Industri Rokok Pasca PP 38/2000: (2)
Menanti Lembaga Pengkajian Rokok
KEHADIRAN Lembaga Pengkajian Rokok (LPR) mau tidak mau akan mewarnai industri rokok di tanah air. Tentu saja sekaligus menjadi wasit bagi peredaran rokok impor.
Apa dan bagaimana sebenarnya LPR itu? Ada baiknya kita buka Peraturan Pemerintah (PP) No.81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, sekaligus revisinya PP 38/2000.
Pasal 39 (ayat 2), PP 38/2000 menyebutkan; setiap orang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan buatan tangan yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 7 tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan 10 tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan tangan. Sementara ayat 3, pasal yang sama menegaskan, bahwa untuk pelaksanaan ketentuan tersebut dibentuk Lembaga Pengkajian Rokok yang merupakan Lembaga Non Pemerintah yang independen yang keanggotaannya terdiri dari wakil unsur Pemerintah, wakil organisasi profesi, pakar bidang rokok, wakil industri rokok, dan unsur lain yang terkait yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
“Tugas lembaga ini adalah melakukan kajian terhadap semua aspek yang berkaitan dengan industri rokok. Dari mulai aspek ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan, misalnya dalam hal penayangan iklan, kadar tar dan nikotin dan lain-lain,” Kepala Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) Depkes RI, Sampurno.
Utamanya adalah mengawasi para produsen apakah sudah menjalankan PP 81/1999 dan PP 38/2000 atau belum. Bisa dikatakan LPR akan berperan sebagai “anjing penjaga” (watch dog).
Sampurno melanjutkan, para produsen rokok sebenarnya sudah menjalankan sebagian kecil dari PP 81/1999 dan PP 38/2000 itu. “Dalam hal pengaturan penayangan iklan. Saya rasa ini sudah berjalan dengan bagus. Coba anda lihat iklan rokok di TV kan tidak memperlihatkan orang merokok dan ditayangkan diatas jam 9 malam,”ujarnya menghibur.
Selain itu, hampir semua rokok juga sudah mencantumkan peringatan bahaya merokok di setiap bungkus. Tapi sayangnya, sambung dia, masih banyak produsen rokok yang belum mencantumkan kadar tar dan nikotin yang terkandung dalam setiap batang rokoknya. “Kelihatannya mereka menunggu sampai batas waktu ketentuan kandungan tar dan nikotin, untuk SKM pada tahun 2007 dan SKT pada tahun 2010,”ulasnya. Kalau produsen mempunyai good will, sambung dia, seharusnya mulai sekarang dicantumkan kadarnya pada masa transisi sekarang ini.
* * *
Rencana pemerintah ini menimbulkan berbagai tanggapan dari para produsen rokok walaupun mereka mengaku tidak keberatan dengan pendirian LPR. Tak kurang Komisaris PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), Ekadharmajanto Kasih pun berkomentar. Ketika ditemui Investor Indonesia usai RUPS perseroan di Jakarta, beberapa waktu lalu, Eka mengatakan, pihaknya tidak keberatan jika LPR ini dibentuk asalkan bekerja secara obyektif. “Dalam lembaga tersebut kami akan menunjuk orang Gappri (Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Indonesia) yang akan duduk disana mewakili kami para produsen,”katanya.
Pendapat senada dikatakan Direktur Penjualan PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), Sun Alexander Yapeter, akhir Juni lalu. “Kami dan mungkin produsen rokok yang lain sebenarnya sepakat saja jika pemerintah ingin mendirikan LPR karena itu merupakan amanat dari PP 81/1999 dan PP 38/2000. Tapi lembaga ini harus berperan secara proporsional. Yang saya lihat yang akan banyak berperan dalam lembaga ini adalah Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan, red), padahal BPOM merupakan prime mover dalam pembentukan PP tersebut. Dengan demikian lembaga ini tidak akan dapat bekerja secara proporsional. Kami menginginkan agar yang berperan banyak di dalam LPR adalah Menperindag,”katanya.
Sampurno menambahkan, terdapat kemungkinan ke depannya arah LPR akan melakukan tekanan kepada produsen rokok untuk mau menginternalisasikan biaya eksternal mereka.
Harapannya, produsen rokok jangan hanya mengeruk keuntungan saja dari masyarakat melainkan juga bertanggung jawab terhadap risiko gangguan kesehatan yang bakal diderita masyarakat akibat merokok. Produsen tersebut seharusnya menyisihkan sebagian dari keuntungannya untuk dikembalikan kembali ke masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab si produsen.
Namun rasanya upaya internalisasi biaya eksternal tersebut nantinya akan menemui banyak kendala, pasalnya sebagian besar produsen menolak mentah-mentah menyisihkan keuntungannya.
“Kita ini tiap tahun bayar cukai kepada negara. Nah, cukai yang kita bayar itu saja digunakan untuk membiayai kerugian kesehatan yang diderita masyarakat akibat merokok. Dan, Depkes harus berkoodinasi dengan Depkeu dalam pembagiannya. Jangan kami disuruh mengeluarkan uang lagi. Cukai itu saya rasa sudah mewakili tanggung jawab kita,”papar Ekadharmajanto. Dia menambahkan, cukai yang dibayarkan produsen rokok itu masuk sebagai pos penerimaan negara dalam APBN. Dan sudah sepatutnya APBN itu digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Tanpa bermaksud memihak produsen rokok, pada kenyataannya cukai memang merupakan komponen biaya produsen rokok yang cukup besar. Contohya RMBA. Produsen yang terkenal dengan rokok Star Mild ini mengaku pengeluaran pita cukai selama 2001 merupakan 65 persen dari cost of good sold perseroan. Dan cost of good sold itu sendiri merupakan 75 persen dari total sales. Kalau dihitung maka sekitar 48 persen dari pendapatan perseroan dipakai untuk membayar cukai rokok. “Kalau dilihat sebenarnya pemegang saham terbesar pada industri rokok adalah pemerintah, karena setengah dari pendapatan yang diperoleh produsen rokok masuk ke kas negara,”tandas Direktur Keuangan RMBA, Henry Komala.
Sementara itu menurut Direktur PT Gudang Garam Tbk (GGRM), Heru Budiman, pihaknya tidak keberatan terhadap pembentukan LPR ini, hanya saja waktunya mesti tepat. “Saya boleh mengibaratkan kita ini mau bikin rumah dengan seideal mungkin, ya dengan atap kayu jati yang bagus dan dengan dinding tembok bercat dan berhias yang indah, pokoknya sesuai dengan keinginan kita. Tapi, kalau memang saat ini kita belum siap kayu atau apa saja yang diperlukan untuk membuat rumah ideal tersebut, karena belum ada dana, masak kita paksakan, misalnya bikin tembok dulu atapnya belakangan. Kalau begini bagaimana dengan anak-anak kita, apa hanya karena mau ideal lantas kita abaikan begitu saja,”ujarnya.
* * *
Sepanjang tahun ini sudah beberapakali dilakukan pertemuan antara produsen, BPOM dan departemen terkait, seperti deperindag guna membahas pendirian LPR.
“Kita sedang membentuk LPR dan sedang menetapkan siapa saja yang akan duduk di sana mewakili setiap elemen,” ujar Sampurno.
Banyak kalangan berharap LPR mampu menjadi lembaga yang independen dan mendukung ke arah makin sehatnya masyarakat tanpa asap rokok. Kita tunggu saja. (aga nugraha/edo rusyanto)