TELEDENSITAS telepon di Tanah Air masih rendah. Saat ini, dari 200-an juta jiwa penduduk, teledensitas masih di bawah 5%. Bahkan, masih ada sekitar 400 ribu lebih desa yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi (fastel).
Kemampuan pemerintah membangun fastel amat terbatas. Tidak heran jika pada 2003, pemerintah membuat program kewajiban pelaksanaan universal (
universal service obligation /USO). Hasilnya, pada 2003, pemerintah membangun sebanyak 3.010 satuan sambungan telepon (SST) mencakup wilayah Sumatera (1.009 SST), Kalimantan (573 SST), Kawasan Timur Indonesia/KTI (1.388 SST), dan Jawa-Banten (40 SST). Sedangkan pada 2004, pemerintah hanya membangun 2.620 SST. Artinya, dalam dua tahun, pemerintah hanya membangun 5.630 SST.
Melihat masih rendahnya pembangunan tersebut, skema pembiayaan program USO pun diubah. Sejak tahun 2005, selain dari APBN yang jumlahnya relatif kecil yakni sekitar Rp 5 miliar – Rp 45 miliar, pemerintah meminta kontribusi dari para operator telepon. Besarannya, 0,75% dari pendapatan kotor. Jika program itu berjalan mulus, setidaknya pemerintah mengantungi sekitar Rp 400-an miliar. Suatu angka yang besar untuk program USO. Namun, menurut Ditjen Postel Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) Basuki Yusuf Iskandar, lima tahun ke depan pemerintah membutuhkan Rp 5,1 triliun untuk penetrasi telepon ke seluruh desa di Tanah Air hingga 2009.
Sementara itu, operator telepon PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Indosat Tbk dan PT Bakrie Telecom ‘diwajibkan’ membangun 18.823.556 SST hingga 2009. (lihat tabel)
Kewajiban operator membangun sambungan telepon tentu saja disesuaikan dengan kemampuan finansial mereka. Selain, tentunya mempertimbangkan daya serap pasar terhadap produk mereka. Untuk apa membangun banyak sambungan, sementara respons konsumen nihil.
Di tengah itu semua, Telkom melenggang dengan gagasan brilian. Lahirlah telepon mobilitas terbatas (
fixed wireless access/FWA) Telkom Flexi dengan teknologi code division multiple access (CDMA)2000 1X pada akhir 2002. Pelanggan mendapat pilihan menggunakan Flexi prabayar (Trendy) atau Flexi pascabayar (Classy). Manajemen mengklaim dengan penggunaan teknologi tersebut memungkinkan pengembangan jaringan telepon secara cepat dengan investasi lebih rendah dibandingkan jaringan telepon tetap (
fixed wireline).
Hal itu terbukti dengan pesatnya pertumbuhan Telkom Flexi. Pada akhir 2003, Telkom berhasil menjual 467.933 satuan sambungan flexi (SSF). Padahal, pada sepanjang 2003, total penambahan telepon tetap Telkom sekitar 654 ribu SST. “Memang sebagian besar adalah kontribusi Telkom Flexi,” tutur Mundarwiyarso, head of corporate communication Telkom. Artinya, lebih dari separuh pertumbuhan telepon tetap Telkom berasal dari Telkom Flexi.
Pertumbuhan terus berlanjut di tahun 2004. Menurut data BUMN yang pertamakali masuk bursa pada 14 November 1995 itu, pada 2004, pertumbuhan pelanggan telepon tetap mencapai sekitar 1,5 juta SST. Pada 2004, pertumbuhan telepon tetap Telkom hanya 4,2% menjadi 8.559.350 SST. Sedangkan Telkom Flexi tumbuh 439,8% menjadi 1.429.368 SSF. Total sambungan berbayar Telkom mencapai 9.988.718 SST atau tumbuh 17,8% dibandingkan tahun 2003.
Pesatnya pertumbuhan Telkom Flexi dengan slogan bukan telepon biasa, sesungguhnya bisa mendorong penetrasi telepon lebih cepat. Dengan kata lain, peningkatan teledensitas telepon di Tanah Air dapat terbantu. Citra sebagai telepon bergerak dalam satu kode area tertentu, mendorong calon konsumen memilih Telkom Flexi ketimbang telepon seluler (GSM/global system for mobile communication). Terlebih, dari sisi pentarifan, citra yang muncul di kalangan masyarakat adalah lebih murah dibandingkan tarif GSM.
Tidak heran jika hingga pertengahan 2005, pelanggan Telkom Flexi sudah tembus ke angka tiga juta dan diperkirakan bakal tembus 4,5 juta pada akhir 2005. Suatu angka yang setimpal dibandingkan investasi yang telah dikeluarkan Telkom. BUMN itu diperkirakan telah mengeluarkan sekitar Rp 2,5 triliun untuk pengembangan Telkom Flexi.
TantanganTelkom Flexi tidak bermain sendiri di area bisnis FWA. Ada dua pemain lainnya, yakni Indosat dengan Star One dan Bakrie Telecom dengan Esia. Hingga kini, kedua pesaing itu masih belum mampu mengejar Telkom Flexi. Jika Esia mengaku mengantongi 250 ribu pelanggan, Star One justru terseok-seok dengan hanya mengantungi sekitar 70 ribu pelanggan.
Di tengah laju pertumbuhan yang signifikan, Telkom Flexi justru mendapat tantangan dari sisi regulasi. Pemerintah berniat memindahkan frekuensi Telkom Flexi dari 1.920-1.980 MHz. Sehingga, pelanggan yang berada di area Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten, yang menggunakan
handset (terminal) single frekuensi 1.900 MHz, harus mengganti terminalnya. Saat ini Telkom Flexi juga beroperasi di frekuensi 800 MHz.
Nasib serupa juga menimpa Star One, milik Indosat.
Jika pemindahan terwujud, Telkom akan menanggung biaya sekitar Rp 1,3 triliun yang terdiri atas biaya penggantian perangkat sekitar Rp 561,58 miliar, penggantian handset Flexi CDMA Rp 756,06 miliar, biaya optimasi (
tuning) menara pemancar (
base transceiver station/BTS) sebesar Rp 14,5 miliar.
Jalan TerusMeski direpotkan dengan rencana pemindahan frekuensi – dengan alasan frekuensi 1.920-1.980 MHz untuk layanan seluler generasi ketiga (3G), menurut Wakil Direktur Utama Telkom Garuda Sugardo, pembangunan dan pengembangan Telkom Flexi tetap jalan terus.
Flexi ditargetkan memberi kontribusi pendapatan Rp 2,5 triliun pada 2005. Tahun ini, Telkom menyiapkan Rp 1,7 triliun untuk pengembangan Flexi. Sebagian besar dana diperuntukkan menambah 500 BTS. Sepanjang dua tahun terakhir, Telkom telah mengeluarkan dana lebih dari Rp 2 triliun untuk pengembangan Flexi.
Melihat pesatnya perkembangan Telkom Flexi, seyogyanya pemerintah cukup bijaksana dalam menelurkan kebijakan. Mengingat di satu sisi, penetrasi telepon di Tanah Air dapat terbantu. Sehingga masyarakat dapat mengakses fastel yang dibutuhkannya.
(edo rusyanto)Labels: telekomunikasi