Thursday, September 04, 2003

Siasat Industri Rokok Pasok Tembakau (2-habis)

Ekspor, Alternatif Pendapatan Potensial

POTENSI produksi tembakau Virginia di Lombok masih cukup besar. Saat ini yang ditanami tembakau baru sekitar 16.000 hektar dari 59 ribu hektar potensi yang ada. Tahun ini produksi tembakau Lombok diperkirakan mencapai 30 ribu ton.
Raksasa rokok dunia, British American Tobacco, lewat anak usahanya PT British American Tobacco Indonesia Tbk (BATI) sejak tahun 1972 merambah Lombok guna memasok kebutuhan tembakau perseroan. Kini, BATI yang menguasai 30 persen pangsa pasar rokok putih di Indonesia itu, memiliki 569 petani mitra dengan luas lahan tidak kurang dari 3.853 hektar. Dua tahun sebelumnya, pada tahun 1970, perseroan telah masuk ke Singaraja, Bali. Kedua lokasi penanaman tembakau tersebut melengkapi lahan lainnya, yakni di Klaten, Bondowoso, Blitar dan Yogjakarta. Secara keseluruhan BATI menggandeng 931 petani mitra dengan menyerap sekitar 20 ribu tenaga kerja.
Selain BATI, raksasa dunia lainnya yang merambah Lombok adalah Philip Morris International, lewat Philip Morris Indonesia. “Kami tidak besar. Sejak tahun 1991 kita masuk Lombok, tapi masih bekerjasama dengan Bentoel. Sejak tahun 2002 kita menangani sendiri kemitraan tembakau di Lombok,” tutur Yustinus Edi Djauhari, Leaf Area Manager Philip Morris Indonesia, akhir Agustus lalu, di Lombok.
Menurut catatan PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), kerjasama penanaman tembakau di Lombok dimulai pada 29 Januari 1999, lewat PT Perusahaan Dagang dan Industri Tresno (PDIT), anak usaha PT Bentoel Prima menggandeng Philip Morris Asia Limited (PMAL). Kerjasama tersebut tidak saja di Lombok, namun juga di Lumajang, Jawa Timur dan Bali. PMAL melalui Philip Morris Indonesia menyediakan dana untuk proyek penanaman tembakau tersebut, anak usaha Bentoel bertindak selaku pengawas. PMAL wajib membeli tembakau yang dihasilkan mitra petani dengan harga wajar yang dapat menutupi biaya proyek. Perjanjian tersebut berlaku hingga masa panen tahun 2001. Dan sejak tahun 2002, Philip Morris Indonesia tidak lagi menggandeng RMBA. Hingga awal September 2003, luas lahan tembakau mitra Philip Morris Indonesia meliputi 3.150 hektar dengan estimasi produksi 6.143 ton.
BATI dan Philip Morris Indonesia hingga kini menguasai pangsa pasar sigaret putih mesin (SPM) di dalam negeri. Jika BATI sekitar 30 persen maka Philip Morris Indonesia lebih dari 60 persen. Catatan Gabungan Perusahaan Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyebutkan, pangsa pasar rokok putih sekitar 20 persen dari total volume pasar rokok nasional. Tahun lalu volume rokok nasional mencapai 220 miliar batang.
BATI dan produsen rokok lain yang menanam tembakau di Lombok mengaku produksi tembakau lebih dominan dikonsumsi sendiri. “Kalau Djarum, produksi tembakau di Lombok ini untuk dikonsumsi sendiri. Saat ini belum ada pikiran untuk diekspor. Mungkin tahun 2005 baru kepikiran untuk diekspor. Sekarang ini memproduksi rokok masih menguntungkan,” tukas Iskandar, Manager Wilayah Lombok PT Djarum.

* * *

Sejak akhir tahun 1990-an, menurut Kepala Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat (NTB), Soerono, tembakau Lombok tidak hanya memasok kebutuhan tembakau produsen rokok domestik. Tapi juga mulai diekspor ke berbagai negara. Hingga saat ini telah di ekspor ke berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Austria, Belanda, Chili, Jerman, Mexico dan Singapura.
PT British American Tobacco Indonesia Tbk (BATI) yang memiliki lahan kemitraan petani tembakau sekitar 3.853 hektar, memperkirakan pertumbuhan ekspor tembakau akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.
“Ini seiring perubahan sumber tembakau dunia. Trend pasar Eropa barat turun sedangkan bagian timur naik 34 persen. Trend pasar Asia Pacific naik, regional bahkan naik 53 persen,” ujar Nigel Venning, direktur BATI, belum lama ini di Lombok, NTB.
Karenanya, kata Nigel, tahun lalu perseroan mengekspor sekitar 4.600 ton tembakau sebagai alternatif pendapatan di luar menjual rokok putih. “Kami telah mengekspor ke sepuluh negara, antara lain ke Chili, Inggris, Jerman dan Singapura,” tutur Nigel lagi.
Kebutuhan tembakau BATI untuk tahun ini diperkirakan tidak lebih dari 5.000 ton, sedangkan produksi tembakau diperkirakan 11 ribu ton.
Ekspor tembakau bisa menjadi alternatif pendapatan di tengah merosotnya penjualan rokok BATI. Tahun lalu pendapatan ekspor tembakau perseroan menyumbangkan devisa 7 juta dolar AS bagi pemerintah Indonesia.
Fred Combe, presiden direktur BATI mengakui bahwa volume penjualan perseroan dalam tiga tahun terakhir ini terus turun.
Tahun 2002, penjualan bersih turun 3,54 persen, dari Rp 713,986 miliar (2001) menjadi Rp 688,648 miliar. Angka tahun 2001 juga menurun dibandingkan penjualan tahun 2000 yang tercatat sebesar Rp 874,202 miliar.
Namun, untuk laba bersih, tahun 2002 BATI masih mencatat kenaikan sekitar 4,2 persen dari Rp113,420 miliar di tahun 2001.
Tahun ini saja perseroan berusaha memproduksi 6 miliar batang rokok, dari 7,5 miliar batang di tahun 2002. “Kami mencoba tetap stabil untuk tahun ini dan tahun depan. Hari ini lebih optimis dibandingkan 12 bulan lalu, kami berharap mampu mempertahankan market share 3 persen dari total rokok nasional, ” tutur Fred.
Guna mensiasati penurunan produksi rokok tersebut, kata Fred, BATI yang memiliki enam merek rokok itu, melirik pasar tembakau dunia. “Ekspor tembakau peluangnya cukup bagus. Tahun ini kami berharap dapat mengekspor 4.500 ton atau sekitar 60 persen dari produksi tembakau. Sepuluh tahun ke depan produksi tembakau kami sekitar 30 ribu ton,” ungkap Fred yang segera akan dipromosi ke BAT Regional Asia Pacific di Hongkong.
Saat ini kontribusi ekspor tembakau atas pendapatan perusahaan yang didirikan tahun 1917 itu, menurut Fred, masih sekitar 5 hingga 6 persen dari net revenue. “Tiga tahun ke depan kita harapkan bisa menjadi 50 persen,” tambah Fred.
Tidak heran jika BATI memperluas mitra petani tembakau ke wilayah Yogjakarta. “Saat ini baru 55 hektar, tahun depan kemungkinan bisa 200 hektar. Di Yogjakarta itu potensinya bisa 3.000 hektar,” kata Budi Primawan, corporate communication BATI. (edorusyanto)





Wednesday, September 03, 2003

Siasat Industri Rokok Pasok Tembakau (1)

Ramai-ramai Tanam Tembakau di Lombok

Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata Manado dan Lombok? Wisata laut! Indahnya pemandangan bawah laut atau berselancar. Manado punya taman bawah laut Bunaken. Lombok punya pantai Senggigi maupun pulau-pulau kecil tempat berselancar dengan pantai berpasir putih.
Tunggu dulu! Manado yang terletak di Sulawesi Tengah itu populer sebagai penghasil cengkeh, bahan baku rokok kretek. Sedangkan Lombok, pulau kedua terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB), terbukti sebagai produsen tembakau Virginia bagi produsen rokok raksasa dunia.
Tembakau yang termasuk famili Solanaceae daunnya digunakan untuk membuat rokok dan cerutu. Saat ini menjadi alternatif pendapatan petani Lombok, selain padi, cabai dan bawang putih. Menurut Kepala Dinas Pertanian NTB, Soerono, saat ini dari potensi 59.000 hektar terdapat 16.000 hektar tanaman tembakau seantero Lombok dengan produksi diperkirakan mencapai 31.000 ton. Di pasaran Lombok, harga terendah Rp 1.000 per kilogram dan harga tertinggi Rp 15.000 per kilogram. Sekitar 12.000 petani terlibat dalam penanaman tembakau.
Besarnya potensi tembakau, menurut Gubernur NTB, Harun Al Rasyid (sebelum diganti awal September 2003), petani tembakau menjadi pasar potensial bagi penyaluran kredit, selain para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok. Menurut Harun, penghasilan petani tembakau cukup besar dan menguntungkan jika dibandingkan petani padi. Ia menyebutkan, hampir 90 persen petani yang berangkat naik haji berpenghasilan dari bertanam tembakau. Keuntungan menanam tembakau (dalam lima bulan) rata-rata Rp 10 hingga Rp 20 juta/hektare. Sedangkan menanam padi, sekitar Rp 2 juta.

* * *

Saat ini sedikitnya delapan perusahaan beramai-ramai menanam tembakau di Lombok. Umumnya mereka menggunakan pola kemitraan dengan menggandeng petani setempat. Perusahaan tidak memiliki lahan sendiri. Para petanilah yang memiliki lahan atau menyewa lahan dari penduduk setempat. PT British American Tobacco Indonesia Tbk (BATI) yang beroperasi di Lombok sejak tahun 1972 mencatat, tahun 2003 ini produksi tembakau Lombok akan mencapai 30.396 ton. Selain BATI yang memiliki 3.853 hektar dengan estimasi produksi tembakau 8.091 ton, perusahaan lainnya adalah; PT Phillip Moris Indonesia, produsen rokok Marlboro, seluas 3.150 hektar dengan produksi 6.143 ton, Sadhana Arif Nusa (2.750 ha, 5.775 ton), PT Djarum (1.000 ha, 2.000 ton), PT Gudang Garam Tbk (GGRM) lewat Tunggal Kayun (1.412 ha, 2.683 ton), PT Gelora Djaja (240 ha, 480 ton), Trisno Adi (920 ha, 1.748 ton), dan Nyoto Permadi (225 ha, 416 ton). Sedangkan petani independen, tidak ikut program kemitraan, memiliki lahan 1.700 hektar dengan perkiraan produksi 3.060 ton tembakau.
“Dari total 17 hektar lahan tanaman tembakau di Lombok, sekitar 15.000 hektar merupakan petani dengan program kemitraan. Dan saat ini ada sekitar 12 ribu petani tembakau di Lombok,” jelas Soerono.
Pola kemitraan memberikan peluang bagi petani untuk memenuhi kebutuhan dana, pengetahuan teknologi, bibit hingga pemasaran. “Kemitraan sangat penting karena memberi kepastian bagi petani untuk memasarkan produknya,” tutur Soerono lagi.
Benarkah demikian? Dharmawan (39) petani di Terara, Lombok Timur mengaku, mengantongi untung bersih Rp 5 – Rp 6 juta per hektar dari pola kemitraan yang ditekuninya. “Saya memiliki 10 hektar yang disewa sendiri dan 20 hektar bekerjasama dengan petani lain. Saya mendapat bantuan dana, bibit dan pengarahan dari BAT Indonesia,” terang Dharmawan.
Ia mengaku mendapat dana sekitar Rp 17 juta dari produsen rokok putih asal Inggris itu. Setelah melalui proses tanam, biasanya menuai panen pada Juli hingga Oktober.
Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, saat melakukan panen tembakau di Lombok akhir Agustus 2003 mengatakan, pola kemitraan seperti yang dilakukan BATI sejalan dengan paradigma baru yang dilakukan instansi yang dipimpinnya. “Bayangkan jika pemerintah yang melakukan hal ini. Berapa besar dana yang harus dikeluarkan pemerintah. Paradigma baru departemen pertanian memberdayakan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha. Dengan pola kemitraan pemerintah tidak perlu mengeluarkan se-sen pun,” ungkap Bungaran.
Menteri tidak memaksa petani Lombok menanam tembakau. “Jika memang tidak menguntungkan, tinggalkan tanaman tembakau. Silakan beralih pada produk agrobisnis yang menguntungkan. Mungkin saja kita fasilitasi menanam vanili atau lainnya,” kata Bungaran.

* * *

Pola kemitraan bagi perusahaan bersangkutan membantu kepastian pasokan tembakau dengan kualitas yang diharapkan. Bagaimanakah pola kemitraan tersebut? “Di awal musim tanam (biasanya di awal tahun) kami bicara dengan petani apakah mau bermitra dengan kami. Selain memberikan bimbingan teknis, kami juga bantu pendanaan. Jika mau kami akan melakukan bimbingan teknis dulu,” tutur Bagus Juniarta Purnama, Leaf Production Manager BATI untuk kawasan Lombok.
Untuk kawasan Lombok, BATI memiliki mitra petani sebanyak 656 petani (setahun lalu baru 500 petani) dari mulai kawasan Lombok Tengah hingga Lombok Timur. Luas lahan para petani mencapai 3.853 hektar dengan estimasi produksi 8.091 ton tembakau.
Bagus Juniarta mengatakan, selanjutnya BATI menyalurkan pendanaan untuk penyewaan lahan tanah, pengadaan pupuk, minyak tanah dan sebagainya. Sewa tanah sendiri berkisar Rp 2 hingga Rp 5 juta per hektar.
“Soal penentuan harga, kami bahas bersama petani. Di awal musim kita tentukan harga dasar. Saat ini harga terendah Rp 1.000 per kilogram dan harga tertinggi Rp 15.000 per kilogram. Namun, jika ternyata harga di pasar melebihi harga dasar yang telah ditentukan, kita bicarakan lagi dengan petani,” tambah Bagus.
Point penting yang dibicarakan petani dan perusahaan saat harga dasar lebih rendah dibandingkan harga pasar adalah bagaimana melihat perpekstif margin keuntungan. “Kami katakan kepada petani bahwa program kemitraan kita harus saling menguntungkan. Keadilan menjadi hal penting. Jika perusahaan maju, maka petani juga diuntungkan,” tambah Alan Scott Watson, Leaf Director BATI.
Manager Wilayah Lombok PT Djarum, Iskandar melihat program kemitraan menjadi penting. “Trust menjadi kunci utama. Yakni kepercayaan diantara petani dan perusahaan,” katanya.
Djarum yang saat ini memiliki 400 petani mitra di Lombok dengan luas lahan sekitar 1.500 hektar itu menilai ada tiga hal utama kemitraan. Aspek utama adalah pasar. Bagaimana perusahaan menjamin produksi petani diserap pasar. Kemudian teknologi, yakni agar kualitas tembakau sesuai kebutuhan pasar. Terakhir adalah permodalan. “Petani boleh mendapatkan modal dari mana saja. Apakah itu swadaya, dari bank, pemerintah atau dari perusahaan. Tapi, kami harapkan adanya dukungan dari bank. Untuk itu perlu kebijakan pemerintah setempat untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit ke petani,” tukas Iskandar.
Ia mengakui ada hal yang kerap terlupakan adalah bagaimana membimbing petani agar memiliki jiwa kewirausahaan. Karenanya, perusahaan yang melakukan program kemitraan memberikan wawasan kewirausahaan pada petani. (edo rusyanto)