya tidak terlalu memusingkan para produsen.

* * *

Potret kinerja mereka mungkin kurang lengkap jika tidak kita lihat performa terkini mereka. Paling tidak hingga semester pertama tahun 2002.
Kita mulai dari raksasa nomor satu. GGRM selama semester pertama 2002 berhasil sukses meraih angka penjualan bersih sebesar Rp 10,39 triliun atau naik 25,1 persen, dibandingkan periode sama 2001 yang hanya mencapai Rp 8,3 triliun. Dari angka penjualan tersebut GGRM mencatat kenaikkan 13,9 persen dalam laba operasi perseroan pada semester pertama tahun ini menjadi Rp 1,72 triliun dari Rp1,51 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Ujung-ujungnya laba bersih GGRM per 30 Juni 2002 meningkat 17,3 persen menjadi Rp 1,08 triliun dibandingkan semester pertama tahun lalu sebesar Rp 920,09 miliar. Dan, sampai tengah tahun ini GGRM telah memproduksi 32,8 miliar batang rokok.
Menurut data Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Indonesia (Gappri) hingga kini masih merupakan produsen dengan pangsa pasar terbesar, dengan menguasai 31,5 persen dari total pangsa pasar rokok domestik. Posisi kedua ditempati produsen non emiten, Djarum Group dengan 21,9 persen.
Sementara produsen rokok lain, RMBA selama semester pertama tahun ini mencatat penjualan bersih Rp2,2 triliun atau terdongkrak 24 persen daripada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,8 triliun. Meski dari sisi penjualan bersih naik tapi volume penjualan RMBA turun hampir setengah dari volume semester pertama tahun lalu sebanyak 4 miliar batang menjadi 2,8 miliar batang.
Begitu pula penurunan juga terjadi pada laba bersih RMBA. Produsen yang mempunyai rokok andalan merek Star Mild ini pada semester pertama 2002 laba bersih turun 31,4 persen dari Rp103,5 miliar pada semester pertama tahun lalu menjadi Rp71,04 miliar. “Penurunan ini terjadi karena meningkatnya beban usaha seperti pajak, cukai dan harga bahan baku,” kata YW Junardy, Direktur Utama RMBA. Turunnya laba bersih ini, lanjut dia, mengakibatkan laba bersih per saham turun dari Rp15,9 menjadi Rp 10,9.
HMSP sepanjang semester pertama tahun 2002 boleh saja mencatat penurunan volume penjualan hingga 4,7 persen, dibanding periode sama tahun 2001. Tapi, coba tengok nilai penjualannya. Turun juga? Nanti dulu, justru lompat hingga 17,1 persen, dibanding per akhir Juni 2001. Faktornya apalagi kalau bukan akibat kenaikan harga jual yang memang bertubi-tubi sepanjang awal tahun ini. Penjualan perseroan naik menjadi Rp 7,5 triliun dibanding semester pertama tahun lalu sebesar Rp 6,4 triliun. Sedangkan laba usaha naik tipis menjadi Rp 1,37 triliun dibandingkan pada periode sama tahun 2001 sebesar Rp 1,36 triliun. Dari sisi laba bersih, per 30 Juni 2002 terlihat adanya kenaikan sangat signifikan 255 persen menjadi Rp 887,92 miliar dari Rp 249,89 pada periode sama tahun lalu.
Mungkin produsen rokok yang kurang beruntung pada semester pertama 2002 adalah BATI. Pasalnya, produsen penghasil rokok putih ini penjualan bersihnya hanya naik tipis 0,78 persen menjadi Rp376,9 miliar setelah dipotong cukai tembakau dan PPN dari peroleh penjualan kotor Rp 866,4 miliar.
Menurut Direktur Keuangan BATI, Rohit Anand kendala yang dialami BATI adalah kenaikkan harga jual secara reguler yang mempengaruhi volume penjualan. Meski demikian per 30 Juni 2002 BATI masih bisa mendongkrak perolehan laba bersih hingga 10,8 persen menjadi Rp57,17 miliar daripada periode sama tahun lalu sebesar Rp51,56 miliar.
Jika dilihat dari market share, per 30 Juni 2002 ini BATI menguasai 4,1 persen dari total pangsa pasar industri rokok nasional. BATI bersaing ketat dengan PT Philip Morris Indonesia (PMI) pemilik merk rokok Marlboro. PMI sepanjang kurun 6 bulan pertama tahun ini justru mencatat peningkatan volume penjualan.

* * *

Sesungguhnya, seberapa besarpun tarif cukai akan dinaikan oleh pemerintah, kinerja keempat emiten rokok boleh dibilang tidak seloyo produsen rokok kelas menengah dan kecil yang jumlahnya ratusan perusahaan. Keempat produsen itu masih mampu berdiri kokoh. (edorusyanto)

Saturday, October 05, 2002

Mendulang Uang dari Sunset Industry

Menanti Kenaikan Cukai Rokok (Bagian 2)

PERNYATAAN industri rokok sebagai sunset industry tidak main-main. Di sisi lain, pemerintah masih berharap banyak pemasukan dari linting melinting tembakau. Agar tidak terpeleset melulu sekedar mendulang uang dari industri rokok, pemerintah sebenarnya punya pilihan netral. Merawat industri tetap hidup dengan pungutan tidak terlalu memberatkan, di sisi lain terus mendorong kampanye hidup sehat tanpa asap rokok.
Pangkal stempel sunset industry tidak lain adalah terus bergulirnya pemahaman masyarakat bahwa merokok itu merusak kesehatan.
Di tanah air Presiden BJ Habibie melalui Keputusan Presiden No.81 tahun 1999 tentang Pengamanan Bahaya Merokok Bagi Kesehatan jelas-jelas menggiring industri rokok semakin ketat untuk menjaga konsumennya agar tidak kabur. Selain lewat aturan ketentuan kandungan tar harus 1 miligram dan nikotin 20 miligram, membuat konsumen rokok di tanah air -- sebagian besar pecinta kretek, mesti kehilangan aroma khas rokok kretek. Pemasangan iklan di media elektronik, khususnya siaran televisi hanya bisa di atas pukul 21.30. Belum lagi ketentuan kawasan bebas asap rokok. Hanya saja aturan yang ini hingga sekarang belum memiliki petunjuk pelaksana, kawasan mana saja yang haram ada asap rokok. Ketentuan itu semua direvisi semasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, lewat Keputusan Presiden No.38 tahun 2000. ada toleransi waktu bagi industri Sigaret Kretek Mesin (SKM) untuk mengimplementasikan ketentuan kadar tar dan nikotin selama tujuh tahun setelah Keppres dikeluarkan, dan sepuluh tahun bagi produsen Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Dalam Keppres ini juga diisyaratkan berdirinya Lembaga Pengkajian Rokok (LPR) sebagai lembaga kontrol atas implementasi kedua keppres di atas.
Konsekuensi segala aturan itu apalagi kalau bukan merosotnya jumlah konsumen rokok. Dengan catatan tingkat pemahaman publik atas bahaya kandungan rokok semakin tinggi.

* * *

Belum lagi kedua keppres tadi menancapkan taringnya terlalu dalam di industri rokok. Tidak lama lagi akan muncul konvensi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Jika tidak ada perubahan, konvensi ini akan ditandatangani Mei 2003 oleh sedikitnya 180 organisasi di dunia yang tergabung dalam Framework Convention Alliance (FCA). Tidak tanggung-tanggung, aktifitas utama FCA adalah menyusun pola penanggulangan rokok di berbagai belahan dunia serta menjamin FCTC. Konvensi ini “mutlak” diratifikasi oleh setiap pemerintahan yang ada di jagat ini. Tidak terkecuali, Indonesia.
Setidaknya ada 10 isu utama dari FCTC ini. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) bahkan telah menyurati menteri kesehatan. Menurut PDPI ke-10 isu tadi antara lain; pertama, soal iklan. Iklan rokok dalam segala bentuknya harus dilarang. Atau , setidaknya benar-benar dibatasi keberadaanya agar tidak menyesatkan masyarakat. Kedua, penyelundupan. Penyelundupan harus dicegah dengan menggunakan sistem pencatatan yang baik. Ada sekitar 10.000 agen utama dari rokok-rokok putih kelas dunia, dan seluruhnya harus dilisensi serta petugas bea cukai harus mampu mendeteksi arus rokok dari agen utama di dunia ini dengan menggunakan yang disebut dengan scanning pack markings, yang biayanya sekitar kurang dari US$0.02 per bungkus rokok.
Kemudian ketiga, Peringatan di Bungkus rokok. Setidaknya ada 7 syarat yang harus dipenuhi untuk membuat peringatan di bungkus rokok itu bermanfaat optimal, yaitu; Peringatan bahaya kesehatan harus setidaknya 50% dari bidang bungkus rokok dan dicetak dengan bagus serta diganti-ganti dari waktu ke waktu; Gunakan gambar-ganbar, setidaknya yang menghubungkannya dengan salah satu / beberapa penyakit tertentu akibat rokok; Ada informasi tentang bahan yang terkandung dalam asap rokok sepanjang informasi ini bermanfaat bagi calon pembeli. Informasi tentang kadar tar dan nikotin seringkali menyesatkan; Harus ditulis bahwa rokok tersebut “For sale only in [market]” , untuk mencegah penyelundupun rokok ke pasar gelap; Pencantuman label bahwa rokok hanya oleh untuk yang berusia di atas 18 tahun tidaklah bijaksana, karena hal itu justru membuat rokok terkesan “dewasa“ dan akan makin membuat anak-anak makin merasa tertantang untuk mecobanya; Perlu ada tanda khusus untuk dapat melacak dari mana asal rokok itu, guna mencegah penyelundupan; Kalau mungkin dibuat kemasan polos, tidak ada gambar atau tulisan apapun juga, kecuali peringatan-peringatan di atas; Harus ditetapkan ukuran standar minimum dari besarnya label peringatan ini, letaknya, gambar yang harus ada dan aturan tentang label yang secara teratur diganti-ganti.
Keempat, Kesehatan versus Perdagangan. Harus sepenuhnya disadarai bahwa kita harus senantiasa memprioritaskan kesehatan manusia diatas kepentingan dagang semata. Untuk rokok ini, jelas mengganggu kesehatan, dan harusnya tidak jadi bahan kajian dalam perjanjian WTO. Kelima, Hilangkan pendapat salah. Harus dihilangkan cara penjualan menyesatkan dengan mengatakan rokok produksinya sebagai ‘light’, ‘mild’, ‘ultra low’ atau yang sejenisnya. Ini karena perubahan konsentrasi bahan berahaya dalam asap rokok tidak punya hubungan nyata dengan tidak adanya ganguan kesehatan, dan informasi seperti itu akan menyesatkan konsumen yang cenderung menganggapnya sebagai rokok yang aman, padahal tidak demikian halnya.
Sedangkan yang keenam, Perbaiki metodologi ISO. Sistem pengukuran kadar tar dan nikotin sekarang ini tidaklah memberi informasi yang memadai dalam hal dampak buruk rokok bagi kesehatan. Karena itu, metodologi ISO harus mencari bentuk lain untuk membandingkan satu rokok dengan lainnya. Ketujuh, Tinggikan cukai rokok. Cukai rokok merupakan cara efektif untuk menurunkan konsumsi rokok dan tetap menjaga pendapatan negara. Diharapkan cukai rokok dapat dinaikkan sejalan dengan growth of incomes – kalau bisa diatas nilai inflasi. Sebagian dana pemasukan cukai ini harus digunakan untuk program penanggulangan masalah merokok dan program berhenti merokok.
Kedelapan, Larang penjualan rokok di toko duty free. Toko duty free merupakan salah satu daya tarik orang membeli rokok, dan bahkan dapat jadi salah satu jalan menuju penyelundupan rokok. Kesembilan, Hak menghisap udara bersih bebas asap rokok. Hak ini harus ditegakkan untuk semua orang, bukan hanya untuk anak-anak atau kelompok tertentu. Semua orang berhak untuk udara bebas besar asap rokok, dan harus ada aturan untuk menjamin hal ini terlaksana.
Terakhir, Hentikan segala jenis subsidi bagi produksi rokok. Tidak ada dasar yang memadai untuk mensubsidi produksi rokok. Kalau toh sekiranya ada keinginan untuk subsidi, maka hal itu harus diarahkan ke mencari dan membuat diversifikasi tanaman tembakau, , pembangunan infrastruktur / bantuan bagi mantan petani tembakau dan atau pekerja industri rokok serta berbagai aktifitas lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Sebagian isu tadi terelaborasi dalam Keppres 81/1999 dan Keppres 38/2000. Pertanyaannya, sejauhmana efektif aturan itu nanti?
Tidak heran jika ada produsen rokok raksasa negara maju yang coba menghalangi agar isu-isu tadi tidak masuk dalam konvensi yang akan ditandangani Mei 2003 nanti itu. “Bahkan kalau bisa tidak diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” tutur sumber pemain industri rokok yang minta jati dirinya tidak usah dibeberkan.
Kalau sudah demikian ketatnya aturan yang ada, rasanya sebutan sunset industry bagi industri rokok mendekati kenyataan. Waktu akan menjawabnya. (edo rusyanto)

Friday, October 04, 2002

Ganti Aturan Tarif Atau Naikkan HJE

Menanti Kenaikan Cukai Rokok (Bagian 1)

INDUSTRI rokok masih menjadi primadona penggelembungan kocek pemerintah. Coba tengok data sepanjang empat tahun terakhir. Tiap tahun pemerintah menggenjot penerimaan cukai. Jika tahun 1999 masih sekitar R 10,3 triliun, maka setahun kemudian melonjak menjadi Rp 13,4 triliun dan terus melompat menjadi Rp 16,3 triliun pada tahun 2001. Tahun ini targetnya Rp 22,3 triliun, sedangkan tahun 2003 dipatok Rp 27,6 triliun. Rata-rata kontribusi cukai hasil tembakau (rokok) mencapai 95 persen dari penerimaan cukai tersebut. Dahsyat!
Berapa besarpun target cukai yang dibebankan ke industri rokok, boleh jadi kalangan produsen rokok masih bisa anteng-anteng saja. Pasalnya, produsen mengalihkan beban tersebut kepada konsumen. “Pada akhirnya memang konsumen yang dibebani kenaikan tarif cukai,” tegas Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Beban riil yang ditanggung konsumen harga per bungkus rokok membumbung terus. Dengan sistem ad volorem yang berlaku saat ini bagi tarif cukai hasil tembakau (cukai rokok) instrumen paling ampuh memang lewat menaikan harga jual eceran (HJE) rokok. Pemerintah memiliki wewenang mengintervensi HJE minimum.
Menurut catatan penulis, pada tahun 1998 permerintah menaikkan HJE lebih dari 100 persen lewat dua kali kenaikkan. Kondisi serupa terjadi tiap tahun. Tanggal 1 April 2001 HJE naik antara Rp 15 - Rp 30 per batang dikarenakan kenaikan cukai guna mengejar target pemasukan APBN. Tahun lalu menjadi pesta kenaikan HJE karena selanjutnya keluar Keputusan Menkeu No. 383/KMK.04/2001 tanggal 29 Juni 2001, dimana pemerintah menaikkan HJE minimum untuk semua jenis rokok, yang mulai ditetapkan 1 Juli 2001. HJE minimum rokok tersebut mengalami kenaikan Rp20 per batang untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM), Rp25 untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) serta Rp12,5 per batang untuk Sigaret Putih Mesin (SPM). Kenaikan harga jual eceran rokok antara 10% sampai 30% ini berlaku efektif September 2001. Kemudian pada Desember 2001 pemerintah kembali menaikkan HJE.
“Terasa beratnya pada tahun 2002 ini,” jelas YW Junardi, presiden direktur PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA).
Risiko bahwa volume produsen rokok terus merosot masih diimbangi nilai penjualan. Tidak heran, meski disebut sebagai sunset industry, para produsen rokok masih mampu melinting ratusan miliar batang per tahun. Sepanjang kurun waktu empat tahun terakhir produksi rokok nyaris stabil di angka 200-an miliar batang per tahun. Bahkan dari tahun 1999 ke tahun 2000 sempat terjadi peningkatan 2 persen, dari 225,982 miliar batang menjadi 230,591 miliar batang. Tahun 2001 sempat menurun tipis sekitar 1,6 persen menjadi 227,071 miliar batang.

* * *
Tahun ini produksi rokok diperkirakan tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. “Dua ratusan miliar batang,” kata Muhaimin.
Sedangkan untuk cukai rokok diperkirakan 95 persen dari total penerimaan cukai Rp 27,6 triliun.
Seiring target tersebut pemerintah kemungkinan besar akan mengeluarkan beberapa kebijakan. Seperti perubahan strata industri rokok dari tiga strata menjadi dua strata yakni industri kecil dan non kecil. Serta perubahan tarif ad valorem menjadi tarif semi spesifik. Pemerintah juga mengaku akan terus melakukan pemberantasan peredaran rokok tanpa pita cukai.
Meski Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Eddy Abdurrahman mengaku belum memastikan kebijakan apa yang akan dikeluarkan pemerintah. Namun koleganya, Menperindag Rini MS Soewandi secara lugas meminta, jika sekiranya pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, pilihannya adalah tarif cukai rokok Sigaret Putih Mesin (SPM).
“Kami sangat mengharapkan di tahun 2003 tidak ada kenaikan cukai rokok, terutama untuk cukai rokok kretek. Karena ini sangat mengkhawatirkan bila ini terjadi maka akan terjadi penurunan penjualan yang pada gilirannya akan ada pengurangan tenaga kerja yang cukup besar di industri rokok kretek,” ujarnya, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI, di Jakarta, Rabu (18/9).
Sebenarnya saat ini dari segi cukai hasil tembakau, antara SPM dengan kretek tidak dibedakan. Bagi produsen besar SPM dan kretek cukainya 40 persen, kemudian produsen menengah 36 persen dan produsen kecil 26 persen. Sedangkan untuk SKT berturut-turut yang besar 20 persen, menengah 12 persen, dan produsen kecil 8 persen.
Perbedaan terjadi pada Harga Jual Eceran (HJE) minimum. Berdasarkan SK Menkeu Boediono, No.597/KMK.04/2001 tanggal 23 November 2001, untuk SPM besar HJE minimum per batang Rp 252,5 sedangkan SKM besar Rp 400, maka HJE SPM 63,1 persen dari SKM. Kemudian untuk SPM menengah 59 persen dari SKM. Sementara untuk SPM kecil Rp 150 dan SKM kecil Rp 270. Di sini HJE minimum SPM 55,6 persen dari SKM.
Tapi tampaknya rencana kenaikan tarif cukai akan terus berlanjut. Kabarnya besaran kenaikkan sekitar 24 persen. Reaksi para produsenpun beragam.
Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Kretek Indonesia (Gappri), seperti dituturkan ketuanya Ismanu Sumiran, mengaku ada beberapa alternatif untuk pencapaian target penerimaan cukai. Ia menyebut salah satunya adalah menerapkan kebijakan yang sama terhadap produsen SPM yang sementara ini dia harganya lebih murah sekitar 40 persen dari rokok kretek SKM. “Harusnya disamakan. Otomatis ini tidak adil. Satu bungkus 20 batang SPM bisa lebih murah dibanding 20 batang SKM. Kita minta disamakan. Kalau disamakan kita bisa safety Rp 1 triliun. SPM harga eceran per batang sama dengan SKM,” tuturnya.
Di sisi lain Gapprindo yang menaungi 12 perusahaan SPM mengaku tidak keberatan pemerintah menaikan HJE minimum rokok. Namun dengan catatan masih di bawah inflasi. Dan relatifitas harga dipertahankan. Pola HJE SK Menkeu 597 tetap digunakan. “Kami menilai harga per bungkus tidak jauh beda. Jadi kalau HJE naik 10 persen kita tidak masalah asal semuanya naik. Namun jika HJE minimum per batang SPM dengan kretek disamakan, efeknya sangat besar bagi 12 anggota Gaprindo. Industri rokok putih akan mati. Jangankan disamakan, naik menjadi 70 persen dari HJE minimum per batang kretek saja, industri rokok putih akan menghadapi masalah berat,” kata Muhaimin.
Lima tahun terakhir volume produksi SPM terus merosot. Pada tahun 1998 volumenya masih 32,521 miliar batang, tapi setahun kemudian turun menjadi 30,328 miliar batang. Dan terus menurun menjadi 25,785 miliar batang pada tahun 2000. Tahun lalu turun lagi menjadi 24,675 miliar batang. (edo rusyanto)