Siasat Industri Rokok Pasok Tembakau (2-habis)
Ekspor, Alternatif Pendapatan Potensial
POTENSI produksi tembakau Virginia di Lombok masih cukup besar. Saat ini yang ditanami tembakau baru sekitar 16.000 hektar dari 59 ribu hektar potensi yang ada. Tahun ini produksi tembakau Lombok diperkirakan mencapai 30 ribu ton.
Raksasa rokok dunia, British American Tobacco, lewat anak usahanya PT British American Tobacco Indonesia Tbk (BATI) sejak tahun 1972 merambah Lombok guna memasok kebutuhan tembakau perseroan. Kini, BATI yang menguasai 30 persen pangsa pasar rokok putih di Indonesia itu, memiliki 569 petani mitra dengan luas lahan tidak kurang dari 3.853 hektar. Dua tahun sebelumnya, pada tahun 1970, perseroan telah masuk ke Singaraja, Bali. Kedua lokasi penanaman tembakau tersebut melengkapi lahan lainnya, yakni di Klaten, Bondowoso, Blitar dan Yogjakarta. Secara keseluruhan BATI menggandeng 931 petani mitra dengan menyerap sekitar 20 ribu tenaga kerja.
Selain BATI, raksasa dunia lainnya yang merambah Lombok adalah Philip Morris International, lewat Philip Morris Indonesia. “Kami tidak besar. Sejak tahun 1991 kita masuk Lombok, tapi masih bekerjasama dengan Bentoel. Sejak tahun 2002 kita menangani sendiri kemitraan tembakau di Lombok,” tutur Yustinus Edi Djauhari, Leaf Area Manager Philip Morris Indonesia, akhir Agustus lalu, di Lombok.
Menurut catatan PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), kerjasama penanaman tembakau di Lombok dimulai pada 29 Januari 1999, lewat PT Perusahaan Dagang dan Industri Tresno (PDIT), anak usaha PT Bentoel Prima menggandeng Philip Morris Asia Limited (PMAL). Kerjasama tersebut tidak saja di Lombok, namun juga di Lumajang, Jawa Timur dan Bali. PMAL melalui Philip Morris Indonesia menyediakan dana untuk proyek penanaman tembakau tersebut, anak usaha Bentoel bertindak selaku pengawas. PMAL wajib membeli tembakau yang dihasilkan mitra petani dengan harga wajar yang dapat menutupi biaya proyek. Perjanjian tersebut berlaku hingga masa panen tahun 2001. Dan sejak tahun 2002, Philip Morris Indonesia tidak lagi menggandeng RMBA. Hingga awal September 2003, luas lahan tembakau mitra Philip Morris Indonesia meliputi 3.150 hektar dengan estimasi produksi 6.143 ton.
BATI dan Philip Morris Indonesia hingga kini menguasai pangsa pasar sigaret putih mesin (SPM) di dalam negeri. Jika BATI sekitar 30 persen maka Philip Morris Indonesia lebih dari 60 persen. Catatan Gabungan Perusahaan Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyebutkan, pangsa pasar rokok putih sekitar 20 persen dari total volume pasar rokok nasional. Tahun lalu volume rokok nasional mencapai 220 miliar batang.
BATI dan produsen rokok lain yang menanam tembakau di Lombok mengaku produksi tembakau lebih dominan dikonsumsi sendiri. “Kalau Djarum, produksi tembakau di Lombok ini untuk dikonsumsi sendiri. Saat ini belum ada pikiran untuk diekspor. Mungkin tahun 2005 baru kepikiran untuk diekspor. Sekarang ini memproduksi rokok masih menguntungkan,” tukas Iskandar, Manager Wilayah Lombok PT Djarum.
* * *
Sejak akhir tahun 1990-an, menurut Kepala Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat (NTB), Soerono, tembakau Lombok tidak hanya memasok kebutuhan tembakau produsen rokok domestik. Tapi juga mulai diekspor ke berbagai negara. Hingga saat ini telah di ekspor ke berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Austria, Belanda, Chili, Jerman, Mexico dan Singapura.
PT British American Tobacco Indonesia Tbk (BATI) yang memiliki lahan kemitraan petani tembakau sekitar 3.853 hektar, memperkirakan pertumbuhan ekspor tembakau akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.
“Ini seiring perubahan sumber tembakau dunia. Trend pasar Eropa barat turun sedangkan bagian timur naik 34 persen. Trend pasar Asia Pacific naik, regional bahkan naik 53 persen,” ujar Nigel Venning, direktur BATI, belum lama ini di Lombok, NTB.
Karenanya, kata Nigel, tahun lalu perseroan mengekspor sekitar 4.600 ton tembakau sebagai alternatif pendapatan di luar menjual rokok putih. “Kami telah mengekspor ke sepuluh negara, antara lain ke Chili, Inggris, Jerman dan Singapura,” tutur Nigel lagi.
Kebutuhan tembakau BATI untuk tahun ini diperkirakan tidak lebih dari 5.000 ton, sedangkan produksi tembakau diperkirakan 11 ribu ton.
Ekspor tembakau bisa menjadi alternatif pendapatan di tengah merosotnya penjualan rokok BATI. Tahun lalu pendapatan ekspor tembakau perseroan menyumbangkan devisa 7 juta dolar AS bagi pemerintah Indonesia.
Fred Combe, presiden direktur BATI mengakui bahwa volume penjualan perseroan dalam tiga tahun terakhir ini terus turun.
Tahun 2002, penjualan bersih turun 3,54 persen, dari Rp 713,986 miliar (2001) menjadi Rp 688,648 miliar. Angka tahun 2001 juga menurun dibandingkan penjualan tahun 2000 yang tercatat sebesar Rp 874,202 miliar.
Namun, untuk laba bersih, tahun 2002 BATI masih mencatat kenaikan sekitar 4,2 persen dari Rp113,420 miliar di tahun 2001.
Tahun ini saja perseroan berusaha memproduksi 6 miliar batang rokok, dari 7,5 miliar batang di tahun 2002. “Kami mencoba tetap stabil untuk tahun ini dan tahun depan. Hari ini lebih optimis dibandingkan 12 bulan lalu, kami berharap mampu mempertahankan market share 3 persen dari total rokok nasional, ” tutur Fred.
Guna mensiasati penurunan produksi rokok tersebut, kata Fred, BATI yang memiliki enam merek rokok itu, melirik pasar tembakau dunia. “Ekspor tembakau peluangnya cukup bagus. Tahun ini kami berharap dapat mengekspor 4.500 ton atau sekitar 60 persen dari produksi tembakau. Sepuluh tahun ke depan produksi tembakau kami sekitar 30 ribu ton,” ungkap Fred yang segera akan dipromosi ke BAT Regional Asia Pacific di Hongkong.
Saat ini kontribusi ekspor tembakau atas pendapatan perusahaan yang didirikan tahun 1917 itu, menurut Fred, masih sekitar 5 hingga 6 persen dari net revenue. “Tiga tahun ke depan kita harapkan bisa menjadi 50 persen,” tambah Fred.
Tidak heran jika BATI memperluas mitra petani tembakau ke wilayah Yogjakarta. “Saat ini baru 55 hektar, tahun depan kemungkinan bisa 200 hektar. Di Yogjakarta itu potensinya bisa 3.000 hektar,” kata Budi Primawan, corporate communication BATI. (edorusyanto)