Tuesday, December 13, 2005

Penetrasi 3G di Indonesia Butuh Tiga Tahun

SINGAPURA-Pelaku industri telekomunikasi memperkirakan layanan seluler generasi ketiga (3G) membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa eksis di Indonesia. Pada fase itu, layanan yang mampu memenuhi kebutuhan data, gambar, dan suara itu sudah familiar di Tanah Air.
“Saya rasa butuh waktu sekitar tiga tahun mengingat perlunya sosialisasi dan dukungan handset 3G yang nyaman bagi konsumen,” ujar Erick Loh, investor relations corporate communication Starhub Singapore, kepada Investor Daily, di Singapura, Senin (13/6).
Namun, Direktur PT Telkomsel Erick Mejerk menegaskan, penetrasi layanan 3G di Indonesia dapat dipercepat dalam kurun waktu satu tahun. “Layanan Telkomsel sudah siap, tinggal menunggu lisensi dari pemerintah,” kata Erick, kepada Investor Daily di sela Communic Asia 2005, di Singapura, Selasa (14/6).Menurut dia, penetrasi pasar 3G tergantung isi layanan para operator. Dia melihat fasilitas handset saat ini sudah cukup mendukung.
Starhub yang merupakan anak usaha Singapore Technoligies Telemedia (ST Telemedia) sudah meluncurkan layanan 3G sejak April 2005. Namun, pihaknya menemui kendala pada handset yang belum nyaman. “Prospek layanan 3G cukup potensial. Untuk itu, Starhub merogoh kocek S$ 70 juta untukinvestasi infrastruktur 3G,” ujar dia.
Starhub yang 49,69% sahamnya dimiliki ST Telemedia Singapore itu, hingga kini telah memiliki sekitar satu juta pelanggan seluler. Sepanjang kuartal pertama 2005, Starhub membukukan pendapatan seluler S$ 196 juta, meningkatdibandingkan periode sama pada 2004 senilai S$ 167 juta.Para praktisi operator seluler yang ditemui di pameran komunikasi Asia terbesar itu juga menegaskan, layanan 3G dapat melesat pesat seiring masuknya handset ke pasar golongan menengah bawah. “Dalam setahun sejak saat ini bisa saja harga handset masuk ke segmen menengah bawah dan itu mendukung penetrasi layanan 3G,” kata seorang eksekutif operator seluler.Potensi layanan 3G untuk kawasan Asia Pasifik didukung oleh besarnya pasar pengguna pelanggan komunikasi bergerak. “50% dari sekitar dua miliar pengguna layanan tersebut berada di Asia, khususnya Indonesia, Cina, India, dan Vietnam,” ujar Urpo Karjalainen, senior vice president Nokia Customer and Market Operation untuk Asia Pasifik.
Di Indonesia sejumlah operator telah melakukan uji coba layanan 3G. Telkomsel menggandeng Nokia dan Siemens. “Untuk ujicoba, kami mendapat pita 5 Megaheiz,” tutur Suryo Hadiyanto, corporate communication Telkomsel.Operator lainnya yang telah melakukan uji coba adalah PT Cyber Access Communication (CAC) yang memperoleh lisensi 15 MHz. Operator lain yang telah mendapat lisensi adalah PT Natrindo Telepon Seluler (NTS).
Hitung Harga 3G
Hingga kini, pemerintah Indonesia sedang menghitung harga frekuensi 3G, menyusul penerapan kebijakan untuk tidak lagi memberikan frekuensi ini secara gratis kepada operator. “Diupayakan harga frekuensi 3G merupakan harga yang wajar namun juga tidak akan membebani operator,” kata Tulus Rahardjo, direktur spektrum frekuensi radio dan orbit sateli,t Ditjen Postel, kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (14/6).
Namun, pemerintah kemungkinan akan menerima perhitungan harga frekuensi (up front fee) berdasarkan mekanisme lelang maupun perkiraan secara tepat. Dalam menghitung harga frekuensi, jelas Tulus, pemerintah juga akan melihat harga frekuensi di luar negeri sebagai acuan.
Sumber yang dekat dengan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) menjelaskan, masalah perhitungan harga frekuensi 3G telah menjadi satu masalah yang paling mendapatkan perhatian pemerintah. “Kebijakan ini dinilai sangat penting berkaitan dengan upaya pemerintah dalam menerapkan kebijakan penataan frekuensi,” jelas dia.
Terkait penyelesaian audit 3G, menurut sumber itu, tim audit masih kini sudah memasuki tahap finalisasi. Dia berharap, proses audit 3G akan selesai Juni ini. “Hasil audit itudiharapkan akan menjadi salah satu pertimbangan memutuskan kebijakan penataan frekuensi 3G,” jelas sumber.
Beberapa waktu lalu, Menkominfo Sofyan A Jalil memastikan operator eksisting, seperti, PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk akan mendapatkan alokasi frekuensi 3G. “Masih ada frekuensi, tapi perlu ditata ulang, artinya operator masih bisa dapat, kita akan upayakan, mereka (Telkomsel dan Indosat) harus dapat,” kata Sofyan.
Komitmen pemerintah untuk memberikan frekuensi 3G bagi operator eksisting, didasari pemahaman bahwa kedua perusahaan itu memang harus senantiasa mengikuti perkembangan teknologi seluler. “Mereka harus dapat, kalau tidak orang akan mengatakan Telkom dan Indosat bisa mati sendiri, karena, (mereka tidak melakukan -Red) migrasi ke 3G,” kata Sofyan.
PT Telkomsel mengaku paling siap mengimplementasikan layanan seluler generasi ketiga (3G) di Indonesia. "Kalau ada kesempatan untuk menyelenggarakan layanan 3G di Indonesia maka kami kira yang paling patut mendapatkan kesempatan tersebut adalah PT Telkomsel, dilihat dari aspek manapun," kata Bambang Riadhy Oemar, direktur Telkomsel. PTTelkomsel.
Menurut dia, Telkomsel telah menyiapkan perencanaan pengembangan teknologi sampai ke platform 3G. Beberapa kesiapan yang berkaitan dengan penyelenggaraan layanan 3G telah dimiliki perseroan antara lain, basis pelanggan yang paling besar, penguasaan teknologi yang paling memadai, serta dukungan finansial yang kuat.
Di sisi lain, PT Indosat mengaku siap untuk mengimplementasikan 3G. Kini, perseroan tersebut sedang menunggu alokasi frekuensi 3G yang akan diberikan pemerintah untuk uji coba. (tri/ed)
Investor Daily, 15 Juni 2005

Oktober, Telkomsel Tunjuk Mitra Vendor 3G

JAKARTA-PT Telkomsel akan menunjuk mitra vendor pembangunan jaringan infrastruktur seluler generasi ketiga (third generation/3G) pada Oktober 2005.
Saat ini, dalam ujicoba layanan 3G, Telkomsel menggandeng tiga vendor yaitu Siemens, Nokia dan Ericsson.
“Kita belum putuskan siapa mitra vendornya. Bisa saja hanya satu vendor yang kita pilih. Kita pilih tawaran yang terbaik. Termasuk dari sisi teknologi dan harga,” ujar Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel Bambang Riadhy Oemar, kepada Investor Daily, belum lama ini, di sela ujicoba layanan 3G Telkomsel di CommunicAsia 2005, Singapura.
Selama ujicoba layanan 3G sejak Mei 2005, Telkomsel menggandeng ketiga vendor di atas. Ia menuturkan, terbuka kesempatan ketiga vendor tersebut terlibat dalam pembangunan infrastruktur anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) itu.
“Ujicoba berlangsung selama enam bulan dengan memanfaatkan 5 Megahertz (MHz) frekuensi yang dipinjamkan pemerintah,” tambah Bambang.
Menurut dia, selama ujicoba layanan videostreaming Telkomsel berlangsung mulus. Namun, kata dia, ujicoba antar-jaringan operator masih belum berlangsung mulus. “Perlu diujicoba lagi layanan antar-operator,” katanya.
Guna ujicoba layanan 3G, Telkomsel merogoh kocek lebih dari Rp 20 miliar (satu jaringan US$ 250).
Telkomsel juga mengaku siap melayani akses 3G di jaringan internasional.

Ikut Tender
Bambang mengatakan, Telkomsel siap mengikuti tender 3G yang akan digelar pemerintah dalam waktu dekat ini. “Kami berharap minimal mendapat 10 MHz,” tukas dia.
Setelah lisensi diperoleh, Telkomsel segera masuk pasar dan mematok target pelanggan sedikitnya 300.000 pada 2005.”Kami optimistis, apalagi pelanggan GPRS kita sudah mencapai 3,5 juta,” kata Bambang.
Sementara itu, SVP Commerce Jabotabek & Banten Regional Office PT Indosat Tbk Fadzri Sentosa menuturkan, pasar pengguna 3G di kawasan Jabotabek dan Banten cukup potensial. “Ada pasarnya. Dari total pengguna seluler sekarang,sekitar 7% akan mencoba 3G, jika mereka puas akan makin meluas,” katanya, baru-baru ini di Singapura.
Menurut dia, saat ini Indosat belum memikirkan berapa besaran tariff untuk layanan 3G. “Kita akan ujicoba dahulu,kemudian test pasar. Soal harga sangat dipengaruhi isi layanan 3G,” kata Fadzri.(tri/ed)

Investor Daily, 18 Juni 2005

Persaingan Bisnis SLI Semakin Ketat

BISNIS layanan telepon sambungan langsung internasional (SLI) masih memikat. Menurut seorang pengamat, tahun ini nilai bisnis tersebut bakal tumbuh 20% menjadi sekitar Rp 2,5 triliun.
Setelah monopoli SLI dibuka, pemain bisnis ini terus bertambah. Selain PT Indosat Tbk dengan kode 001 dan 008, sejak Juni 2004, setelah pemerintah menerbitkan surat keputusan Menteri Perhubungan Nomor 162 tahun 2004, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) meluncurkan Telkom International Call (TIC) 007. Di luar dugaan, sepanjang kurun waktu tujuh bulan, pada 2004 TIC 007 menggerogoti pangsa pasar SLI Indosat hingga 25%.
TIC 007 merupakan layanan International Direct Dialing (IDD) berteknologi dengan basis (clear channel) sehingga kualitas suaranya lebih baik atau premium.
Namun, perjalanan bisnis SLI milik Telkom tidak berjalan mulus. Tudingan bahwa Telkom bertindak tidak fair dengan menghambat (blocking) panggilan SLI milik Indosat, bermuara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sekitar Oktober 2004, KPPU mengeluarkan keputusan agar Telkom menghentikan praktik persaingan usaha tidak sehat. Telkom diminta meniadakan persyaratan perjanjian kerja sama (PKS) atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk perseroan. Pengelola warung telekomunikasi harus bebas menjual jasa dan atau produk di luar Telkom. BUMN tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) ayat (3) huruf b dan pasal 19 (Penguasaan Pasar) huruf a dan b Undang-Undang No.5 1999. Namun, perseroan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) huruf a; Pasal 19 huruf c dan d; serta Pasal 25 (Posisi Dominan) UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
Sudah barang tentu, Telkom keberatan. Bahkan, Dirut Telkom Kristiono mengajukan keberatannya ke Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, pada Oktober 2004, sebagai tempat domisili kantor Telkom. Dan, waktu pun terus berjalan, TIC 007 menggerogoti dominasi SLI 001 dan 008 milik Indosat. Hasilnya, hingga Mei 2005, Telkom telah menguasai sekitar 52% pangsa pasar. Targetnya, mampu meraih omzet Rp1 triliun di sepanjang 2005.
Di sisi lain, pendapatan SLI Indosat terus merosot. Pada tahun 2001, pendapatan SLI masih memberikan kontribusi pendapatan sebesar 42% setara dengan Rp 2,157 triliun. Angka itu melorot di tahun 2002 yakni menjadi Rp 2,138 triliun dengan kontribusi 32%.
Pada 2004, pendapatan SLI Indosat senilai Rp 1,554 triliun dengan kontribusi sebesar 17% terhadap total pendapatan. Padahal, pada 2003, pendapatan SLI Indosat masih sebesar Rp 1,808 triliun, dengan kontribusi sebesar 22%.
Manajemen Indosat mengakui bahwa penurunan pendapatan tersebut diakibatkan semakin ketatnya persaingan bisnis. Selain kehadiran pemain baru, Telkom, persaingan juga terjadi dengan operator yang menggunakan teknologi aternatif dengan harga lebih murah, seperti teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP).
Di bisnis Voip, Telkom memiliki layanan SLI 017. Masuknya TIC 007 dan TIC 017 menjadikan Telkom sebagai penyelenggara telekomunikasi yang lengkap.
TIC 007 difokuskan untuk pelanggan yang betul-betul mengutamakan kualitas suara. Meski demikian, di dalam sistem pentarifannya pun PT Telkom memberikan harga yang tidak kalah bersaing.
Strategi yang diterapkan Telkom selain menyajikan kualitas prima TIC 007, juga memberikan tarif yang murah. Telkom mengoperasikan tiga gerbang internasional-nya di Batam, Jakarta, dan Surabaya.
Selain itu, Telkom meluncurkan layanan home country direct Salam Indonesia dan calling card Salam. Home country direct adalah layanan collect call dimana pelanggan yang berada di luar negeri dapat melakukan panggilan ke Indonesi melalui operator. Untuk biaya percakapannya dibebankan kepada telepon yang menerima.
Telkom juga mengeluarkan Kartu Panggil Salam yang merupakan kartu panggil berisi pulsa dengan denominasi tertentu. Dengan memanfaatkan kartu ini sesuai dengan denominasi kartu, pengguna bisa melakukan percakapan lintas negara. Selain itu, juga disiapkan adanya layanan collect call melalui operator. Namun bedanya, tarif yang diberlakukan adalah tarif standar, bukan tarif reduksi atau tarif premium. Layanan ini bisa diakses dari di telepon umum, hotel maupun mahtab jamaah haji.
Layanan sejenis juga telah dimiliki Indosat. Bahkan, guna menandingi kompetitornya, Indosat mengeluarkan layanan terbarunya, FlatCall 016. Layanan dengan tarif ekonomis itu diharapkan akan menjadi satu alternatif layanan telekomunikasi bagi masyarakat. Tahun 2005, layanan FlatCall 016 ditargetkan mampu membukukan trafik 70 juta menit dengan kontribusi pendapatan Rp 20 miliar. Produk Indosat FlatCall 016 merupakan layanan telepon dengan satu tarif ke negara manapun dan kapan pun.
Seiring duopoli bisnis SLI, Indosat diizinkan pemerintah memasuki bisnis sambungan langsung jarak jauh (SLJJ). Selama ini, bisnis tersebut dimonopoli Telkom. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) No. 06/P/M. Kominfo/5/2005 yang ditandatangani Sofyan A Djalil tanggal 17 Mei 2005 menegaskan bahwa pembukaan kode akses SLJJ secara bertahap sepanjang lima tahun sejak tahun ini. Sebagai langkah awal kode akses di lima kota yakni 021 (Jakarta), 031 (Surabaya), 0361 (Denpasar), 0778 (Batam) dan 061 (Medan) harus sudah dibuka tahun ini.
Menurut seorang pengamat, pembukaan kode akses SLJJ itu sudah tidak bisa ditawar-tawar. “Hal itu seiring dengan dibukanya monopoli bisnis SLI,” tuturnya. (edo rusyanto)

Investor Daily, 13 Juni 2005

Pemerintah Ancam Denda Telkom

JAKARTA-Pemerintah mengancam memberikan sanksi kepada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) bila perusahaan itu sengaja tidak menaati peraturan terkait pembukaan kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) PT Indosat Tbk.
“Bagi perusahaan publik, peringatan dari pemerintah itu memiliki implikasi yang luas sekali,”kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan A Djalil, di sela Rapat Kerja dengan Komisi V DPR, di Jakarta, kemarin (9/6).
Saat ini, pemerintah mengkaji aturan yang memungkinkan mereka bisa menerapkan sanksi denda. Sofyan menuturkan, saat ini aturannya memang tidak memungkin pemerintah menerapkan denda. Sanksi bagi operator yang berlaku selama ini adalah tiga kali peringatan, dan terakhir pencabutan izin. Pola sanksi tersebut, tentu saja tidak mungkin diterapkan bagi perusahaan seperti PT Telkom Tbk.
Selanjutnya, pola sanksi nanti akan diubah menjadi peringatan, peringatan, denda, dan denda. “ Dengan denda, saya harap orang akan berpikir dua kali untuk melanggar. Hukum harus ditegakkan,” ujar Sofyan.
Menkominfo juga menegaskan, kebijakan kode akses pemerintah akan terus berjalan. Sebaliknya, dia menuding penolakan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom terhadap kebijakan ini hanya menunjukkan bahwa incumbent (Telkom) tidak mau berkompetisi, padahal tanpa kompetisi industri telekomunikasi tidak akan berkembang.
Berkaitan dengan masalah kode akses, pemerintah menilai telah memberikan keputusan yang adil bagi Telkom, seperti penggunaan prefik nol dan pemberian masa transisi selama lima tahun. Sebaliknya, Sofyan prihatin dengan kondisi Indosat yang hingga saat ini belum juga bisa menembus bisnis telepon tetap domestik.”Dengan duopoli, 52% bisnis sambungan internasional sudah diambil Telkom, sedangkan Indosat tidak diperkenankan masuk di dalam negeri, jadi logikanya apa?” papar Sofyan.

Apel Siaga
Sementara itu, Sekar Telkom kembali menggelar apel siaga menolak pemberlakuan perubahan kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) Telkom, di Jakarta, Kamis (9/6). Apel yang dihadiri ribuan anggota Sekar dari seluruh Indonesia tersebut merupakan kulminasi dari kekecewaan Sekar Telkom terhadap regulasi. Termasuk terbitnya Peraturan Menteri (Permen) No. 6/2005 yang mempertegas pemberlakuan kebijakan Kode Akses SLJJ.
“Tadinya kami berharap, Pemerintah secara arif akan meninjau ulang regulasi kode akses yang salah kaprah di masa lalu dengan regulasi baru yang benar-benar dibangun dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip good governance, tapi harapan itu sirna dengan terbitnya Permen 6/2005,” ujar Ketua Sekar Wartono Purwanto.
Isi Permen 6/2005, lanjut Wartono, praktis sama saja dengan Pengumuman Menteri No. 92/2005 tanggal 1 April 2005. Permen tersebut hanya bersifat mengukuhkan, jadi sama sekali tidak merefleksikan upaya ke arah pembentukan regulasi yang lebih adil atau fair.
Sekar Telkom memandang, perubahan kode akses SLJJ Telkom akan menghambat densitas atau penetrasi telepon. Menurut Sekretaris Jenderal Sekar Telkom Wisnu Adhiwuryanto, dengan perubahan tersebut operator SLJJ baru hanya akan tertarik menggarap jasa SLJJ, bukan membangun saluran lokal ke pelanggan.
Ketika operator baru SLJJ dibolehkan menyelenggarakan jasa SLJJ dengan memanfaatkan basis pelanggan Telkom yang ada, maka investor baru tidak perlu lagi berinvestasi di jaringan tetap lokal yang mahal. “Mereka hanya cukup membangun sentral,” katanya. (tri/ed)

Investor Daily, 10 Juni 2005

Lisensi 3G CAC dan NTS Tak Perlu Dicabut

Jakarta-Anggota Komisi V DPR Marwan Ja’far meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan A Djalil tidak menender ulang lisensi frekuensi seluler generasi ketiga (third generation/3G). Saat ini, operator yang telah menerima lisensi adalah PT Cyber Access Communications (CAC) sebesar 15 Megahertz (MHz) dan PT Natrindo Telepon Seluler/NTS (Lippo Telecom) sebesar 10 MHz.
“Apa alasannya menender ulang lisensi yang sudah keduanya peroleh? Kita khawatir justru akan menimbulkan gugatan-gugatan,” tutur Marwan, di sela Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi V DPR dengan Menkominfo, di Jakarta, Kamis (9/6).
Hal senada sebelumnya dituturkan pengamat telekomunikasi Roy Suryo menegaskan, ”Tender ulang berisiko tinggi. Bisa disomasi, dan kemungkinan besar pemerintah kalah. Jadi lebih baik ditunggu hingga selesai batas izin, baru dinilai,” kata dia.
Lisensi 3G kepada CAC melalui proses tender dalam Keputusan Dirjen Postel No. 253/ Dirjen/ 2003 tanggal 8 Oktober 2003. Sedangkan lisensi 3G Lippo Telecom diberikan pemerintah pada pada September 2004.
Selain kedua perusahaan itu, lisensi 3G juga telah diberikan kepada Primasel dan Wireless Indonesia (5 MHz) yang disebut-sebut ingin membangun jaringan CDMA 2000 1x di pita frekuensi 1.900 MHz. Pita frekuensi yang sama digunakan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) lewat produk Telkom Flexi dan PT Indosat Tbk dengan layanan Star One.
Menurut Marwan, gugatan tersebut dikhawatirkan memperburuk citra Indonesia di mata investor asing. Sebagaimana diberitakan CAC menggandeng Hutchison Telecommunications International Ltd (HTIL) Hong Kong untuk membeli 60% sahamnya senilai US$ 120 juta. Sedangkan Lippo Telecom menggandeng operator seluler terbesar Malaysia Maxis Communications Berhad (Maxis) dengan menjual 51% kepemilikan sahamnya senilai US$ 100 juta. “Jangan sampai investor takut investasi di Indonesia karena tidak ada kepastian hukum,” katanya.
Padahal, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang gencar menarik investor asing untuk masuk ke Indonesia.
Marwan juga meminta agar lisensi yang telah diberikan kepada CAC dan Lippo Telecom tidak dikurangi. “Saya usulkan agar keduanya diberi kesempatan membangun. Pemegang izin harus diminta kontribusinya kepada negara. Jika pada kurun waktu tertentu tidak memenuhi kewajibannya, barulah dipertimbangkan keputusan berikutnya,” tutur Marwan.
Saat ini CAC telah mengeluarkan sekitar US$ 50 hingga US$ 60 juta untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. Menurut Executive Chairman Office PT CAC Laurens Bulters, operasional perusahaan dapat direalisasikan mulai kuartal pertama 2006. Sedangkan investasi di Tanah Air hingga tahun 2010 tidak kurang dari US$1miliar. Sementara itu, Maxis Malaysia telah menandatangani kesepakatan kerjasama pengembangan 3G dengan vendor Ericsson.
Marwan mengatakan, jika ditata dengan baik masih ada alokasi untuk operator lain yang belum memperoleh lisensi.
Sementara itu, praktisi hukum Hinca Panjaitan menegaskan, tidak perlu ada pembatalan lisensi yang telah dikeluarkan pemerintah. Namun, sangat perlu diminta pertanggungjawaban penerima lisensi untuk memenuhi janji-janji yang telah dikemukakan saat menerima lisensi. “Pemerintah harus tanya bagaimana progress si operator,” ujarnya, kemarin.

Alternatif Alokasi Frekuensi
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan A Djalil mengungkapkan, ada dua cara yang kemungkinan akan ditempuh pemerintah dalam mengalokasikan frekuensi 3G. Pertama, bila jumlah frekuensi tidak mencukupi maka dilakukan proses tender secara fair. Operator yang berani membeli dengan harga paling mahal akan mendapatkan frekuensi. Kedua, bila jumlah frekuensi mencukupi, pemerintah akan menetapkan harga estimasi frekuensi per Megahertz (Mhz).
Ia mengungkapkan, pemerintah juga sedang menunggu laporan dari tim audit 3G yang akan melaporkan beberapa hal seperti permasalahan alokasi frekuensi, kepastian hukum, dan kemungkinan pengenaan up front fee (pembayaran fee di muka).
Berkaitan dengan penataan frekuensi, pemerintah sedang menunggu laporan dari tim audit yang melakukan audit operasional terhadap operator yang telah mendapatkan alokasi frekuensi. Bila dari hasil audit itu ditemukan fakta operator tidak menggunakan frekuensi sesuai dengan komitmen dalam lisensi modern, maka pemerintah akan mencabut lisensi tersebut. Sehingga, frekuensi yang tidak dimanfaatkan secara optimal itu dapat diambil kembali oleh pemerintah.
Sofyan juga menuturkan, permasalahan utama di pita frekuensi 1900 Mhz adalah terjadinya pemanfaatan frekuensi yang tidak harmonis antara PCS 1900 (code division multi access/CDMA) dan IMT-2000 core band (3G). Penggunaan dua jenis teknologi yang tidak compatible tersebut menyebabkan terjadinya interferensi. Bilamana, pita tersebut tidak ditata ulang maka akan terjadi pemborosan sumber daya frekuensi dalam bentuk guard band yang tidak bisa dipakai.
Namun, terhadap kemungkinan pemindahan alokasi frekuensi PCS 1900, untuk Telkom Flexi, dia mengatakan hal itu tidak mungkin dilakukan, mengingat pelanggan produk PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) ini sudah mencapai tiga juta pelanggan. Sedangkan, terhadap kemungkinan pemindahan frekuensi Star One milik PT Indosat Tbk, pemerintah sedang berupaya mencari cara terbaik. Demikian, juga untuk frekuensi yang lain, pemerintah sedang menunggu rekomendasi yang sesuai.Pemerintah berkomitmen untuk mengatur pita frekuensi 1900 MHz secara baik. Selama ini, pengaturan frekuensi dinilai kurang optimal dan tidak memberikan manfaat yang maksimal. Untuk itu, pemerintah memikirkan mekanime pengalokasian frekuensi yang memberikan kepastian hukum, dengan mekanisme yang transparan, fair, dan equal level playing field. (tri/ed)

Investor Daily, 9 Juni 2005

FIR 13 Proyek Tol Mencapai 19%

JAKARTA-Tingkat pengembalian investasi (financial interest of return/FIR) 13 proyek tol yang akan ditender minggu ketiga Juni 2005 mencapai 19%. “Financial interest of return tiga belas proyek tol tahap dua nanti sekitar 14-19%. Jumlah itu tidak berbeda jauh dengan enam ruas tol yang ditender Januari lalu,” tutur Ketua Tim Pengadaan Investasi Jalan Tol Departemen Pekerjaan Umum (DPU) Eduard T Pauner, kepada Investor Daily, Selasa (7/6).
Ia menjelaskan, saat ini sudah ada beberapa calon investor yang mencari informasi mengenai keberadaan ke-13 proyek yang tersebar di berbagai daerah itu. Namun, tambah dia, seberapa besar minat calon investor asing baru akan terlihat saat tender dibuka.” Kita offering ,setelah dua bulan baru kita lihat,” katanya.
Proyek senilai Rp 34 triliun itu, lanjut Eduard, antara lain meliputi ruas tol Pasirkoja-Soreang (15,0 Km), Semarang-Demak (25,0 Km), Jogja-Solo (45,0 Km) dan Jogja-Bawen (104,0 Km). (lihat tabel)
Menurut Eduard, calon investor lokal dan asing yang gagal mengikuti tender tahap pertama Januari 2005, dapat mengikuti tender tahap dua.
”Pada tender tahap pertama ada investor Korea dan keduanya gagal. Kalau ikut lagi di tahap dua tidak apa-apa,” tutur dia.
Sementara itu, menyinggung perkembangan tender enam ruas tol, menurut Eduard, saat ini seluruh ke-18 konsorsium yang lolos tahap pertama telah mengambil dokumen tender.”Semuanya mengambil dokumen. Tadinya kita khawatir jangan-jangan mereka mundur. Itu menunjukkan minatnya cukup tinggi. Kita lihat apakah mereka akan mengembalikan pada Agustus 2005,” tukas dia.
Eduar menambahkan, pemenang tender enam ruas tol akan diumumkan Desember2005.

Bingung Ganti Rugi
Terpisah, Walikota Bekasi Akhmad Zurfaih mengaku, kebingungan menghadapi penyelesaian ganti rugi lahan warga di Kelurahan Jatiwarna, Jatiasih, Jatimekar dan Jakamulya yang terkena proyek Jakarta Outher Ring Road (JORR) ruas Hankam-Cikunir yang hingga kini belum tuntas. Di satu sisi, Walikota Bekasi telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) nomor: 593.83/Kep-Bipem/V/2004, tertanggal 21 Mei 2004, tentang penetapan harga tertinggi tanah warga yang terkena proyek pembangunan ruas jalan JORR Hankam-Cikunir hasil kesepakatan bersama, katanya di Bekasi, kemarin. Maksudnya, sebelum SK Walikota Bekasi itu ditertibkan sudah terjadi kesepakatan antara pemilik tanah dengan PT Jasa Marga yakni, nilai ganti rugi sebesar Rp 1,350 juta per meter persegi berstatus sertifikat. Sedangkan tanah berstatus girik sebesar Rp 1,250 juta per meter persegi, namun belakangan PT Jasa Marga keberatan karena ganti rugi dinilai terlalu tinggi akhirnya proses pembayaran bertele-tele. "Besaran ganti rugi lahan ratusan warga itu kan atas dasar kesepakatan bersama, tetapi PT Jasa Marga belum mau membayar karena menganggap harga tanah terlalu tinggi, nah terus bagaimana ini," katanya, seperti dilansir Antara. Sedikitnya, 300 warga yang memiliki lahan sekitar 11,5 hektare di keempat kelurahan itu mendesak PT Jasa Marga segera membayar ganti rugi, namun hingga kini belum ada tanda-tanda bakal terealisir dengan berbagai alasan yang kurang masuk akal. PT Jasa Marga menganggap besaran ganti rugi yang tertuang pada SK Walikota Bekasi terlalu tinggi dan tidak sesuai kenyataan di lapangan, padahal sebelumnya sudah terjadi kesepakatan antara pemilik tanah, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemkot Bekasi dengan Tim Jasa Marga. "Masalah itu yang membuat saya bingung, karena para korban gusuran JORR minta ganti rugi sesuai Surat Keputusan Walikota, tapi PT Jasa Marga merasa keberatan dengan harga tersebut," kata Akhmad Zurfaih. Seandainya, persoalan ganti rugi terus berlarut-larut tidak ada ujung pangkalnya maka orang nomor satu di jajaran Pemkot Bekasi itu mengatakan, silakan selesaikan langsung dengan korban gusuran JORR. Terkait dengan belum adanya kesepakatan soal besarnya ganti rugi, beberapa waktu lalu, Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan investigasi di Bekasi guna mengetahui harga tanah milik ratusan warga di keempat kelurahan tersebut, namun belum ada kabar selanjutnya. Sementara itu, anggota P2T Pemkot Bekasi Ichsan Said berpendapat, investigasi oleh BPK merupakan langkah maju dengan harapan pelaksanaan ganti rugi tanah warga segera terealisasi karena sudah terkatung-katung belasan tahun silam. "Tim BPK turun ke lapangan mengecek kebenaran harga jual tanah warga korban JORR itu langkah bagus, biar ganti rugi cepat dibayar karena kasihan mereka yang bertahun-tahun menunggu pembayaran," kata Ichsan Said. Sementara itu, Zakirudin Chaniago, kuasa hukum korban JORR di keempat kelurahan tersebut menilai PT Jasa Marga tidak serius menuntaskan pembayaran ganti rugi tanah masyarakat terbukti sudah bertahun-tahun terbengkalai bahkan belum ada titik terang. PT Jasa Marga juga diduga melanggar Keputusan Presiden (Keppres) nomor: 55/1993 tentang pengadaan lahan untuk kepentingan umum. Pada Keppres itu antara lain menyebutkan, lahan warga yang terkena pembebasan untuk kepentingan umum terlebih dahulu diberikan ganti rugi, namun PT Jasa Marga main serobot mengakibatkan para pemiliknya marah dan memblokir ruas jalan JORR di wilayah Bekasi. "Saya atas nama korban JORR kecewa pembayaran ganti tanah warga tidak jelas," katanya. (ed)

Investor Daily, 8 Juni 2005