Volume Boleh Turun, Nilai Nanti Dulu
Menanti Kenaikan Cukai Rokok (3-habis)
SEBERAPA tahan emiten industri rokok menghadapi gempuran regulasi bernada menyudutkan industri rokok?
Ada baiknya kita tengok kinerja mereka sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Dari empat raksasa produsen rokok yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sepanjang tahun 1999-2001, tiga diantaranya terus mencatat pertumbuhan penjualan bersih. Mereka adalah PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). Hanya PT British American Tobacoo Indonesia Tbk (BATI) yang terus membukukan penurunan penjualan bersih.
Produsen rokok putih, BATI pada tahun 2000 membukukan penurunan penjualan bersih sekitar 13,9 persen dibandingkan setahun sebelumnya, yakni menjadi Rp 874, 202 miliar, dari Rp 1,015 triliun. Tahun lalu BATI membukukan penurunan penjualan bersih 22,4 persen, menjadi Rp 713,986 miliar dibandingkan tahun 2000 senilai Rp 874,202 miliar.
Produsen rokok nomor wahid, GGRM, terus membumbungkan nilai penjualan bersihnya. Tahun 2000 naik 17,9 persen dibandingkan tahun 1999, sedangkan tahun 2001 naik 20,1 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Demikian juga dengan HMSP dan RMBA. Kenaikan HMSP pada tahun 2000 dan tahun 2001 masing-masing, 35,3 persen dan 40,3 persen. RMBA pada kedua tahun itu naik sekitar 42 persen dan 76,1 persen.
Masing-masing emiten rokok memang memiliki unit usaha non rokok. Misalnya RMBA, memiliki unit usaha taman rekreasi atau HMSP yang memiliki unit usaha ritel Alfa Grosir. Unit usaha lainnya seperti perusahaan kertas dan percetakan umumnya memiliki fokus penjualan ke induk usahanya masing-masing. Bisnis rokok masih menjadi pendapatan utama keempat emiten tersebut.
Sehingga jika memotret pendapatan selama tiga tahun terakhir itu, rasanya para produsen rokok masih memiliki otot untuk mendapatkan pemasukan. Meski mungkin secara volume penjualan rokok terjadi penurunan. Tapi bukankah yang penting nilai penjualan itu sendiri? Soal tercekiknya konsumen karena membeli rokok dengan harga lebih mahal, rasanya tidak terlalu memusingkan para produsen.
* * *
Potret kinerja mereka mungkin kurang lengkap jika tidak kita lihat performa terkini mereka. Paling tidak hingga semester pertama tahun 2002.
Kita mulai dari raksasa nomor satu. GGRM selama semester pertama 2002 berhasil sukses meraih angka penjualan bersih sebesar Rp 10,39 triliun atau naik 25,1 persen, dibandingkan periode sama 2001 yang hanya mencapai Rp 8,3 triliun. Dari angka penjualan tersebut GGRM mencatat kenaikkan 13,9 persen dalam laba operasi perseroan pada semester pertama tahun ini menjadi Rp 1,72 triliun dari Rp1,51 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Ujung-ujungnya laba bersih GGRM per 30 Juni 2002 meningkat 17,3 persen menjadi Rp 1,08 triliun dibandingkan semester pertama tahun lalu sebesar Rp 920,09 miliar. Dan, sampai tengah tahun ini GGRM telah memproduksi 32,8 miliar batang rokok.
Menurut data Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Indonesia (Gappri) hingga kini masih merupakan produsen dengan pangsa pasar terbesar, dengan menguasai 31,5 persen dari total pangsa pasar rokok domestik. Posisi kedua ditempati produsen non emiten, Djarum Group dengan 21,9 persen.
Sementara produsen rokok lain, RMBA selama semester pertama tahun ini mencatat penjualan bersih Rp2,2 triliun atau terdongkrak 24 persen daripada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,8 triliun. Meski dari sisi penjualan bersih naik tapi volume penjualan RMBA turun hampir setengah dari volume semester pertama tahun lalu sebanyak 4 miliar batang menjadi 2,8 miliar batang.
Begitu pula penurunan juga terjadi pada laba bersih RMBA. Produsen yang mempunyai rokok andalan merek Star Mild ini pada semester pertama 2002 laba bersih turun 31,4 persen dari Rp103,5 miliar pada semester pertama tahun lalu menjadi Rp71,04 miliar. “Penurunan ini terjadi karena meningkatnya beban usaha seperti pajak, cukai dan harga bahan baku,” kata YW Junardy, Direktur Utama RMBA. Turunnya laba bersih ini, lanjut dia, mengakibatkan laba bersih per saham turun dari Rp15,9 menjadi Rp 10,9.
HMSP sepanjang semester pertama tahun 2002 boleh saja mencatat penurunan volume penjualan hingga 4,7 persen, dibanding periode sama tahun 2001. Tapi, coba tengok nilai penjualannya. Turun juga? Nanti dulu, justru lompat hingga 17,1 persen, dibanding per akhir Juni 2001. Faktornya apalagi kalau bukan akibat kenaikan harga jual yang memang bertubi-tubi sepanjang awal tahun ini. Penjualan perseroan naik menjadi Rp 7,5 triliun dibanding semester pertama tahun lalu sebesar Rp 6,4 triliun. Sedangkan laba usaha naik tipis menjadi Rp 1,37 triliun dibandingkan pada periode sama tahun 2001 sebesar Rp 1,36 triliun. Dari sisi laba bersih, per 30 Juni 2002 terlihat adanya kenaikan sangat signifikan 255 persen menjadi Rp 887,92 miliar dari Rp 249,89 pada periode sama tahun lalu.
Mungkin produsen rokok yang kurang beruntung pada semester pertama 2002 adalah BATI. Pasalnya, produsen penghasil rokok putih ini penjualan bersihnya hanya naik tipis 0,78 persen menjadi Rp376,9 miliar setelah dipotong cukai tembakau dan PPN dari peroleh penjualan kotor Rp 866,4 miliar.
Menurut Direktur Keuangan BATI, Rohit Anand kendala yang dialami BATI adalah kenaikkan harga jual secara reguler yang mempengaruhi volume penjualan. Meski demikian per 30 Juni 2002 BATI masih bisa mendongkrak perolehan laba bersih hingga 10,8 persen menjadi Rp57,17 miliar daripada periode sama tahun lalu sebesar Rp51,56 miliar.
Jika dilihat dari market share, per 30 Juni 2002 ini BATI menguasai 4,1 persen dari total pangsa pasar industri rokok nasional. BATI bersaing ketat dengan PT Philip Morris Indonesia (PMI) pemilik merk rokok Marlboro. PMI sepanjang kurun 6 bulan pertama tahun ini justru mencatat peningkatan volume penjualan.
* * *
Sesungguhnya, seberapa besarpun tarif cukai akan dinaikan oleh pemerintah, kinerja keempat emiten rokok boleh dibilang tidak seloyo produsen rokok kelas menengah dan kecil yang jumlahnya ratusan perusahaan. Keempat produsen itu masih mampu berdiri kokoh. (edorusyanto)